Adapun negara Indonesia adalah "konsepsi politik" tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka, dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan.
Persoalannya, mengapa prinsip-prinsip kebangsaan, kenegaraan, dan kewarganegaraan kian hari semakin jauh? Bahkan lebih menjauh lagi setelah dikobarkannya Reformasi Mei 1998?
Ada banyak jawaban, tetapi yang terpenting karena, pertama, problem sesungguhnya: keberlangsungan manajemen negara pasca kolonial yang tidak mampu menegakkan kedaulatan hukum dan memberikan keamanan dan keadilan bagi warganya. Dalam kondisi demikian, orang lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme, dan sektarianisme) ketimbang warga-negara.
Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumber daya di rumah tangga kebangsaan. Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaannya sendiri, individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya menemukan rasa aman.
Kedua, kita belum siap menerima keragaman. Padahal, keragaman bangsa bisa menjadi kekayaan jika negara mampu menjalankan fungsinya sebagai—meminjam Mohammad Hatta—"panitia kesejahteraan rakyat".
Ketiga, kita terlalu fokus pada pembangunan pusat. Jakarta sebagai ibu kota negara terlalu dijadikan pusat segalanya. Karena itu, tingkat angkatan kerja, kejahatan, dan frustrasi selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jakarta jadi magnet yang mencuri kelebihan daerah. Semua potensi daerah seakan dipaksa bekerja untuk Jakarta. Dari Jakarta negara didesain dan diadministrasikan, dari Jakarta pula negara dinistakan dan difrustrasikan.
Nalar publik yang hilang
Sebagai sebuah bangsa besar yang majemuk dan telah berdiri lebih dari 60 tahun, kita seperti kehilangan nalar publik untuk hidup bersama atas dasar semangat kesatuan dan persatuan nasional. Semua persoalan yang terjadi sesungguhnya sinyal lemahnya "ketahanan dan kedaulatan bangsa". Selain itu, banyak variabel yang memengaruhi lemahnya ketahanan dan kedaulatan bangsa. Di antaranya "marjinalisasi" di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya.
Dari sisi kebudayaan, meluruhnya kebudayaan nasional kita yang secara perlahan, tetapi pasti tergerus penetrasi budaya asing. Ini terjadi akibat kita tidak lagi berpijak pada budaya dan jati diri bangsa. Lebih parah lagi, kita sengaja meninggalkannya sendirian! Belum lagi marjinalisasi di bidang politik, hukum, dan ekonomi yang secara kausalitas mengakibatkan kaotik di bidang sosial. Apa buktinya? Beramai-ramai masyarakat menghimpun diri dalam suatu paguyuban atau kelompok-kelompok kedaerahan atau bahkan keagamaan. Hal ini diyakini bersumber dari ketidakadilan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum.
Hal itu karena, pemerintah hasil reformasi ternyata belum memiliki rencana besar yang aplikatif buat bangsa ini agar sampai pada cita-cita dasarnya. Dengan kata lain, pemerintah hasil reformasi tidak layak menyandang gelar pemerintahan yang reformis, apalagi pemerintahan yang menegakkan negara amanat dan cita-cita. Dengan kata lain, pemerintah hasil reformasi tak punya visi kebudayaan sama sekali.
Pertanyaannya, apa sesungguhnya produk terbesar pemerintahan era reformasi? Rasa terasing dan anti sosial (individualistis)! Mungkin jawaban ini terlalu berlebihan. Namun, faktanya, banyak laporan di media bahwa orang-orang mulai terasing dari negerinya sendiri.
Mereka terasing dari lingkungannya, dari nilai-nilai dasar kemanusiaannya, terasing dan tercerabut dari akar tradisi budayanya. Terasing karena ketidakhadiran pemerintah di tengah deru penderitaan rakyat yang tak kunjung berhenti. Kita pun menyaksikan sebagian besar "Orang Indonesia" sementara bermimpi tentang sebuah "Indonesia Baru", pada saat bersamaan masih memiliki cara berpikir yang sama dan memiliki sikap yang sama.
Indonesia yang seharusnya
Banyak orang cenderung mengambil jalan pintas. Mereka hidup hanya untuk saat ini dan hanya berpikir tentang pekerjaan mereka, upah, dan peluang sesaat. Dengan kata lain, sebagian besar rakyat Indonesia begitu pragmatis dan anti sosial. Mereka berpikir proses itu melelahkan dan memakan waktu cukup lama untuk mewujudkan impian. Orang-orang, yang menginginkan solusi cepat, mungkin melupakan tujuan jangka panjang mereka. Pada gilirannya, hilanglah karakter dan jati diri bangsa dan karakter sosial masyarakat Indonesia. Jika ini yang terjadi, mimpi akan tetap menjadi mimpi, dan "Indonesia Baru" akan tetap menjadi slogan, "Indonesia Baru" hanyalah sebuah utopia.
"Indonesia Baru" selaiknya menghormati hak asasi manusia, menegakkan supremasi hukum, dan memastikan proses demokrasi yang memungkinkan bagi terciptanya partisipasi masyarakat secara luas dalam menentukan nasib mereka sendiri. Ini hanya dapat dicapai dengan mengubah struktur dasar dari mental dan pola pikir masyarakat Indonesia yang majemuk. Bukan hanya dari sistem kekuasaan dan hukum, melainkan juga budaya dari masyarakat itu sendiri.
Dalam perjuangan melawan korupsi, misalnya, orang harus memiliki komitmen kuat dan punya nyali mengatakan "tidak" untuk penyuapan. Orang harus tetap menuntut hak-hak mereka dan berbicara melawan perlakuan tidak adil, sementara pada saat yang sama, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, juga mematuhi hukum.
Dengan kata lain, orang harus berperan aktif untuk mewujudkan impian mereka tentang "Indonesia Baru". Namun, sementara masyarakat Indonesia berbagi mimpi yang sama, sifat heterogen—yang terdiri atas orang dengan berbagai tingkat pendidikan dan kedewasaan politik—menimbulkan masalah besar. Namun, kita juga masih melihat secercah harapan. Beberapa orang telah secara positif dipengaruhi budaya "keterbukaan". Mereka ini berani mengutarakan pendapat, baik pada demonstrasi jalanan, di televisi, radio, melalui surat kabar dan lain-lain.
Akankah Indonesia benar-benar menjadi "Indonesia Baru"? Untuk mewujudkan mimpi ini, rakyat Indonesia harus aktif dan konsisten dalam "menekan" pemerintah, dan, pada saat yang sama harus mengubah sikap dan mental mereka sendiri.
Abdul Ghopur
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa; Intelektual Muda NU
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007922769
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar