Walaupun pemerintahan era Orde Baru sangat sentralistis, otonomi daerah (otda) dihargai dengan memberi hari jadi. Uniknya, Kementerian Dalam Negeri yang membina otda tidak punya hari lahir.
Pada peringatan Hari Otonomi Daerah 25 April 2014 di Istana Negara untuk pertama kali pada era Reformasi diserahkan penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha. Presiden SBY yang menyerahkan
Dengan bangga dan wajah semringah Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko, dan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo menerima trofi sebagai imbalan dari pemerintah pusat atas jerih payah mereka menjalankan otonomi.
Gubernur Syahrul sempat berbisik kepada saya, "Pak Dirjen, saya akan arak trofi ini keliling kota dan kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan." Rasa bangganya ingin dibagi kepada masyarakat Sulawesi Selatan dan tentu tidak berlebihan karena Sulawesi Selatan adalah satu-satunya provinsi di luar Jawa yang mampu bersaing dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Tahun ini Parasamya Purnakarya Nugraha diharapkan akan diserahkan Presiden Joko Widodo kepada daerah otonom berprestasi sangat tinggi, baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Sebaiknya, daerah-daerah yang berkinerja buruk diumumkan pula kepada publik, sebagai bagian dari
Kado Hari Otonomi Daerah tahun 2015 ini terbilang besar karena regulasi UU Nomor 32 tahun 2004 yang mengatur pemda sekaligus pilkada selama satu dasawarsa terakhir berhasil diperbarui. Sebelum itu, UU Pemda Nomor 22 Tahun 1999 sebagai UU Otonomi Daerah pertama pada era Reformasi diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Berarti, secara bertahap dalam kurun waktu 15 tahun, Indonesia telah dua kali mengonsolidasikan kebijakan desentralisasi. Di ASEAN boleh dibilang kita adalah negara terdepan yang sukses secara gradual menata kebijakan desentralisasinya.
Perbaikan desentralisasi
Tanggal 2 Oktober lalu telah diterbitkan UU Pemda Nomor 23 Tahun 2014 yang memperbaiki dengan serius berbagai kelemahan dan kekurangan kebijakan desentralisasi kita. Beberapa isu krusial dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, pemekaran daerah yang "kebablasan", seperti dalam tempo 10 tahun (1999-2009) lahir 205 daerah otonom baru (DOB), tidak diberi tempat lagi. Pemekaran tidak diharamkan, tetapi diatur dengan ketat. Pembentukannya hanya melalui "pintu" pemerintah dan cukup dengan peraturan pemerintah. Daerah tidak langsung berstatus otonom, tetapi lebih dahulu menjadi daerah persiapan selama tiga tahun. Jika evaluasinya bagus, barulah pemerintah mengajukan RUU kepada DPR untuk menetapkannya menjadi DOB. Sebaliknya, jika evaluasinya buruk, daerah itu dikembalikan ke daerah induk.
Kedua, dalam hal kewenangan, tumpang tindih dan ketidakjelasan, termasuk ketidakseimbangan beban urusan antara provinsi dan kabupaten/kota ditata ulang. Misalnya urusan pendidikan menengah yang semula dipegang kabupaten/kota dialihkan ke tangan provinsi. Kabupaten/kota sekarang hanya mengelola urusan pendidikan dasar, sementara pemerintah pusat menangani urusan pendidikan tinggi. Urusan yang mempunyai dampak ekologis (kehutanan, kelautan, dan pertambangan) ditarik dari kabupaten/kota ke tingkat provinsi sehingga lebih mudah dikendalikan.
Ketiga, jalinan hierarki pusat dan daerah yang selama ini putus di tingkat kabupaten/kota-sehingga menimbulkan ketidakpatuhan bupati/wali kota kepada gubernur-disambung kembali. Kabupaten/kota sebagaimana provinsi selain berstatus sebagai daerah otonom juga ditetapkan menjadi wilayah administratif yang bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan umum. Kecamatan direstorasi, dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) kembali menjadi pemerintahan wilayah, sehingga tersambung hubungan gubernur-bupati/wali kota-camat.
Keempat, kontrol pemerintah pusat yang sangat lemah terhadap kepala daerah diperkuat dengan sanksi-sanksi. Kepala daerah yang melanggar larangan dan tidak melaksanakan kewajiban, seperti melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin atau meninggalkan daerahnya tujuh hari dalam satu bulan tanpa izin, tidak melaksanakan program strategis nasional dan tidak menyebarluaskan perda, dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran tertulis hingga pemberhentian tetap. Bahkan, kepala daerah yang tidak memberi layanan perizinan dikenai sanksi pidana.
Selain UU Pemda di atas, pilkada dijadikan UU sendiri. Walau sempat heboh ditetapkan pilkada lewat DPRD sesuai UU Nomor 22 Tahun 2014, dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2015 yang dikukuhkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2015
Beberapa perbaikan dalam pilkada langsung dikemukakan sebagai berikut. Pertama, pola pelaksanaan pilkada secara serentak sehingga biaya demokrasi lokal kita bisa lebih murah. Pilkada serentak nasional akan digelar tahun 2027.
Untuk sampai ke sana dilakukan pilkada serentak tahap I sebanyak 269 daerah (Desember 2015), tahap II sebanyak 101 daerah (Februari 2017), dan tahap III sebanyak 171 daerah (Juni 2018). Setiap grup kemudian melaksanakan pilkada setiap lima tahun.
Kepala daerah yang habis masa jabatannya tahun 2025 diangkat penjabat KDH sampai dengan tahun 2017. Untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir tahun 2023, masa jabatannya hanya empat tahun.
Kedua, penetapan calon terpilih tidak lagi dengan metode 30 persen suara sah, tetapi dengan cara
Sanksi terima "mahar"
Ketiga, untuk menghukum parpol yang menerima imbalan dalam proses pencalonan KDH yang lazim disebut "uang mahar" atau "sewa perahu" dicantumkan sanksi bahwa parpol yang melakukan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah itu.
Keempat, untuk membatasi politik dinasti, calon tidak boleh memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu; kecuali telah lewat jeda satu kali masa jabatan.
Kelima, sengketa hasil pilkada sementara waktu tetap ditangani MK sampai terbentuknya Badan Peradilan Khusus. Yang menarik, gugatan hanya bisa diajukan penggugat jika selisih kekalahan tipis (
Tentu perubahan kebijakan otda masih menyisakan keberatan dan ketidakpuasan. Maklum, pembuatannya sangat kental dengan kepentingan politik. Prioritas sekarang adalah bagaimana melaksanakannya dengan baik, utamanya menyukseskan pilkada serentak Desember 2015 dan menyelesaikan 28 peraturan pemerintah tindak lanjut UU Pemda Nomor 23 Tahun 2014.
Kado besar ini bisa tidak bermakna apabila pelaksana kebijakan otonomi daerah tidak benar-benar menjalankannya.
DJOHERMANSYAH DJOHAN
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemdagri (2010-2014);
Guru Besar IPDN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Kado Hari Otonomi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar