Pesannya jelas: air adalah kebutuhan dasar semua orang dan karena itu harus dikuasai negara demi kesejahteraan rakyat. Amanat Konstitusi itulah yang melandasi semangat Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada Februari lalu. Konstitusi melarang air diperdagangkan sehingga MK membatalkan UU No 17/2004 yang menjadi payung hukum swastanisasi air di negeri ini.
Keputusan MK membawa konsekuensi bahwa pemerintah pusat ataupun daerah harus segera bekerja memenuhi kebutuhan air bersih bagi seluruh rakyat. Saat ini, 425 perusahaan air minum yang dikelola pemerintah daerah baru melayani sekitar 60 juta penduduk dengan volume 3,2 miliar liter pada 2013. Bandingkan dengan volume penjualan air minum dalam kemasan milik swasta yang mencapai 20,3 miliar liter, dan minuman ringan milik swasta 27 miliar liter (
Sungguh pekerjaan rumah yang berat jika negara harus mengambil alih semua peran swasta dalam pemenuhan kebutuhan air minum yang layak. Perlu politik air yang kuat saat pemerintah juga harus memenuhi kebutuhan dasar lain yang mendesak, seperti pangan, pendidikan, kesehatan, dan energi. Pada masa transisi pasca pembatalan UU No 17 Tahun 2004, Pemerintah perlu membuat desain besar kebijakan air bersih, terutama bentuk penguasaan negara yang dilimpahkan kepada swasta tanpa melawan konstitusi.
Intinya, masalah air bersih tidak boleh diabaikan. Sungai-sungai kita sudah sangat tercemar limbah domestik. Saat ini, 80 persen dari 500 titik sampel di 57 sungai utama di seluruh Indonesia menunjukkan kualitas sungai tercemar berat.
Selain tercemar, debit air juga terus berkurang dari tahun ke tahun. Penggundulan hutan untuk tambang, hutan industri, perkebunan, perumahan, dan kawasan industri telah mematikan mata air serta menyusutkan debit air untuk sawah dan kebutuhan air penduduk.
Pencemaran air
Krisis air bersih dan pencemaran sungai juga terjadi di seluruh kota besar Indonesia. Di Jabodetabek, pencemaran tidak hanya di air sungai, tetapi juga air tanah. Pencemaran sungai berdampak pada pencemaran danau. Seperti halnya sungai, danau-danau di Indonesia tercemar limbah industri, pariwisata, pertanian, dan limbah domestik.
Pencemaran air sungai dan danau berujung pada pencemaran air laut. Datamenunjukkan, 400 lebih kota di pesisir di seluruh Indonesia tercemar limbah industri, perhotelan, dan rumah tangga. Kerusakan ekosistem laut di daerah pesisir merugikan para nelayan dan petambak budidaya ikan ataupun petani garam dan rumput laut. Usaha budidaya ikan bangkrut karena ikan tidak bisa hidup di laut yang tercemar berat. Rumput laut juga mati.
Persoalan air di Indonesia tidak berhenti pada krisis air bersih serta pencemaran sungai, danau, dan daerah pesisir. Air juga membawa dampak yang menghancurkan. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), 96 persen dari 119 bencana selama2014 adalah bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, puting beliung, gelombang pasang, dan banjir. Total korban dan kerugian akibat 119 bencana alam sepanjang Januari-Maret 2013 adalah 126 orang meninggal, 113.747 orang mengungsi, dan 940 rumah rusak berat.
Data di atas memperlihatkan satu hal: kita gagal mengelola air! Air sebagai sumber kehidupan dikotori, dicemari, dan disia-siakan sehingga negara kaya sumber daya alam ini krisis air bersih. Bahkan, air telah merenggut ratusan jiwa setiap tahun, mematikan mata pencarian, serta menghilangkan harta benda rakyat. Seperti halnya sektor-sektor agraria lainnya—kehutanan, pertambangan, perikanan, perkebunan—politik air kita sangat lemah. Status dan karakteristik geografis dan geostrategis kita sebagai negara bahari nyaris tidak digarap. Konsep pembangunan 400-an kota kabupaten dan provinsi di kawasan pesisir masih saja berorientasi darat. Darat dan laut tidak dipandang sebagai suatu kesatuan untuk kemajuan kota dan kesejahteraan rakyat kota dan sekitarnya.
Krisis air bersih dan pencemaran sungai, danau, dan laut oleh limbah tidak bisa dilepaskan dari politik kehutanan, politik air, dan politik kelautan sebagai subsistem negara.Jika ditarik ke tataran yang lebih tinggi, politik ekonomi yang eksploitatif untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi pangkal persoalan. Munculnya "raja-raja" kecil di daerah sebagai konsekuensi penerapan otonomi daerah yang menghancurkan sumber daya alam, termasuk air.
Solusi
Salah satu solusi yang bisa dilakukan pemerintahan Joko Widodo-Jufuf Kalla ialah memperluas dan memperkuat tugas dan tanggung jawab Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Seluruh kebijakan izin hak guna usaha dan pengawasan kebijakan di bidang keagrariaan (pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan, dan perikanan) harus di bawah kendali Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Tidak cukup diserahkan kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang selama ini hanya menerima "sampah" dari seluruh kebijakan keagrariaan nasional. Eksploitasi sumber daya alam secara masif dan sistemik telah menghancurkan seluruh tatanan ekosistem nasional kita. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup tak mampu membendungnya.
Eksploitasi sumber daya alam memang keniscayaan. Persoalannya, sumber daya alam yang terbatas memiliki hukumnya sendiri. Hukum dan tindakan manusia harus tunduk pada hukum dan kapasitas alam. Bukan sebaliknya, manusia (pembuat regulasi dan kebijakan) mengikuti peradaban yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Iptek justru dituntut untuk dipakai agar alam tetap lestari, tidak habis, dan tidak marah.
Negara ini tak cuma darurat narkoba, tetapi juga darurat sumber daya alam, termasuk pencurian ikan ilegal. Solusinya terletak pada politik di tingkat negara. Dalam hal ini, dibutuhkankomitmen kuat dari pimpinan nasional. Seperti halnya politik kemaritiman, keberanian pimpinan nasional dalam politik sumber daya alam, termasuk air bersih, pasti akan mendapat dukungan luas dari rakyat dan pimpinan lembaga tinggi negara.
Ingat, kita tidak punya waktu banyak lagi untuk menyelamatkan bumi, air, dan kekayaan alam negeri ini.
BERNHARD LIMBONG, DOKTOR HUKUM PERTANAHAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Politik Air Kita".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar