Dengan pemisahan kekuasaan dalam sistem demokrasi,
Sudah lebih dari 10 tahun, rakyat Indonesia memilih langsung kepala daerah sampai presiden. Kendati kehidupan berdemokrasi lebih maju, Indonesia masih termasuk dua pertiga dari 175 negara terkorup dengan skor di bawah 50. Indeks Persepsi Korupsi 2014 yang dikeluarkan Transparency International untuk Indonesia memberikan skor 34 (peringkat 107), setelah dua tahun berturut-turut stagnan dengan skor 32 (peringkat ke-118 pada 2012 dan peringkat ke-114 tahun 2013).
Sedikit perbaikan indeks korupsi ternyata berbanding terbalik dengan tren peningkatannya. Menurut laporan Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch untuk semester I-2014, kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi berjumlah 25 orang (11 orang pada semester I-2013). Tersangka korupsi berjumlah 659 (1.271 tersangka pada 2013 dan 1.157 tersangka pada 2010) serta kasus korupsi berjumlah 308 (560 kasus pada 2013 dan 448 kasus pada 2010).
Presidensialisme sebenarnya membuat kedudukan eksekutif sangat kuat untuk mengeksekusi kebijakan pro rakyat. Namun, kapasitas sosial negara tidak terlihat menyentuh kepentingan rakyat. Nelayan kecil tidak menikmati bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang menjadi hak mereka. Di laut, mereka selalu kalah bersaing dengan kapal-kapal besar (sebagian ilegal) yang bebas menguras kekayaan di laut. Demi pendapatan asli daerah (PAD), izin eksplorasi tambang diobral. Masyarakat di daerah pertambangan tetap miskin. Kerusakan lingkungan terjadi secara masif. Negara gagal membangun perekonomian rakyat.
Eksekusi negara kesejahteraan tidak efektif karena eksekutif bermain mata dengan legislatif. Eksekutif merangkul parlemen dengan berbagi jatah proyek dan fasilitas. Fungsi kritis legislatif dibuat jinak. Keduanya saling melayani dan kompromi terjadi dalam penyusunan mata anggaran. Pos-pos anggaran negara menjadi bancakan elite politik. Eksekutif melenggang nyaris tanpa kontrol.
Korupsi yang sistematis, terstruktur, dan masif menggerogoti anggaran negara dan sumber daya alam. Kepentingan partai terlalu jauh mencampuri urusan negara hingga melumpuhkan kapasitas sosialnya. Rumah sakit daerah di Kabupaten Bangkalan (Madura) pernah tidak mampu mengoperasikan peralatan medisnya hanya karena ketiadaan listrik. Gas negara yang semestinya untuk pembangkit tenaga listrik disalurkan bupati untuk swasta.
Merespons situasi itu, sebagian elite partai politik hendak mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Alasannya, rakyat tidak mampu memilih langsung calon kepala daerah yang baik.
Logika politik tersebut mengabaikan fakta bahwa kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi notabene diusung (gabungan) parpol. Pertanyaannya, apakah rakyat tidak mampu memilih ataukah tidak ada calon berkualitas? Faktanya, partai masih lemah dalam kaderisasi. Dari beberapa kepala daerah yang baik, cukup banyak di antaranya bukan orang partai. Partai sering menempuh jalan pintas dan memanfaatkan tokoh yang sudah jadi. Mesin partai bekerja optimal melalui politik pencitraan dan politik uang.
Belakangan ini, rakyat sudah melek politik dan cenderung tidak memilih calon kepala daerah yang diusung gabungan parpol kuat. Bahkan, ada calon nirpartai (independen) akhirnya terpilih. Ada ketidakpercayaan rakyat terhadap parpol. Terpilihnya pasangan presiden di tengah kepungan realitas politik di parlemen dan mesin birokrasi yang memihak pasangan pesaing sesungguhnya bagian dari efek deparpolisasi.
Deparpolisasi seharusnya diikuti deparlemenisasi agar pemimpin rakyat tak tersandera kepentingan parpol di parlemen. Wakil rakyat dalam praktiknya lebih cocok disebut petugas partai. Mereka tanpa malu-malu memperjuangkan kehendak elite partai, bukan kehendak rakyat. Demi kalkulasi kekuasaan, DPR lama dengan cepat merevisi undang-undang yang mengatur dirinya sendiri dan tidak lama kemudian undang-undang itu direvisi kembali oleh DPR baru (
Dalam bahasa yang halus, kekuatan politik nonpemerintah di parlemen berkoalisi untuk menjadi penyeimbang pemerintah. Namun, koalisi itu hanya menjadi bagian dari teknologi kekuasaan yang mengkhianati kepercayaan rakyat. Suara rakyat adalah untuk pemimpin eksekutif dan wakil rakyat, bukan koalisi. Koalisi yang bernapaskan spirit demokrasi liberal jelas bertentangan dengan demokrasi Pancasila. Fragmentasi politik nasional kini menuai perpecahan di tubuh dua partai tua. DPR juga sibuk dengan dirinya. Sementara itu, geliat pemerintahan baru memberikan tanda-tanda kebangkitan negara. Keputusan berani terkait dengan subsidi BBM. Politik anggaran ketat. Penghematan besar-besaran. Penataan ulang relasi pusat dan daerah. Kebijakan tegas di laut. Evaluasi total Kurikulum 2013.
Eksekutif sedang melawan adagium bahwa sistem presidensial dengan sistem multipartai berpeluang untuk membuat pemerintahan tidak efektif. Mustahil meniadakan peran dan pengaruh parpol dalam kehidupan bernegara. Namun, eksekutif tidak boleh tunduk pada logika parlemenisasi. Eksekutif tak boleh berselingkuh politik dengan legislatif dan tersandera politik gaduh.
Untuk itu, tidak ada jalan bagi eksekutif untuk berkualitas dalam eksekusi dan berintegritas dalam kepemimpinan. Eksekutif harus tegas dan konsisten mengamankan anggaran negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Namun, potensi koruptif yang harus diwaspadai justru akan datang dari parpol pendukung. Kita masih perlu melihat apakah eksekutif mampu melampaui pamrih kekuatan politik yang mendukungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar