TIDAK berlebihan kalau kita umpamakan usaha mencari penyelesaian konflik Palestina-Israel "ibarat mengurai benang kusut".
Demikian kusutnya persoalan Israel-Palestina sehingga diperlukan kehati-hatian tinggi untuk "menarik"-nya dan kemudian membentangkannya agar tidak putus; dicari mana ujung, mana pangkal. Kadang-kadang, memang, menjadi kabur mana ujung-mana pangkal. Namun, sebenarnya, persoalan dasarnya adalah tidak adanya rasa saling percaya di antara kedua belah pihak yang bertikai. Karena itu, bagaimana mungkin bisa tercipta perdamaian di antara keduanya kalau untuk saling percaya saja tidak bisa dibangun.
Selama ini, proses perdamaian lewat perundingan, entah itu yang dimediasi oleh Amerika Serikat maupun beberapa negara yang didukung dan difasilitasi PBB, diprakarsai oleh pihak-pihak yang berkonflik maupun pihak luar, ibarat kata sudah tak terhitung jumlahnya. Sebut saja, setelah tercapai kesepakatan Oslo (1993), sudah berapa banyak perundingan perdamaian yang mereka lakukan, dan apa hasilnya.
Inilah konflik terpanjang dalam sejarah umat manusia. Dan, tentu saja dengan korban jiwa yang banyak pula. Selain itu, inilah konflik yang menyulut emosi rakyat di banyak negara, termasuk Indonesia.
Konflik yang mulai pecah pada akhir tahun 1940-an ini terus bergulir hingga menembus abad ke-20 dan memasuki abad ke-21. Sementara konflik Israel-Palestina belum menunjukkan titik terang perdamaian, sudah muncul konflik di banyak negara, termasuk di sekitar Israel dan Palestina. Karena itu, bukan tidak aneh kalau pada suatu ketika persoalan antara Palestina dan Israel seperti dilupakan atau terlupakan.
Kini persoalan itu muncul kembali setelah Palestina bergabung dengan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) dalam usaha untuk menuntut keadilan. Israel membalas "langkah sepihak"—menurut istilah Israel—Palestina itu dengan membekukan pendapatan pajak barang yang ditujukan ke pasar Palestina, tetapi terpaksa melalui pelabuhan Israel. Menurut perjanjian ekonomi 1994, Israel harus mentransfer hasil pungutan pajak itu ke Otoritas Palestina yang akan digunakan untuk antara lain membayar para pegawai negeri.
Hal yang sama pernah dilakukan Israel pada tahun 2006 setelah Hamas memenangi pemilu pada Januari 2006. Pada waktu itu, roda perekonomian Palestina tetap bisa jalan meski terseok-seok atas bantuan banyak negara, termasuk dari Bank Dunia. Cerita kembali berulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar