Barangkali majelis MK tersebut lupa tugas hakim sebagaimana digariskan oleh UUD 1945, Pasal 24 Ayat (1), yang dengan jelas menyatakan bahwa tugas kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Menegakkan keadilan tanpa landasan hukum akan mengakibatkan tidak ada landasan berpijak yang kuat. Bahkan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan mengingat keadilan dapat bersifat sangat subyektif.
Tidaklah mengherankan apabila para pemikir dan filosof memberikan definisi yang berbeda-beda tentang keadilan itu. Saya sering menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak bisa dipisahkan karena hukum adalah landasannya keadilan, dan keadilan adalah rohnya
Pada waktu putusan MK dipublikasikan kepada publik, saya katakan bahwa putusan ini akan berdampak serius pada masa yang akan datang. Putusan ini akan memorakporandakan sistem penegakan hukum di Indonesia.
Dapat kita bayangkan perkara tidak akan pernah berakhir, bukan hanya pada perkara pidana, melainkan juga akan berdampak pada perkara perdata. Kalau suatu perkara perdata telah dieksekusi karena penggugat telah memenangi perkaranya pada upaya PK disebabkan tergugat telah menggunakan surat bukti surat palsu, yang telah dinyatakan palsu
oleh putusan pidana sampai putusan PK, kemudian tergugat tersebut mengajukan PK yang kedua atas perkara pidana pemalsuan surat, dan ternyata PK-nya dikabulkan oleh hakim, akan timbul persoalan baru perkara yang telah selesai dieksekusi itu.
Putusan MK tersebut, belum lewat satu tahun, tetapi akibatnya telah terasa, terutama dalam eksekusi hukuman mati. Hukuman mati yang telah dijatuhkan oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap terganjal karena si terhukum mengajukan PK lagi. Sesungguhnya upaya PK tidaklah menunda eksekusi. Kalau putusan itu bukan hukuman mati, apabila putusan itu diubah, tentu masih diperbaiki dan dirasakan manfaatnya oleh si terhukum. Namun, kalau hukuman mati sudah dijalankan, manfaatnya tidak ada lagi apabila alasan PK-nya diterima.
Putusan MK tersebut tak bisa lagi ditinjau kembali karena tak ada upaya hukum tersedia, ia berkekuatan hukum tetap. Putusan MK final dan mengikat karena tidak dimungkinkan ada upaya hukum lagi, sedangkan mengikat adalah semua orang harus tunduk pada putusan itu.
Apakah putusan final dan mengikat tersebut punya daya eksekutorial? Pada umumnya suatu putusan hakim yang bersifat final dan mengikat juga mempunyai kekuatan eksekutorial, tetapi dalam praktik ada putusan hakim yang sudah final dan mengikat ternyata tidak dapat dilaksanakan (
Khusus putusan-putusan MK yang dalam praktik tidak dapat dilaksanakan antara lain terlihat pada putusan MK yang memberikan penafsiran tentang perbuatan melawan hukum di dalam perkara tindak pidana korupsi. Pada umumnya hakim tidak menuruti pengertian yang diberikan MK tersebut karena keadaan situasi dan sifat kasus yang dihadapi. Putusan lain yang juga tidak dilaksanakan adalah putusan MK yang memerintahkan pengadilan tinggi untuk mengambil sumpah advokat dengan tidak melihat dari organisasi mana advokat itu berasal. Mahkamah Agung (MA) tidak bisa menuruti perintah ini karena bertentangan dengan UU Advokat yang menyatakan bahwa organisasi advokat hanya satu.
Permasalahan adalah apakah pembatalan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP oleh MK juga membawa akibat bagi berlakunya ketentuan yang sama dengan ketentuan di dalam Pasal UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman (PK hanya boleh diajukan satu kali). Menurut hemat penulis, putusan itu tidak memengaruhi pasal-pasal dalam UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini tetap berlaku secara umum, sedangkan putusan MK yang membatalkan Pasal 368 (3) KUHAP adalah bersifat
Permasalahan yang kita hadapi sekarang ini adalah perlukah ada pengaturan yang mengatur upaya peninjauan kembali yang berulang-ulang tersebut, demi untuk kepastian hukum? Menurut hemat penulis, norma yang akan diperlakukan adalah jelas, "PK dalam perkara pidana boleh dilakukan berulang kali". Pengaturan yang bertentangan dengan hal tersebut dapat dipandang sebagai inkonsitusional (melawan konstitusi).
Dengan demikian, baik eksekutif maupun yudikatif tidak perlu mengeluarkan regulasi dalam bentuk apa pun tentang PK berulang-ulang tersebut. Kecuali tentunya legislatif, apabila menganggap bahwa norma yang ditetapkan MK bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat, ia dapat menghidupkan kembali ketentuan yang telah dihapus tersebut.
Sebagian besar dari kita (termasuk
penulis), mungkin sependapat bahwa demi kepastian hukum pengajuan PK hanya boleh satu kali. Namun, karena ada norma baru yang ditetapkan MK, mau atau tidak mau, wajib hukumnya untuk dipatuhi. Kalau kemudian di dalam kasus-kasus tertentu ada hakim yang berpendapat bahwa PK hanya boleh satu kali dengan segala argumennya, hal tersebut adalah masuk dalam ruang lingkup kebebasan hakim (
Bagaimana hukuman mati yang telah dijatuhkan oleh hakim, apakah tidak bisa dieksekusi karena si terhukum mengajukan PK yang berulang-ulang? Kaidah hukum PK yang sekarang masih berlaku adalah "upaya PK tidak menunda eksekusi". Namun, seperti telah disampaikan di depan, untuk asas kemanfaatan, dalam hal hukuman mati, sebaiknya hukuman mati itu ditunda sampai ada putusan PK.
Di sinilah peluang para penegak hukum untuk membuat kesepakatan, sampai berapa kali PK bisa menunda eksekusi. Menurut pendapat saya, penundaan eksekusi hanya bisa dilakukan saat ada permohonan PK yang pertama. Apabila sudah ada putusan PK, permohonan PK kedua dan seterusnya tidak dapat dipakai lagi sebagai alasan untuk menunda eksekusi. Eksekusi harus jalan terus walaupun ada permohonan PK kedua dan seterusnya. Apabila ini ditempuh, upaya PK yang berulang-ulang bagi yang dihukum mati dapat diminimalkan. Dan, semua tidak ada yang melakukan pelanggaran konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar