Di arena internasional, tim Nasional Indonesia di semua tingkatan umur, khususnya U-16, U-19, U-23, dan timnas senior, belum bisa menunjukkan prestasi membanggakan. Timnas U-19 yang semula diharapkan menjadi generasi emas belum mampu bersaing di tingkat Asia.
Tahun 2013, muncul secercah harapan dalam dunia sepak bola Indonesia dengan prestasi mengagumkan yang dibuat timnas U-19 asuhan Indra Sjafri. Di luar dugaan banyak pihak, timnas U-19 menjuarai turnamen tingkat Asia Tenggara, Piala AFF U-19, dan berhak lolos ke turnamen Piala Asia (AFC) U-19, yang sekaligus menjadi ajang seleksi menuju Piala Dunia U-20 tahun 2015.
Sejak prestasi membanggakan itu, Evan Dimas dan kawan-kawan menjadi idola baru. Sepanjang 2014, mereka mendapat panggung dengan Tur Nusantara I dan Tur Nusantara II serta sejumlah pertandingan. Semua pertandingan itu disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi swasta. Kemenangan demi kemenangan atas berbagai tim di sejumlah daerah diraih.
Maka, wajarlah jika harapan masyarakat Indonesia semakin besar terhadap tim yang dibangun Indra Sjafri itu. Rentetan kemenangan, meski atas tim-tim kecil, pada akhirnya memunculkan impian besar di benak masyarakat Indonesia, yaitu lolos ke putaran final Piala Dunia U-20 di Selandia Baru. Namun, ekspose yang sangat gencar terhadap timnas U-19 kemudian jadi bumerang baik bagi Evan Dimas dan kawan-kawan maupun pelatih Indra Sjafri. Pola permainan mereka dengan mudah bisa dibaca orang, begitu juga sosok pemain mana yang menjadi kuncinya.
Hal itu terlihat dari semakin banyak lawan bisa dengan mudah meredam pola permainan bola- bola pendek dan cepat dari kaki ke kaki, yang diajarkan Indra kepada anak asuhnya. Puncaknya adalah kegagalan timnas U-19 melaju ke putaran final Piala Dunia U-20 setelah tersingkir di babak penyisihan grup pada turnamen Piala AFC U-19 di Myanmar, 9-23 Oktober. Menempati peringkat pertama hingga keempat menjadi syarat tim lolos ke Piala Dunia U-20.
Berada satu grup dengan Australia, Uzbekistan, dan Uni Emirat Arab, tak sekali pun Indonesia meraih kemenangan. Melawan Uzbekistan di laga perdana, Indonesia kalah 1-3. Setelah itu, tim berjulukan "Garuda Jaya" itu ditaklukkan Australia, 0-1, dan Uni Emirat Arab, 1-4.
Sebelum tampil di Myanmar, Evan Dimas dan kawan-kawan bermain dalam turnamen Piala Hasanal Bolkiah di Brunei. Diikuti 11 tim dari Asia Tenggara, Indonesia bergabung dengan Vietnam, Malaysia, Brunei, Kamboja, dan Singapura. Indonesia hanya menempati peringkat kelima Grup B, hasil sekali menang, sekali imbang, tiga kali kalah. Salah satu kekalahan dialami dari Brunei, negara yang selama ini lemah dalam sepak bola. Lolosnya timnas U-19 ke Myanmar sebenarnya cukup membanggakan, mengingat hal itu terakhir kali dilakukan 10 tahun lalu oleh Boaz Solossa dan kawan-kawan. Namun, ketika gagal meraih satu pun nilai, masyarakat tetap kecewa.
PSSI, yang sangat kecewa dengan hasil timnas U-19 di Piala AFC U-19 Myanmar, memutuskan membubarkan timnas U-19 dan memberhentikan Indra Sjafri sebagai pelatih. Padahal, tim yang telah dibangun hampir tiga tahun itu sangat pantas untuk terus dikembangkan.
Dengan persiapan selama setahun, timnas U-19 disiapkan dengan penuh kedisiplinan dan perilaku yang baik. Tim ini pun mendapat pujian di dalam dan di luar lapangan. Akan tetapi, banyak orang memang lebih mementingkan hasil akhir, bukan proses yang dijalani. Dengan berakhirnya timnas U-19 binaan Indra Sjafri itu, Evan Dimas dan kawan-kawan pun kini berpencar. Mereka meneruskan karier dengan menerima tawaran dari klub-klub sepak bola yang berlaga di Liga Super Indonesia.
"Sepak bola gajah"
Kegagalan timnas U-19 di ajang AFC U-19 kian "lengkap" dengan gagal totalnya timnas U-23 di Asian Games dan timnas senior di Piala AFF. Meski PSSI telah memanggil kembali Alfred Riedl untuk menangani timnas senior, prestasi timnas senior mengecewakan dengan tersingkir di babak penyisihan grup setelah dibantai Filipina 0-4, bermain seri 2-2 melawan Vietnam, serta menang 5-1 atas Laos.
Mantan pemain tim nasional Bambang Nurdiansyah menilai, buruknya penampilan tim "Garuda" di Piala AFF bukan karena salah pelatih dan pemain, melainkan karena kebijakan PSSI. Pemain tidak dalam kondisi bugar karena baru menyelesaikan kompetisi Liga Super Indonesia sehingga baru berlatih bersama dan lengkap sekitar 10 hari sebelum Piala AFF dimulai. "Siapa pun pelatihnya, pastilah akan kesulitan," ujar Bambang.
Di tataran domestik, khususnya kompetisi dalam negeri, dunia sepak bola Indonesia dinodai dengan "sepak bola gajah" yang sangat memalukan antara PSS Sleman melawan PSIS Semarang pada kompetisi Divisi Utama. Laga itu benar-benar melawan akal sehat, dengan tujuan saling mengalah. Bahkan, untuk mencapai tujuan kalah itu, mereka sama- sama melakukan gol bunuh diri. Pertandingan berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan PSS. Kedua tim beralasan sama-sama tidak ingin menang agar tidak bertemu dengan Borneo FC di laga semifinal. Mengapa takut bertemu Borneo FC? Mereka mengatakan mendengar desas- desus cukup kencang bahwa tim dari Kalimantan Timur itu memang sudah disiapkan untuk melaju ke babak final Divisi Utama sehingga dipastikan berhak "naik kelas" ke kompetisi ISL musim depan.
Komisi Disiplin PSSI memang bergerak cepat menangani kasus sepak bola gajah ini dengan langsung mencoret PSS dan PSIS dari Divisi Utama serta menskors dan mendenda sejumlah pemain, pelatih, dan pengurus klub. Hukuman yang dijatuhkan pun tak tanggung-tanggung, skors seumur hidup. Namun, kasus ini belum tuntas karena belum ditemukannya "otak" skenario itu.
Penumpasan mafia sepak bola, karena itu, menjadi tantangan PSSI dan seluruh insan sepak bola Indonesia pada tahun mendatang. Iklim kompetisi yang sehat sangat penting untuk mengasah kemampuan pemain. Dengan bekal itu, mudah-mudahan kita bisa memiliki timnas yang tak hanya menghidupkan harapan, tetapi juga mewujudkannya.
(Rakaryan S)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010590852
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar