Penyelesaian sengketa di MK sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 memang merupakan pemenuhan salah satu hak konstitusional pasangan calon sebelum sampai tahapan pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden terpilih.
Penggunaan hak konstitusional ke MK dimungkinkan dengan alasan penetapan KPU merugikan pasangan calon tertentu. Dalam hal ini, Pasal 201 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres menyatakan, langkah pengajuan keberatan ke MK hanya dapat dilakukan atas penetapan hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon. Maka, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengajukan perbedaan hasil penghitungan versi mereka dengan rekapitulasi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selamatkan hak pilih
Dalam batas penalaran yang wajar, berdasarkan rekapitulasi KPU secara nasional, pasangan Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 suara (46,85 persen) dan Jokowi-JK 70.997.833 suara (53,15 persen), hampir pasti tak mudah mendalilkan
adanya kesalahan KPU dalam melakukan rekapitulasi. Karena itu, dengan selisih 8.421.389 suara (6,30 persen), pasangan
ini memilih bangunan argumentasi lain, yaitu penyelenggaraan pilpres penuh kecurangan dan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Ibarat memilih strategi berbelok, dalam permohonannya, Prabowo-Hatta dengan dalil TSM, misalnya, mempersoalkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang berubah-ubah dan pemilih yang menggunakan KTP atau identitas kependudukan lain dalam daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb). Ihwal argumentasi ini, pemohon mendalilkan bahwa DPKTb dengan jumlah yang sangat tinggi telah merugikan pasangan nomor urut satu dan sebaliknya menguntungkan pasangan Jokowi-JK.
Hak memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) merupakan hak dasar dalam hubungan penyelenggaraan negara. Posisi itu menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Bahkan, Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 tentang pengujian UU No 42/2008 menegaskan hak memilih merupakan hak asasi dan hak konstitusional warga negara (constitutional rights of citizen). Karena itu, penggunaanya tidak boleh dihambat/dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif yang dapat mempersulit warga negara menggunakan hak pilihnya.
Dari segi waktu, Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 digunakan untuk menyelesaikan terancamnya penggunaan hak pilih warga negara yang tak terdaftar dalam DPT pada Pilpres 2009. Karena itu pula, didalilkan putusan tersebut tak dapat digunakan dalam Pilpres 2014.
Dengan kata lain, Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 tak dapat menjadi dasar untuk membenarkan tindakan KPU mengikutsertakan pemilih yang tak terdaftar dalam DPT dengan menggunakan jalur DPKTb. Bahkan, ketika persidangan di MK, ada pendapat yang mengatakan bahwa putusan itu hanya untuk menampung kondisi khusus dalam Pilpres 2009.
Secara hukum, pandangan yang mempersoalkan keabsahan keberlakuan Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 tak dapat dibenarkan. Dalam posisi sebagai putusan hakim, putusan itu sumber hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Karena telah mengubah substansi mengenai penggunaan hak pilih warga negara dalam UU No 42/2008, Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 dapat dikatakan memiliki kekuatan mengikat layaknya substansi sebuah UU. Artinya, secara substansial, semangat yang bermuara pada penyelamatan hak memilih warga negara tidak boleh dikesampingkan dengan alasan apa pun.
Tak hanya itu, dari teori hukum, Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 merupakan yurisprudensi yang mengikat bagi hakim dalam mengambil putusan serupa. Bahkan, secara praktik dapat dibuktikan, substansi putusan ini telah berulang kali dipakai ketika MK menyelesaikan sengketa pilkada. Kalau untuk pilkada putusan ini tak pernah dipersoalkan, mengapa penolakan baru muncul pada hasil rekapitulasi tahap akhir Pilpres 2014?
Tambah lagi, karena Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 sampai penyelenggaraan Pemilu 2014 tidak dilakukan perubahan, tak mungkin substansi Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 diadopsi dalam produk hukum berupa UU. Kondisi ini jelas berbeda dengan Pileg 2014 yang mengadopsi semangat putusan ini ke dalam UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Maka, sebagai bagian dari upaya menyelamatkan hak memilih warga negara, KPU telah menggunakan jalur DPKTb. Pertanyaannya: mengapa eksistensi DPKTb tidak dipersoalkan di pileg?
Keabsahan peraturan KPU
Merujuk sistem peraturan perundang- undangan, peraturan KPU sebagai salah satu produk hukum bersifat regeling dapat dilacak dalam Pasal 8 Ayat (1) UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 Ayat (1) UU No 12/2011 menyatakan, lembaga negara, badan, atau komisi negara yang dibentuk dengan UU atau atas perintah UU dapat membuat produk hukum yang bersifat pengaturan. Dengan dasar itu, KPU sebagai alat kelengkapan negara yang dibentuk berdasar UU No 15/ 2011 tentang Penyelenggara Pemilu juga berwenang menerbitkan sebuah produk hukum.
Karena tidak terjadi perubahan UU No 42/2008, sebagai penyelenggara pemilu, KPU terikat keharusan menyelamatkan hak memilih warga negara. Untuk alasan ini, KPU mengesahkan Peraturan No 9/2014 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pilpres 2014 (PKPU No 9/2014) yang membenarkan kehadiran DPKTb. Sesuai Pasal 8 Ayat (2) UU No 12/2011, produk hukum KPU diakui eksistensinya dan punya kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasar kewenangan yang dimiliki.
Berdasarkan hal itu, PKPU No 9/2014 dibuat untuk melaksanakan Pasal 113 Ayat (6), Pasal 118 Ayat (3), Pasal 119 Ayat (3), Pasal 126 Ayat (2), Pasal 127 Ayat (2), dan Pasal 135 Ayat (2) UU No 42/2008. Selain itu, kehadiran peraturan dimaksud dibuat atas dasar kewenangan yang dimiliki KPU sebagai penyelenggara pemilu, termasuk dalam penyelenggaraan Pilpres 2014. Atas dasar itu, pandangan yang menyatakan keberadaan DPKTb sebagai pelanggaran karena tak memiliki landasan hukum adalah keliru dan tak berdasar hukum.
Atas dasar itu pula, kehadiran PKPU No 9/2014 dapat dikatakan sebuah keniscayaan. Dalam posisi tak adanya perubahan atas UU No 42/2008, peraturan ini pilihan atau langkah nyata untuk memastikan jaminan terhadap hak pilih warga yang tak terdaftar dalam DPT. Karena posisi itu pula, sangat tidak tepat menilai langkah KPU itu bentuk pelanggaran kode etik. Apabila peraturan itu tak ada, justru KPU dapat diancam pelanggaran kode etik.
Berdasarkan bangunan argumentasi di atas, mempersoalkan pemberian hak pilih menggunakan KTP atau pengenal lain dengan jalur DPKTb sebagai pelanggaran yang bersifat TSM patut dipertanyakan motivasi yang mengitarinya. Karena itu, MK harus paham dan mengerti betul pilihan strategi yang digunakan dalam penyelesaian perselisihan hasil Pilpres 2014 ini. Dalam hal ini, bukan tak mungkin memilih jalur ke MK sebagai jalan pintas memenangi pilpres. Perlu dicatat, MK bukan tempat untuk menghadirkan presiden dan wakil presiden yang bukan berasal dari pilihan mayoritas rakyat.
Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008397508
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar