Itulah pertanyaan utama yang sekarang ini mengemuka. Sangatlah wajar jika pertanyaan itu diajukan. Hal ini karena sejarah politik negeri itu menceritakan secara gamblang bagaimana jalan ke rumah demokrasi ternyata sangat terjal, penuh rintangan, dan berliku.
Kita tahu bahwa pemilu hanyalah salah satu dari elemen demokrasi. Itu pun harus dilaksanakan secara bebas dan fairserta teratur. Tak pernah terhapus dari catatan sejarah Myanmar, pemilu multipartai pada 1990—pemilu pertama sejak 1960—ketika negeri itu masih di bawah junta militer mencederai demokrasi. Pemilu dimenangi oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Namun, kemenangan NLD—merebut 392 dari 492 kursi di parlemen—dianggap tidak ada oleh militer. Bahkan, Suu Kyi dikenai tahanan rumah.
Pada 2008, militer merancang konstitusi baru yang dimintakan persetujuan kepada rakyat lewat referendum dan menggelar pemilu 2010. Namun, NLD memboikot keduanya. Konstitusi 2008 itu memberikan ruang berkuasa kepada militer. Ini karena militer mendapat jatah 25 persen dari 664 kursi di parlemen. Akan tetapi, pada pemilu sela 2012, untuk mengisi kekosongan kursi di parlemen, NLD ambil bagian dan memenangi 43 dari 45 kursi yang diperebutkan. Bahkan, Suu Kyi mendapatkan kursi.
Kini, semua menunggu apakah pemilu November mendatang akan benar-benar demokratis. Apakah Pemerintah Myanmar—yang sering disebut sebagai pemerintahan quasi-civilian—dukungan militer benar-benar ingin mengubah Myanmar menjadi negara demokratis. Memang, sejak 2011, pemerintah telah melakukan sejumlah pembaruan dalam bidang politik dan ekonomi sesuai dengan peta jalan demokrasi yang mereka gariskan. Langkah itulah yang membawa Myanmar keluar dari isolasi dan meninggalkan pemerintahan otoritarian.
Meskipun demikian, kini dirasa bahwa gerak langkah ke arah demokratisasi itu tersendat-sendat dan bahkan melambat. Ada isu-isu besar yang belum diselesaikan, seperti pembagian kekuasaan dengan oposisi, perundingan damai dengan kelompok-kelompok etnik bersenjata, pemenuhan hak-hak kaum minoritas, kebebasan media, dan kekerasan agama, misalnya terhadap etnis Rohingya, yang merepotkan negara-negara ASEAN.
Kini, semua menunggu hingga pemilu dilaksanakan pada 8 November mendatang. Tentu kita berharap Myanmar benar-benar memasuki rumah demokrasi. Hal itu pula yang diharapkan negara-negara anggota ASEAN lain. Dan, ini berarti bahwa militer harus melepaskan kekuasaannya di politik. Relakah mereka?
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Menegakkan Demokrasi Myanmar".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar