Sesudah politik, kita biasanya gagap merespons perubahan yang ada. Hal ini mulai terasa sejak akhir 2014. Ketentuan UU No 23/2014—dipertegas Surat Edaran Mendagri No 903/6865/SJ—soal tenggat penyusunan APBD dan sanksi potong hak keuangan (gaji, tunjangan) kepala daerah dan DPRD justru membuat pusat dan daerah kaget, tidak siap, dan ujungnya diam-diam menenggang pelanggaran.
Klausul keras tersebut sekilas menyiratkan niat baik. Pemerintah daerah mesti disiplin dalam menyiapkan anggaran. Namun, mencermati latar historis dan misi kelahirannya, ambisi jalan pintas untuk bisa menjadikan UU ini sebagai instrumen kendali politik dan tertib administrasi daerah membuat penyusunnya lupa konteks khas relasi pusat-daerah dan kerumitan implementasi maupun penegakan sanksi dalam tata desentralisasi.
Banyak pihak menduga, ruang otonomi tahun 2015 jadi lebih sesak dan terkontrol. Hal ini sejalan dengan kebutuhan pemerintahan Joko Widodo untuk mengefektifkan aneka program Nawa Cita. Keterpaduan pusat-daerah, atau persisnya loyalitas daerah kepada pusat, dinilai sebagai prasyarat bagi kemajuan. Bagi daerah yang tidak loyal—menyitir pernyataan Jokowi dalam debat capres pada 9/6/2014—berlaku kontrol lewat instrumen politik anggaran.
UU No 23/2014, sebagai warisan pada akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, melapangkan jalan ke sana. Bahkan, jalan itu tak sebatas politik anggaran berupa penundaan dana transfer ataupun pemotongan hak keuangan.
UU ini juga menggaransi amunisi komplet: 10 "wajib" (baik yang sifatnya prosedural maupun subtantif) dan 5 "sanksi" (dari teguran hingga pemberhentian kepala daerah). Lebih fundamental lagi,
Pertama, pertama kali terjadi dalam legal-historis pengaturan otonomi di negeri ini, suatu UU Pemda langsung dibuka dengan sejumlah pasal terkait sosok pusat yang digdaya. Kalau sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia terdapat tujuh UU Pemda, dengan klausul awal pengaturan selalu soal kewenangan daerah, pada halaman awal UU baru ini sudah langsung terasa hadirnya negara lewat pengaturan otoritas pusat. Lihat, misalnya, soal "pembagian wilayah" atau "kekuasaan pemerintahan" yang mendudukkan presiden sebagai pemilik segala urusan.
Konstruksi perundang-undangan demikian tentu bukan tanpa maksud tertentu. Melalui UU baru ini, Jakarta (pusat) hendak mengingatkan daerah bahwa segala pasal selanjutnya harus dibaca dalam kerangka ketaatan akan kekuasaan pusat sebagai sumber otonomi, muara ketaatan dan pertanggungjawaban, dan pemangku otoritas yang sewaktu-waktu bisa menjatuhkan palu sanksi, bahkan penarikan kembali urusan otonomi.
Kedua, penguatan provinsi/gubernur sebagai wakil pusat di daerah. Melihat disfungsi gubernur dan keberadaan provinsi yang seolah menjadi
Sayangnya, dalam UU baru, pendekatan penguatan itu bergerak terlalu jauh. Justru yang menonjol adalah penguatan dalam status provinsi sebagai daerah otonom dengan cara menarik kembali urusan yang selama ini dikelola kabupaten/kota (pertambangan, kehutanan, kelautan, perikanan) ke provinsi. Alih-alih "menarik ke bawah" otoritas pusat ke provinsi, yang terjadi justru "menarik ke atas" urusan daerah ke provinsi.
Terlepas dari alasan ekonomi (skala efisiensi), ekologi (eksternalitas), dan kapasitas lemah sebagian pemda, dari perspektif otonomi hal ini adalah redesain fundamental yang berpotensi tergelincir ke resentralisasi parsial atau mikro-sentralisasi: menjauhkan jarak publik dan letak masalah dengan pusat kekuasaan yang mengurusnya. Paradoks jarak (
Memang, kebutuhan strategis kita hari ini adalah suatu otonomi yang akuntabel dan efektif. Rakyat tentu yang akan dirugikan jika daerah, misalnya, terlambat menyusun APBD, entah karena alasan politik maupun teknis. Bahkan, lebih dari sekadar akuntabilitas prosedural tersebut, kita meniscayakan akuntabilitas kinerja: memastikan belanja berkualitas dan APBD efektif sebagai instrumen fiskal bagi stimulans ekonomi, bukan habis terpakai untuk belanja birokrasi, rapat dan perjalanan dinas, apalagi dirampok para pemburu rente dan koruptor.
Dalam tata desentralisasi, rezim sanksi tak banyak terbukti menjamin pemerintahan akuntabel dan efektif. Daerah bisa berpura-pura loyal (takut dana ditunda, formasi PNS tak dipenuhi), atau melihat sanksi itu sebagai alasan untuk menolak berinovasi. Saya yakin, meski pernah mengumbar sanksi politik anggaran, Presiden Jokowi—yang tumbuh dari candradimuka kepemimpinan lokal berkat ruang gerak otonomi yang leluasa telah berhasil membangun Solo, melahirkan banyak terobosan, bahkan berani beda sikap dari Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo saat itu—memahami elan otonomi dan memiliki cara terbaik mendorong akuntabilitas dan efektivitas desentralisasi.
Dengan keyakinan tersebut, saya membayangkan sejumlah jalan berikut yang akan diambil pemerintah. Pertama, menyadari bahwa problem loyalitas daerah juga adalah resonansi dari disharmoni di pusat. Kalau untuk membikin pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) dalam kerangka reformasi perizinan saja mereka sudah bingung dengan pilihan model konfliktual antara Kemendagri dan BKPM, sanksi dalam UU No 23/2014 atas daerah yang tak punya PTSP tak boleh langsung diberlakukan. Tanpa beres di pusat (satu kebijakan, satu model), secara moral jelas tak patut meminta daerah menjalankan daftar "wajib" dalam UU.
Kedua, entah karena tak sabar, atau lantaran masih mewarisi alam pikir dan cara kerja era sentralistik, pusat gampang tergoda bertindak represi ketimbang prevensi dan fasilitasi. Fungsi pusat jelas tak saja pengawasan yang berujung sanksi, tetapi juga terutama dan mesti didahului pembinaan berupa fasilitasi penguatan kapasitas dan sistem integritas agar kekuasaan daerah bisa terkelola secara akuntabel dan efektif. Selama 14 tahun berotonomi, fasilitasi ini nyaris absen atau sekadar jadi proyek dengan metode kuno, tetapi gemar melompat ke ujung untuk evaluasi, pengawasan, dan sanksi.
Ketiga, tata kelola pemerintahan tak semata soal aturan dan desain institusional, tetapi juga politik. Di sini krusialnya kepemimpinan presiden, mendagri, hingga para gubernur mengelola relasi dengan 500 bupati/wali kota. Komunikasi politik, partisipasi, dan dialog inklusif, serta transparansi kebijakan nasional menjadi penentu langgam pemerintahan ke depan. Realitas politik lokal majemuk (asimetris), termasuk pembelahan kubu (koalisi) nasional yang berimbas ke ranah lokal, bisa bergerak liar jika jalan keras regulasi tak secara cermat berkombinasi dengan negosiasi, fasilitasi, dan usaha lainnya.
Relasi pusat-daerah mungkin akan memasuki babak baru, ruang otonomi boleh jadi menciut. Namun kebutuhan berotonomi yang efektif dan akuntabel mesti bergayut dengan cara-cara normal dalam tata desentralisasi. Seni mengelola hubungan, mungkin juga ketegangan yang ada, jadi titik uji tersendiri bagi kepemimpinan Jokowi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar