Tentu dua peristiwa penting itu menjadi bagian dari palung keyakinan setiap umatnya. Lebih dari itu tanggal yang nyaris berdempetan semoga menjadi modal religius untuk satu sama lain saling merajut keakraban, mengintensifkan dialog antaragama bahkan antariman, menuju kohesivitas sosial yang solid dalam konteks kebangsaan yang heterogen.
Ada diksi menarik dalam
Pohon bidara melambangkan capaian-capaian kearifan sebagai bekal untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Sejarah mencatat, "pohon" menyimpan riwayat jejak simbolik keluhuran budi di berbagai tradisi, agama, dan kebudayaan.
Pohon bodhi
Di sebuah tempat ziarah di jazirah Kapilavastu, Nepal, dekat perbatasan India, di bawah pohon suci bodhi, Sidharta Gautama menemukan pencerahan setelah sebelumnya menanggalkan seluruh nafsu primitif kebendaan dan melucuti kekuasaan yang digenggamnya. Menyingkir ke mihrab sunyi, Nabi Isa menerima wahyu. Musa menyendiri ke
Nabi-nabi itulah kemudian mempromosikan nilai-nilai keutamaan. Disampaikannya risalah ihwal kedamaian agar kehidupan menemukan adabnya, digemakan suara politik yang dijangkarkan di atas haluan kemerdekaan rakyat, ekonomi diserukan supaya dikelola dengan cara-cara benar dan terhadap segenap budaya dungu jahiliah diteriakkan sekeras-kerasnya supaya lekas ditanggalkan agar kemanusiaan menempati harkat yang luhur, relasi sosial diingatkan agar diacukan di atas hamparan etos komunitarianisme.
Tentu tidak mudah mengampanyekan tatanan baru kepada masyarakat, apalagi elite penguasa terbiasa hidup dalam arahan nafsu. Mereka para pembawa obor pencerahan itu harus berhadapan dengan kekerasan baik simbolik ataupun fisik.
Pada masanya, "suara kenabian" itu dipandang epifani kesesatan yang hanya bikin kacau keadaan. Para pembawa risalah itu dicap sebagai "si gila" kena tenung yang tengah meracuni otak segenap lapisan massa. Diserukan para tiran, agar para nabi ditangkap dengan hukuman yang sudah dipersiapkan: dikriminalisasikan, dibakar, disalib, dibunuh, dan atau diusir dari kampung halaman.
Pohon sukun
Dalam konteks kebangsaan abad ke-20, di Ende, di bawah pohon sukun (
Pada 80 tahun silam, di bawah pohon sukun itu pula Bung Karno sering duduk sendirian. Alam pikirannya tidak pernah berhenti merenungkan bagaimana bangsa Indonesia bisa lekas keluar dari sekapan penjajah yang telah merampas sumber kekayaan alam dan menistakan martabat kemanusiaan. Sambil tepekur, ia tafakur tentang seluruh gerakan perjuangan yang ditautkan kepada satu cita-cita luhur: rakyat merdeka.
Pancasila inilah yang ditahbiskannya sebagai
"Kecuali Pancasila adalah satu
Pancasila itulah yang kemudian diterima kalangan ormas Islam bermazhab moderat yang para pendirinya bahu membahu berjuang fisik menghadapi kaum kolonial. Nadlatul Ulama misalnya dengan bulat menerima Pancasila sebagai asas tunggal melalui muktamar 1984 di Situbondo. Muhamadiyah juga menerima Pancasila terutama setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Dengan kata lain, keislaman dan keindonesiaan tidak harus diposisikan dalam sebuah hubungan dikotomik, tetapi satu tarikan. Pancasila bukan entitas bipolar dalam hubungannya dengan agama, tetapi satu helaan napas dalam bernegara. Pancasila adalah "titik temu" dari seluruh manusia Indonesia, dalam medan multikulturalisme kewargaan.
Tentu saja kita tidak menutup mata, pada sebuah penggalan waktu Pancasila pernah dibajak penguasa Orde Baru sebagai ideologi tertutup. Pancasila dikebiri: hanya berada pada level verbalistik.
Sebatas penataran
Pancasila yang semestinya memberikan pencerahan dilafalkan sebatas penataran, disampaikan lewat indoktrinasi dalam ritus kenegaraan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila berjam-jam, namun tak menghasilkan apa-apa bahkan hancur dihantam krisis ekonomi 1998.
Penyelewengan menjadi kunci kehancuran. Dalam ungkapan Bung Karno pada pidatonya berjudul "Res Publica" di depan Sidang Pleno Konstituante pada 22 April 1959, "Kita bertanya, mengapa kemerosotan, mengapa disintegras itu berjalan terus di semua lapangan di bidang politik, militer dan sosial ekonomi? Jawabnya tak lain ialah karena kita menyeleweng."
Ketika hari ini ada sebagian kalangan ormas Islam yang tidak lagi mempercayai Pancasila, negara harus bertindak tegas menyelesaikannya. Negara tidak boleh absen ketika menyangkut hal-hal yang berkait dengan fundamen berbangsa. Pancasila yang mandul pada masa Orde Baru tidak boleh menjadi dalih menampiknya.
Pancasila tetap dibutuhkan karena, meminjam Goenawan Mohamad, "Ia merupakan proses negosiasi terus menerus dari bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa eka, dan tak sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Mahabenar. Kita membutuhkan Pancasila kembali... kita hidup di zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib manusia."
Memperingati kenaikan Isa Almasih dan merenungkan kenaikan Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha dalam konteks kebangsaan adalah mengingatkan kembali bagi setiap kita untuk merawat Pancasila dan memastikan bahwa kehadirannya sebagai ideologi negara mampu memupuk pohon kebangsaan semakin kokoh dan berbuah kesejahteraan. Untuk kembali berbaiat kepada Bung Karno, berjabat tangan melanjutkan kembali cita-cita trisakti dan nawacita yang sebenarnya.
ASEP SALAHUDIN
Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya/Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Kenaikan Pohon Kebangsaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar