Hal yang pasti, banyak asa ditumpukan: perkara lingkungan hidup melingkupi lokus yang lebih luas daripada hutan. Di sisi lain, hutan adalah ruang yang sesak dengan beragam persoalan: mulai dari lingkungan hidup yang rusak, ancaman keberlanjutan hayati, korupsi, hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Masalah paling kasatmata adalah bencana asap di Provinsi Riau dan kawasan sekitarnya telah dibiarkan menyengsarakan rakyat selama sekitar dua dekade. Pada tahun 2014 saja, total 24.000 hektar lahan terbakar selama Januari-Maret.
Seluas 2.400 hektar cagar biosfer terbakar, biaya pengendalian Rp 150 miliar lebih dan 58.000 jiwa menderita pneumonia, asma kronis, iritasi mata, dan kulit (data Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Di Riau, kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut sehingga sulit dipadamkan. Gambut adalah lahan krusial dan rentan terhadap kebakaran dan pelepasan gas rumah kaca yang diekuivalenkan dengan gas karbon. Gambut adalah gudang karbon amat besar. Indonesia diposisikan di tempat ketiga pengemisi karbon akibat kerusakan lahan gambut.
Soal kebakaran, Indonesia jatuh di lubang sama puluhan kali. Terus dan terus terjadi.
Tahun 2014 ditandai sejumlah tuntutan hukum dalam hal kebakaran hutan dan lahan. Pendekatan banyak pintu dilakukan dengan melibatkan semua instansi penegak hukum dan pemilik kewenangan. Audit kepatuhan juga dilakukan meski hasilnya belum tuntas. Masalah kebakaran hutan dan lahan jadi isu utama yang harus diselesaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Langkah awal Presiden Joko Widodo meninjau lokasi kebakaran hutan 26-27 November 2014 menumbuhkan harapan. Setelah terbang berkeliling, Presiden tegas menekankan, gambut tak boleh dikeringkan. Dan, secara simbolis Presiden menabat kanal gambut di Desa Sungai Tohor, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Meski menyisakan debat, diinisiasi Kementerian Lingkungan Hidup (saat itu), pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Pekerjaan rumah
Saat persoalan internal kebakaran—yang berdampak internasional—telah mendapat perhatian penuh, Kementerian LHK yang lahir akhir Oktober lalu harus siap menyelesaikan setumpuk pekerjaan rumah. Terutama terkait dengan komitmen internasional.
Kebakaran hutan mengancam dua perkara lain yang menjadi sorotan dunia internasional: keanekaragaman hayati, masyarakat adat, dan perubahan iklim. Indonesia aktif terlibat dalam upaya global mengatasi masalah di ketiga ranah persoalan itu.
Indonesia kerap disebut negara megabiodiversity setelah Brasil. Selain hutan tropis amat luas yang jadi rumah beragam satwa dan tanaman, Indonesia memiliki laut yang kaya sumber daya alam. Indonesia tepat ada di pertemuan dua samudra utama, Pasifik dan Atlantik. Daerah itu amat kaya nutrien sehingga amat subur. Bersama Papua Niugini, Kepulauan Solomon, Malaysia, Timor Leste, dan Filipina, Indonesia membentuk Inisiatif Segitiga Terumbu Karang (CTI) untuk menyelamatkan ekosistem laut untuk keberlanjutan terumbu karang.
Setelah Konferensi Keanekaragaman Hayati di Pyeongchang, Korea Selatan, Indonesia wajib menyusun strategi rencana aksi keanekaragaman hayati Indonesia (IBSAP) sebagai pegangan langkah mencapai Target Aichi pada 2020.
Sayangnya, isu keanekaragaman hayati selalu tenggelam dan tertinggal. Padahal, isu ini adalah inti keberlanjutan ekosistem. Keanekaragaman hayati juga merupakan korban utama bencana kebakaran, perubahan iklim, dan pada isu alih fungsi hutan dan lahan.
Pengakuan negara
Di sisi lain, keanekaragaman hayati adalah manfaat utama yang diperoleh jika negara memberi hak-hak masyarakat adat secara adil. Selama ini terjadi pembiaran pelanggaran hak-hak asasi manusia kepada masyarakat adat. Mereka kerap dikriminalkan.
Isu masyarakat adat terus tertinggal dari isu-isu lain. Masyarakat adat jadi anak tiri negara. Rencana Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) pun tak kunjung disahkan DPR. Padahal, itu adalah amanat konstitusi Pasal 18B ayat (2) yang mengharuskan ada UU tentang MHA.
Pemerintah kini menyiapkan Satuan Tugas Nasional PPMHA untuk mengisi masa transisi sebelum UU PPMHA disahkan.
Dalam isu itu, Indonesia tak bisa mengelak lagi. Tahun ini, sebagai upaya implementasi Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP) tahun 2007, lahir Dokumen Hasil (Outcome Document) pada Konferensi Dunia Masyarakat Adat (WCIP) di New York, September lalu.
Jika pemerintah konsisten, kita berharap masyarakat adat yang selama ini selalu menjadi korban ketidakadilan, konflik, dan kemiskinan bisa mendapatkan kembali hak-haknya.
Perkara perubahan iklim
Isu terpanas adalah pemanasan global dan perubahan iklim yang selalu jadi penutup tahun yang "hangat". Tugas berat menanti karena untuk isu satu ini, banyak lembaga menangani. Focal point justru berada di luar struktur kelembagaan negara.
Program penurunan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan dan lahan (REDD+) sebagai program yang disorot dunia internasional, juga diserahkan pada lembaga di luar nomenklatur kelembagaan negara.
Indonesia adalah pengemisi besar gas rumah kaca sekaligus berpotensi besar sebagai rosot (penyerap) gas rumah kaca. Selain itu, Indonesia adalah negara berkembang yang rawan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, dalam negosiasi internasional, Indonesia berpedoman, "Jangan jadi penghambat perundingan". Indonesia tak jelas berpihak kepada negara berkembang.
Beragam masalah hutan, keanekaragaman hayati, masyarakat adat, dan perubahan iklim ada di wilayah urusan Kementerian LHK.
Jika pemerintah serius ingin menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkelindan di kawasan hutan itu, saatnya peran focal point dipulangkan ke kementerian dalam nomenklatur, agar hambatan terkait kewenangan dan koordinasi teratasi dan kelindan pun terurai. (BRIGITTA ISWORO/ICHWAN SUSANTO)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010590797
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar