Sesuai dengan UU No 24/2011, PT (Persero) Askes Indonesia ditransformasikan menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara program jaminan kesehatan. Ditargetkan pada 2019 seluruh penduduk Indonesia telah tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Setelah Joko Widodo memenangi pemilihan umum presiden, muncul gagasan baru untuk mengembangkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), sebagaimana Kartu Jakarta Sehat bagi penduduk DKI. Apakah KIS kelanjutan JKN, sejalan dengan JKN, atau program baru yang berbeda meski tujuannya sama: memberi jaminan kesehatan kepada setiap warga negara Indonesia?
Jawabannya mungkin akan dapat kita lihat setelah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terbentuk. Apa pun namanya, yang terpenting adalah program itu harus berkelanjutan, tidak boleh berhenti di tengah jalan dengan alasan apa pun sebab jaminan kesehatan terkait kebutuhan dasar hidup yang layak bagi semua warga negara.
Terkait program Jaminan Kesehatan, UU No 40/2004 mengatakan bahwa setiap peserta akan memperoleh jaminan pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sesuai dengan kebutuhan medik tanpa membedakan besaran iuran/premi yang dibayar, termasuk bagi pelayanan kesehatan dengan biaya tinggi, seperti cuci darah, operasi jantung, dan kanker. Ini sesuai dengan asas kemanusiaan , salah satu asas dalam penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Meski demikian, dengan prinsip asuransi sosial yang diterapkan, manfaat yang diterima peserta harus sesuai dengan besaran iuran/premi. Hal ini diakomodasi dalam manfaat pelayanan nonmedik, kelas perawatan, atau kenyamanan lain di dalam pelayanan kesehatan.
Jaminan Kesehatan dalam UU SJSN diharapkan mampu memberi manfaat kepada semua peserta program jaminan sosial pada segala tingkat sosial masyarakat.
Meski bersifat wajib, manfaat layanan kesehatan yang diperoleh akan sesuai dengan kebutuhan dasar hidup yang layak. Dengan pendekatan seperti itu, peluang seluruh warga negara menjadi peserta program terbuka lebar (meski bersifat wajib, bukan paksaan).
Tanpa diskriminasi
Dalam UU SJSN juga diterapkan asas manfaat bahwa secara operasional, program jaminan kesehatan itu sudah layak diselenggarakan dalam arti mampu memberi pelayanan sesuai dengan kebutuhan medik kepada semua pesertanya tanpa diskriminasi. Karena itu, jaminan kesehatan harus diselenggarakan secara bertahap. Penahapan itu antara lain disarankan dimulai dari kelompok pekerja formal agar keseimbangan kemampuan dana (iuran) dan beban pelayanan dapat berkelanjutan.
Yang juga perlu dikemukakan adalah bahwa peserta program jaminan sosial adalah yang sudah membayar iuran. Dalam UU SJSN, dengan merujuk Pasal 34 UUD 1945, diperkenalkan peserta penerima bantuan iuran (PBI), yaitu kelompok masyarakat yang tidak mampu membayar iuran. Iuran PBI dibayar negara/pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Dengan pendekatan seperti ini, asas ketiga penyelenggaraan program jaminan sosial, keadilan sosial, terpenuhi. Seluruh warga negara Indonesia memperoleh peluang sama jadi peserta program jaminan kesehatan sehingga universal coverage akan dapat dicapai pada 2019.
UU SJSN juga memberi arahan bagaimana mencapai tujuan penyelenggaraan jaminan sosial. Khusus mengenai penyelenggaraan jaminan kesehatan, perlu diwaspadai kemungkinan inefisiensi penyelenggaraan pelayanan kesehatan mengingat sifat alami pelayanan kesehatan yang cenderung berlebihan menimbulkan pemborosan. Biaya besar belum tentu berdampak meningkatnya kualitas kesehatan. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan penyelenggaraan jaminan kesehatan di Amerika Serikat.
Meski AS mengeluarkan biaya dua kali lipat dibandingkan dengan Jepang, status kesehatan rakyat AS tak lebih baik daripada Jepang dilihat dari usia harapan hidup ataupun kematian pada bayi. Terakhir, menurut majalah Fortune, AS dikabarkan mengeluarkan sekitar 17 persen produk domestik bruto (PDB)-nya untuk kesehatan sehingga industri kesehatan merupakan industri nomor satu di AS. Angka itu mungkin sudah mencapai 8.000 dollar AS per kapita per tahun.
Karena itu, di dalam UU SJSN direkomendasikan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang efisien berdasarkan pada apa yang dikenal sebagai managed healthcare concept, yang mengintegrasikan sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan sehingga pelayanan kesehatan yang berlebih, pelayanan kesehatan yang tak perlu, bahkan penyalahgunaan pelayanan dapat dicegah. Di dalam konsep itu, sistem pembiayaan dan kendali mutu diintegrasikan melalui sistem pembiayaan pradana/prospektif, misalnya sistem anggaran dan pelayanan yang terstruktur melalui introduksi konsep dokter keluarga, sistem rujukan, konsep wilayah, serta daftar dan plafon harga obat (mengingat biaya obat merupakan sekitar 40 persen biaya pelayanan kesehatan), di samping paling rawan pemborosan mengingat spektrum harga obat sejenis pun terlalu jauh.
Semua itu diperlukan agar program jaminan kesehatan dapat berkelanjutan, terhindar dari kebangkrutan, dan tak terlalu membebani ekonomi rakyat dan negara, termasuk beban PBI dalam APBN. Keberhati-hatian ini sangat ditekankan di dalam UU No 40/20014 agar program jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan, tak jadi beban berat bagi negara dan masyarakat sebagaimana terjadi di beberapa negara lain, khususnya AS.
JKN dan KIS
Sejak 1 Januari 2014, pemerintah telah memberlakukan JKN sebagai pelaksanaan jaminan kesehatan, sesuai dengan UU No 40/2004. Termasuk dalam hal ini introduksi INA CBG dalam pembayaran klaim pelayanan kesehatan. JKN telah mengintegrasikan program Jamkesmas yang selama ini diselenggarakan pemerintah daerah, termasuk Kartu Jakarta Sehat, jaminan kesehatan PT (Persero) Jamsostek, dan jaminan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun PNS/TNI/Polri yang dikelola PT (Persero) Askes.
Dengan terpilihnya Jokowi sebagai presiden, KIS muncul menjadi wacana di kalangan penggiat jaminan kesehatan. Sepintas menimbulkan pertanyaan apakah keduanya, antara JKN dan KIS, saling terkait, sejalan, atau program yang berbeda? Apalagi kalau kita pertanyakan, apakah semua itu dalam rangka pelaksanaan UU No 40/2004?
Di saat seperti ini mungkin kita perlu melihatnya dari aspek konstitusi yang berlaku. Secara konstitusional mestinya semuanya harus merujuk ke UU No 40/2004. Apakah JKN merupakan wujud implementasi jaminan kesehatan sesuai dengan UU No 40/2004? Apakah KIS merupakan implementasi jaminan kesehatan sesuai dengan UU No 40/2004?
Kita bisa berdebat apa arti sebuah nama. Namun, sebagai warga negara yang taat hukum, yang terpenting adalah landasan konstitusi. Kalau berbeda, apakah diperlukan UU baru?
Sulastomo
Ketua Tim SJSN 2001-2004
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008660694
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar