Meski rekomendasi Bawaslu ini dipertanyakan legitimasinya menyangkut dasar hukum yang dijadikan pijakan-karena sejatinya UU hanya memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk merekomendasikan hal-hal terkait dugaan pelanggaran dan sengketa pilkada, bukan yang lain-KPU memutuskan mengikuti rekomendasi Bawaslu dengan memperpanjang masa pendaftaran selama tiga hari terhitung mulai tanggal 9 hingga 11 Agustus.
Tentu perpanjangan pendaftaran itu bisa dilihat lebih pada niat baik untuk menyelesaikan masalah. Jika kebijakan KPU itu berhasil, berarti masalah selesai. Namun, perpanjangan pendaftaran itu bisa jadi tidak menjadi solusi jitu jika akhirnya tidak ada calon atau hanya di sebagian daerah yang mendaftarkan diri. Jika itu yang terjadi, lalu apa yang akan dilakukan, apakah kembali pada aturan PKPU No 12/2015 menunda pilkada hingga 2017 atau justru hal itu dijadikan dasar untuk menerbitkan perppu?
Problem legalitas
Jika perppu menjadi pilihan kebijakan presiden/pemerintah untuk mengatasi calon tunggal, setidaknya terdapat dua alternatif yang diwacanakan sebagai penyelesaian calon tunggal. Dalam hemat penulis, keduanya problematik dengan catatan kritis sebagai berikut.
Pertama, calon tunggal langsung ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Usul ini bertentangan dengan konstitusi Pasal 18 Ayat (4) yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Tentu hal itu tidak mungkin menjadi opsi materi perppu.
Kedua, calon tunggal tetap dipilih rakyat dengan suara mayoritas (semacam referendum) sehingga yang bersangkutan hanya dapat ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih jika mendapatkan suara mayoritas pemilih. Alternatif lain adalah pemilihan dilakukan antara calon tunggal dan kolom atau bumbung/kotak kosong. Hal ini jelas bertentangan dengan UU Pilkada yang mengatur bahwa pilkada diikuti minimal oleh dua pasang calon. Hal ini juga tentu tidak mungkin menjadi opsi materi perppu.
Di luar persoalan substansi, penerbitan perppu juga akan dipertanyakan dan diperdebatkan hal ihwal legalitas dan legitimasinya. Hal ini karena sebagian kalangan menganggap perppu menyelamatkan hak memilih dan dipilih rakyat dalam pilkada sebagaimana dijamin UUD. Akan tetapi, di sisi lain, UUD juga mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut ada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang [vide: Pasal 28J Ayat (2)].
UU Pilkada jelas menegaskan bahwa pilkada diikuti minimal oleh dua pasang calon. Hal ini harus dibaca sebagai pembatasan yang dilakukan UU untuk menjamin pilkada memenuhi prinsip-prinsip demokrasi. Pertanyaannya, apakah mungkin perppu membela hak di satu sisi, tetapi bertentangan dengan UU di sisi yang lain?
Selanjutnya, penerbitan perppu akan menambah komplikasi permasalahan menyangkut keabsahan alasan "kegentingan yang memaksa" dikeluarkannya perppu sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 22 Ayat (1). Putusan MK No 138/PUU-VII/2009 memberi "rambu" sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa bagi presiden untuk menetapkan perppu.
Pertama, adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak, untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama. Sementara keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian penyelesaian.
Pertanyaannya, apakah benar ada kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi calon tunggal di tujuh daerah, benarkah terjadi kekosongan hukum, atau undang-undang tidak memadai? Bukankah secara normatif terdapat aturan terkait pendaftaran pasangan calon dan antisipasi jika hanya diikuti calon tunggal sebagaimana diatur dalam PKPU No 12/2015? Tentu perppu tidak dapat menabrak aturan UU.
Jika perppu diberlakukan, dalam realisasi belum tentu sesuai dengan rencana karena sangat dimungkinkan saat pengajuan kepada DPR ada manuver kepentingan politik. Bagaimana legalitas perppu yang sudah dilaksanakan lalu dibatalkan oleh DPR? Bisa saja perppu ditolak DPR sehingga kembali terjadi kekosongan hukum berikut komplikasinya mengingat tahap pilkada masih berjalan dan masih akan ada pilkada serentak gelombang berikutnya. Jika kondisi politik tidak stabil, akan memicu masalah sosial.
Revisi undang-undang
Penulis berpendapat, presiden/pemerintah harus cermat dan berhati-hati dalam memutuskan polemik calon tunggal ini, terutama jika ingin mengeluarkan perppu. Penulis berharap presiden mempertimbangkan komplikasi permasalahan yang akan terjadi.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, pada era Presiden Habibie sebenarnya telah dirumuskan perppu terkait penanganan konflik di Maluku dan Aceh, tetapi tidak jadi dikeluarkan karena salah satu pertimbangan pandangan dunia internasional. Dengan demikian, berbagai alasan menjadi penting untuk dicermati.
Semua alternatif materi perppu yang diwacanakan di atas mengandung problematik baik dari sisi legalitas maupun legitimasi. Menetapkan langsung calon tunggal sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih jelas bertentangan dengan UUD.
Memilih calon tunggal, tetapi tanpa lawan/lawan kotak kosong, juga bertentangan dengan UU Pilkada. Atas semua problematik di atas, yang paling aman adalah kembali mengikuti PKPU No 12/2015, yakni menunda pilkada sampai 2017 dengan catatan pengangkatan pelaksana tugas harus dipastikan berlangsung profesional dan menutup ruang gerak terjadinya politisasi oleh plt dalam memenangkan calon tertentu (petahana atau partai yang dekat dengan penguasa).
Penulis melihat akar permasalahan pilkada serentak ada pada UU sehingga revisi UU Pilkada memang perlu dilakukan. Hanya, revisi dimaksud tidak hanya mempersoalkan antisipasi calon tunggal, tetapi secara komprehensif dan berorientasi pada peningkatan kualitas pilkada dan calon pemimpin terpilih.
Syarat dukungan
Fenomena calon tunggal harus dilihat faktor penyebabnya, antara lain karena undang-undang mengetatkan syarat dukungan pencalonan baik bagi partai politik (20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara) maupun perseorangan (minimal 6,5-10 persen berdasarkan kluster jumlah penduduk) sehingga sulit bagi parpol dan perseorangan memenuhi syarat tersebut. Oleh karena itu, syarat dukungan pencalonan mutlak diperingan, terutama untuk calon perseorangan.
Revisi ke depan juga perlu memuat ancaman pidana bagi permintaan uang mahar kepada calon yang dalam banyak kasus juga menyebabkan keengganan sejumlah tokoh potensial untuk mencalonkan diri.
Penulis menilai putusan MK terbaru yang mengharuskan calon yang merupakan anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk mengundurkan diri saat pendaftaran juga memberi andil semakin minimnya tokoh yang berminat dalam kontestasi pilkada. Putusan ini juga terkesan kontradiktif jika dibandingkan dengan putusan MK atas calon petahana yang cukup mengajukan cuti sejak pendaftaran sampai dengan ditetapkan sebagai calon terpilih. Padahal, posisi petahana jauh lebih berpotensi mengganggu pemilu yang luber dan jurdil lewat politisasi birokrasi.
Hemat penulis, revisi UU Pilkada harus dapat memperkuat tujuan pilkada untuk menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas sehingga revisi hendaknya fokus pada penguatan/pengetatan persyaratan/kualifikasi personal calon di satu sisi dan pelonggaran/peringanan syarat dukungan pencalonan di sisi yang lain. Dengan cara itu, diharapkan akan lahir banyak alternatif calon kepala daerah yang berkualitas.
FAROUK MUHAMMAD
Anggota DPD
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 September 2015, di halaman 7 dengan judul "Perppu Vs Revisi UU".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar