Saat itu ada dua pilihan konsep pembangunan. Yang satu diusung Widjojo Nitisastro dengan pembangunan prioritas ekonomi untuk mengejar angka pertumbuhan yang tinggi. Yang lain oleh Soedjatmoko dengan pembangunan prioritas manusia dengan fokus kebudayaan: meningkatkan kualitas melalui pendidikan. Soeharto memilih gagasan pertama karena lebih jelas dan terukur dan menetapkan Widjojo Nitisastro sebagai menteri untuk menjabarkan konsepnya.
Setelah 30 tahun konsep demokrasi Pancasila yang dijabarkan dalam pembangunan prioritas ekonomi itu dijalankan, kemudian diubah di sana-sini untuk merespons tekanan politik yang terjadi, ternyata hasilnya: pemerintahan yang otoriter dengan birokrasi kekuasaan yang korup. Juga kesenjangan dan ketimpangan sosial-ekonomi-politik yang semakin tajam serta peluruhan karakter bangsa menjadi pragmatis dan hedonis. Akibatnya, demokrasi Pancasila jatuh dan Pancasila ikut jadi korban, seolah-olah Pancasila yang salah dan sekarang gaung Pancasila nyaris tak terdengar lagi.
Setelah rezim Soeharto jatuh dan beberapa kali terjadi pergantian kepala negara, sejak BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga sekarang Joko Widodo, ternyata tak terjadi perubahan fundamental pada konsep pembangunan. Tentu ada perubahan di sana-sini, tetapi tidak fundamental.
Setelah 20 tahun era reformasi, yang terjadi adalah kegaduhan politik terus-menerus. Partai politik tumbuh bagai jamur di musim hujan. Partai politik bersukacita karena kebebasan yang diraih dan—atas nama politik—bisa melakukan apa saja tanpa batas. Pragmatisme telah membuat kecenderungan mendirikan partai seperti mendirikan perusahaan dengan modal besar ikut memperebutkan kekuasaan. Setelah menang, mereka akan berbagi kekuasaan, mengembalikan investasi sekaligus menarik untung.
Akibatnya, kegaduhan politik menjadi bisnis untuk mendapatkan bagian kekuasaan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Nepotisme semakin merajalela, pilkada dikapling keluarga kaya atau konspirasi partai politik dan pemilik modal untuk memperebutkan kepala pemerintahan di daerah. Nepotisme kian parah karena suami-istri, orangtua dengan anak, dan kerabat dekatnya menggilirkan kekuasaan di daerah di antara mereka. Ujung-ujungnya, rakyat kian termiskinkan. Pancasila mati suri dan hanya menjadi ritual kenegaraan belaka. Diucapkan, tetapi tidak dikerjakan.
Tergerus ekonomi
Ketika Jokowi mengusung tema revolusi mental sebagai cara cepat mengubah cara berpikir, berperilaku, dan sikap mental bangsa dalam mengelola kekuasaan untuk lebih mementingkan kejujuran, keberpihakan pada rakyat kecil seperti yang diperlihatkannya melalui kegiatan blusukan, rakyat menyambut dengan antusiasme tinggi. Dan, Jokowi menang, lalu dilantik menjadi presiden.
Setelah 10 bulan menjalankan pemerintahan, Jokowi dihadapkan pada problem berat ekonomi, seperti kurs rupiah yang semakin melemah, harga pangan termasuk daging yang naik, pertumbuhan ekonomi yang melambat, kesenjangan yang makin tinggi, dan perombakan kabinet dengan mengganti Menko Perekonomian. Artinya, pemerintahan Jokowi tetap meletakkan pembangunan ekonomi sebagai prioritas.
Karena itu, yang sebenarnya terjadi adalah paradoks yang besar antara prioritas pembangunan ekonomi dan revolusi mental yang diusung. Revolusi mental pada dasarnya adalah mengubah pola berpikir dan berperilaku yang revolusioner untuk kepentingan rakyat. Mental itu di kepala dan di dada, bukan di perut dan di bawah perut. Sementara dalam ekonomi, yang utama adalah memenuhi kebutuhan perut.
Bagaimana akan terjadi revolusi mental kalau yang diprioritaskan pembangunan untuk kebutuhan perut, padahal mental tak ada di perut. Kalau kita akan melakukan revolusi mental, tak ada jalan kecuali melakukan revolusi berpikir dan revolusi pembangunan berkarakter, bukan revolusi kebutuhan perut. Revolusi mental hanya bisa berjalan kalau pemerintahan lebih mengarusutamakan pendidikan dan kebudayaan bangsa, bukan ekonomi dengan segala implikasinya.
Dalam pengalaman kita melakukan prioritas pembangunan ekonomi selama ini, ternyata pembangunan ekonomi terkendala terutama oleh kebudayaan bangsa. Benarlah Koentjaraningrat yang sudah mengingatkan kita sejak Orde Baru bahwa pembangunan ekonomi akan terhambat dan terkendala sikap mental bangsa kita sendiri. Sikap mental dalam mengelola kekuasaan dengan egoisme pribadi penguasa, yang kemudian melahirkan egoisme sektoral. Sikap mental yang tak menghargai waktu, sikap mental mendapatkan kekayaan secara instan dengan jalan pintas, dan semuanya ternyata dipengaruhi kebudayaan.
Belum merdeka
Setelah 70 tahun merdeka, sikap mental kita belum sepenuhnya merdeka sebab penjajahan ekonomi dan ketergantungan pada produksi luar negeri terus menguat. Lihatlah, dari bangun tidur sampai tidur lagi, yang kita pakai produksi luar negeri meskipun perusahaan mereka ada di negeri sendiri. Revolusi mental akan berjalan jika kita mengubah prioritas perut pada prioritas kepala dan dada. Kalau tidak, revolusi mental akan digerus prioritas pembangunan ekonomi.
Revolusi mental harus dilaksanakan dengan mengubah pembangunan prioritas ekonomi ke prioritas pembangunan manusia. Mengubah sasaran dari perut ke sasaran dada dan kepala. Atau, kalau tak bisa, revolusi mental harus dapat membingkai tiap tahap dari pembangunan ekonomi sehingga perencanaan dan pelaksanaannya dapat bersamaan dengan pembangunan mental para pelakunya. Hal ini agar pembangunan ekonomi tak menciptakan kesenjangan yang makin tinggi, tak merusak lingkungan, mengarusutamakan pemakaian produk dalam negeri, dan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa: adil dan makmur.
Jika ini tak bisa juga dilaku- kan, revolusi mental akan tergerus prioritas perut dan kita akan terjebak dalam konflik sosial berbasis perut, vulgar, dan dapat mengancam eksistensi NKRI itu sendiri.
MUSA ASY'ARIE,
GURU BESAR FEBI UIN SUNAN KALIJAGA DAN PEMBINA STIE SOLUSI BISNIS INDONESIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Revolusi Mental yang Kian Tergerus".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar