Gagasan revolusi mental versi Jokowi yang semula nyaring sebelum dan selama Pemilu Presiden 2014 kini nyaris tak terdengar lagi. Begitu pula dengan Trisakti. Mungkin Jokowi menganggap rakyat sudah cukup "sakti" dan mampu berjalan sendiri untuk mewujudkan dua gagasan besar itu. Bukankah neoliberalisme melarang negara untuk hadir dalam kehidupan masyarakat sehingga pasar lebih leluasa berkuasa? Namun, benarkah Jokowi adalah presiden neolib?
Benar, Jokowi bukan ideolog, melainkan pengusaha. Ideolog adalah penggagas, penafsir, dan pelaksana ideologi (cita-cita besar gagasan) untuk mewujudkan masyarakat bermartabat: adil, sejahtera, berkebudayaan tinggi, dan berperadaban. Tokoh-tokoh seperti Bung Karno (penggali Pancasila), Bung Hatta (pencetus ekonomi berorientasi kekeluargaan/kerakyatan atau koperasi), Bung Sjahrir (penggagas sosialisme kerakyatan ala Indonesia), serta Ki Hadjar Dewantara (penggagas dan pelaksana pendidikan berbasis kebangsaan/kerakyatan) adalah ideolog.
Adapun pengusaha adalah sosok wirausaha (
Dengan melihat latar belakang Jokowi, kita tak lantas pesimistis terkait dengan pelaksanaan revolusi mental dan Trisakti. Apalagi menilai bahwa dua gagasan itu ibarat kapur barus yang telah menyublim dan menguap. Jokowi punya tangki pemikir yang sangat paham revolusi mental dan Trisakti.
Kebudayaan ideologi lebih mengutamakan nilai-nilai ideal dan mendasar serta bersifat jangka panjang daripada kepentingan jangka pendek/pragmatis seperti keuntungan material. Revolusi mental bicara tentang kesadaran etis dan etos yang membentuk serta membangun perilaku etis dan produktif. Adapun Trisakti bicara pentingnya kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan.
Revolusi mental dan Trisakti yang diusung JKW-JK sesungguhnya bicara tentang pentingnya martabat bangsa yang dibangun melalui tiga hal mendasar: integritas, komitmen, dan kapabilitas. Gagasan ini sangat relevan di tengah kondisi bangsa yang secara sadar meninggalkan atau tidak menganggap penting martabat. Indikatornya antara lain gampang dilihat pada perilaku masif para penyelenggara negara yang oportunistis dan gemar korupsi serta sangat terlatih mengingkari konstitusi.
Kondisi keruh di tingkat hulu menimbulkan bakteri dan penyakit mental di tingkat hilir (masyarakat) yang melakukan
Mentalitas instan, lebih mengutamakan hasil daripada pencapaian nilai melalui proses, sangat dominan. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan sebagai cerminan moralitas, etika, estetika, dan logika dilabrak tanpa permisi demi gumpalan keuntungan material atau kenikmatan.
Lihatlah, misalnya, industri televisi yang cenderung mengumbar perilaku asal untung, asal mencapai
Celakanya, saat ini industri hiburan di televisi telah menggantikan institusi keluarga, sekolah, agama, politik, budaya, masyarakat, dan negara sebagai pusat orientasi nilai warga masyarakat, terutama generasi muda. Pemerintah dan penyelenggara negara cenderung diam dan menganggap seolah tak ada masalah. Memang kadang muncul teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia, tetapi hal itu tidak memberikan perubahan signifikan.
Para penyelenggara pemerintahan dan negara layak merasa memiliki dosa kebudayaan dengan membiarkan kondisi buram itu terus berlangsung. Mereka berdosa secara kultural karena membiarkan publik diterkam para predator kebudayaan.
Bagaimana revolusi mental bisa dilangsungkan jika menghadapi para penguasa modal industri hiburan di televisi saja pemerintah dan penyelenggara negara tidak mampu? Kenapa harus menyerah pada liberalisme hanya takut dianggap tidak demokratis? Esensi demokrasi adalah melakukan penguatan masyarakat sipil, baik secara politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Bukan membiarkan masyarakat lepas, permisif tanpa kendali.
Negara wajib menginisiasi berbagai program yang secara kultural sangat strategis untuk mengimbangi dominasi dan hegemoni industri hiburan di televisi yang cenderung dekaden. Bukankah pemerintahan Jokowi dan JK didukung masyarakat intelektual, pendidik, pengusaha, seniman, budayawan, rohaniwan, dan sumber potensial lainnya? Mereka dapat dilibatkan untuk menciptakan dan mewujudkan strategi kebudayaan.
Jokowi yang gemar bicara soal ekonomi kreatif dan industri kreatif mestinya sangat peduli pada soal ini. Manusia Indonesia menjadi kreatif jika punya martabat, karakter, identitas, jati diri. Ini semua sedang lenyap sehingga bangsa ini menjadi kurang terhormat, tidak mandiri, tidak produktif, dan cenderung hanya menjadi bangsa konsumtif yang menyembah pada
Jika Bung Karno berapi-api bilang, "Revolusi belum selesai!", Bung Jokowi selayaknya juga bilang, "Revolusi mental belum terjadi! Semoga saya tidak lupa."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar