Sayangnya, di dalam sembilan agenda prioritas atau Nawa Cita itu, program lingkungan hidup secara eksplisit hanya menyangkut penegakan hukum dan pemberantasan penebangan, pertambangan, serta penangkapan ikan liar yang ditempatkan di bawah misi penegakan hukum. Padahal, hal-hal itu hanyalah gejala yang terlihat dari kegagalan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia dalam 36 tahun terakhir. Ibarat pada orang sakit, penegakan hukum seperti obat penghilang rasa sakit, tetapi tak menyembuhkan. Ada banyak aspek lingkungan hidup yang perlu ditangani di Indonesia.
Lingkungan hidup kita berada dalam krisis. Banjir, kekeringan, tanah longsor, asap, rembesan air laut, pencemaran air dan udara, serta kehilangan keanekaragaman hayati sudah masuk dalam tahap mengancam kelangsungan hidup rakyat Indonesia dan telah memakan korban ribuan orang setiap tahun.
Lebih dari 400 anak di Indonesia meninggal setiap hari, sebagian besar disebabkan diare dan ISPA, dua penyakit yang berhubungan erat dengan kebersihan serta kesehatan air dan udara. Belum lagi potensi perubahan iklim yang berdampak dahsyat pada kelangsungan hidup manusia secara global. Jokowi-JK perlu melakukan terobosan dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia untuk mengatasinya.
Indonesia menjadi negara dengan indikator kerusakan lingkungan hidup tertinggi di dunia. Sungai Citarum merupakan sungai paling tercemar di dunia. Laju kerusakan hutan kita kurun 2000-2012 adalah 2 juta hektar per tahun, tertinggi di dunia. Jakarta kota tercemar ketiga di dunia, emisi gas rumah kaca kita nomor tiga tertinggi di dunia karena kebakaran hutan serta deforestasi dll.
Sejak 1978
Kita telah mempunyai Kementerian Lingkungan Hidup sejak 1978 dan merupakan salah satu negara pionir di dunia dalam mendirikan institusi yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Namun, ironisnya, indikator fisik lingkungan tidak pernah membaik. UU No 32/2009 tentang Lingkungan Hidup sebenarnya sudah cukup kuat memperbaiki kondisi lingkungan hidup kita, tetapi tidak cukup kuat menangani krisis yang sedang kita hadapi dengan latar kelembagaan seperti sekarang.
Saat ini pengelolaan lingkungan hidup terpecah-pecah ke dalam beberapa kementerian berdasarkan sektor ekonomi dan batas administrasi pemerintahan. Kementerian Lingkungan Hidup berwenang membuat kebijakan, menyupervisi analisis mengenai dampak lingkungan, membuat standar dan melakukan penyidikan serta penuntutan kasus perusakan lingkungan hidup. Namun, kementerian ini kementerian kelas dua, yang tidak mempunyai wewenang implementasi dan dengan anggaran yang minim pula.
Implementasi kebijakan lingkungan hidup ada pada kementerian lain yang portofolio. Kehutanan, misalnya, diatur oleh UU Kehutanan, UU Keanekaragaman Hayati, dan dikelola Kementerian Kehutanan. Air berada di bawah Kementerian PU diatur oleh UU Air. Eksploitasi sumber daya mineral diatur UU Pertambangan dan berada di bawah Kementerian ESDM. Lingkungan laut dan pesisir diatur dalam UU Perikanan dan Kelautan dan berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Akibatnya, peran Kementerian Lingkungan Hidup direduksi hanya mengurusi aspek yang menyangkut pencemaran dari sektor yang aspek keberlanjutan lingkungan tidak diatur dalam UU sektoralnya, yaitu pencemaran di industri serta pembakaran lahan dan hutan.
Lingkungan hidup adalah suatu kesatuan wilayah kehidupan yang berinteraksi satu sama lain yang hanya dibatasi batas-batas ekologi yang ditentukan kondisi geografis dan iklim. Pengelolaan sungai tidak bisa dibatasi batas kabupaten atau sektor ekonomi. Ia harus utuh menyeluruh dan terintegrasi dari hulu sampai hilir, menyangkut tidak saja badan sungai, tetapi juga areal di kiri kanan sungai yang disebut daerah aliran sungai (DAS).
Kelembagaan yang terkotak- kotak berdasarkan sektor dan wilayah administratif tidak akan mampu menghasilkan kesatuan pengelolaan dan perlindungan tanpa adanya dirigen kuat yang mengatur perencanaan dan anggaran lintas sektor dan lintas wilayah, memantau dan mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan secara berkala untuk capaian yang maksimal.
Wewenang Kementerian Lingkungan Hidup perlu ditingkatkan sampai tahap itu, me- ngoordinasi perencanaan, anggaran, pemantauan, dan evaluasi untuk mencapai indikator lingkungan hidup yang ditargetkan serta pengawasan restorasi dan perlindungannya, dari pusat sampai ke daerah, lintas wilayah dan lintas sektoral.
Pengelolaan sumber daya mineral dan hayati (kehutanan, pertanian, dan kelautan) tidak bisa dipisahkan dalam sektor-sektor ekonomi, tetapi harus diperlakukan sebagai satu sumber daya alam yang dikelola berdasarkan wilayah ekologis dan berkelanjutan. Hanya dengan cara inilah kita dapat mencegah krisis yang lebih lanjut dan bahkan dapat membalikkan penurunan indikator lingkungan jadi lebih baik.
Emmy Hafild
Ketua Yayasan Komodo Kita; Direktur Eksekutif Nasional Walhi 1996-2002;
Direktur Eksekutif Greenpeace Southeast Asia 2005-2008
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008682465
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar