Hakim Konstitusi Palguna diusulkan Presiden Joko Widodo masuk ke Mahkamah Konstitusi melalui proses seleksi terbuka dengan melibatkan Panitia Seleksi serta rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Palguna bukanlah orang baru di MK karena ia pernah menjadi Hakim MK 2003-2008.
Seleksi terbuka yang dilakukan Presiden Jokowi dengan melibatkan Panitia Seleksi patut diapresiasi demi dan untuk melahirkan seorang negarawan tanpa keraguan atau catatan dari publik. Palguna masuk menggantikan Hamdan Zoelva yang habis masa jabatannya dan menarik diri dari proses seleksi yang dilakukan Panitia Seleksi.
Adapun Suhartoyo yang diusulkan Mahkamah Agung dalam seleksi yang berbeda meninggalkan catatan dari Komisi Yudisial. Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki mengatakan, Komisi Yudisial masih menyelidiki dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Suhartoyo saat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Suhartoyo diduga beberapa kali pergi ke Singapura, Agustus 2013, dan diduga kepergiannya itu terkait dengan diterimanya peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana kasus korupsi Sudjiono Timan. Dugaan Komisi Yudisial itu telah dibantah Suhartoyo. Dikutip harian ini, Suhartoyo mengatakan, "Memang nama majelis hakimnya mirip dengan nama saya, tetapi itu bukan saya."
Sebagai hakim konstitusi yang berstatus negarawan, seyogianya tidak ada keraguan publik menyangkut integritas. Tingkat kepercayaan publik terhadap MK belum pulih setelah ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar dan divonis seumur hidup atas tuduhan korupsi saat menjalankan kewenangannya sebagai hakim konstitusi.
Karena itulah, kita mendorong Komisi Yudisial menuntaskan penyelidikan atas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Suhartoyo. Apa pun hasil penyelidikan Komisi Yudisial harus disampaikan kepada publik agar publik tahu duduk permasalahan sebenarnya. Jika memang ada pelanggaran etik, bisa saja berpengaruh pada posisi Suhartoyo. Sebaliknya, jika tidak terbukti ada pelanggaran etik, juga harus diumumkan agar semuanya menjadi jelas.
Konstitusi memberikan kewenangan kepada Presiden, MA, dan DPR mengusulkan tiga hakim konstitusi. Namun, beberapa kali terjadi permasalahan dalam proses seleksi hakim konstitusi. Hal itu terjadi karena tidak ada model dan standar yang sama bagaimana ketiga lembaga itu melakukan seleksi hakim konstitusi. Mencalonkan hakim konstitusi bukanlah hak prerogatif pimpinan ketiga lembaga tersebut karena undang-undang mensyaratkan adanya keterlibatan publik dalam setiap proses seleksi.
MK telah lengkap dengan masuknya dua hakim konstitusi, tetapi pekerjaan rumah untuk menata standar seleksi hakim konstitusi tetap harus dikerjakan.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011267838
Tidak ada komentar:
Posting Komentar