Dalam UU No 23/2014 (UU Pemda) diatur perluasan kewenangan provinsi, dari semula 4-12 mil laut menjadi 0-12 mil laut. Maka, pemerintah kabupaten/kota yang semula berwenang atas wilayah 0-4 mil di laut kini tidak lagi memiliki kewenangan. Apa implikasi perubahan tersebut bagi pembangunan kelautan dan perikanan?
Desentralisasi baru
Secara teoretis, desentralisasi mendekatkan jarak sosial antara pengambil kebijakan dan publik yang akan merasakan dampak dari kebijakan itu. Pengambil kebijakan itu akan merasakan dampak langsung kebijakan yang diambilnya. Karena itu, diharapkan kebijakan yang diambil lebih sesuai dengan realitas yang sebenarnya dan ada ruang lebih besar untuk partisipasi masyarakat.
Ini anti tesis dari sentralisasi pengelolaan sumber daya yang memang menjauhkan jarak sosial mereka. Dampaknya, sentralisasi berpotensi mengabaikan keragaman kondisi dan aspirasi sehingga kebijakan yang diambil bisa tak sesuai kondisi lokal.
UU No 22/1999 yang lalu direvisi menjadi UU No 32/2004 merupakan tonggak penting dalam desentralisasi kelautan dan perikanan. Pada awal disahkannya UU itu, publik heboh: otonomi daerah menyebabkan pengaplingan laut.
UU No 22/1999 menjadi dasar bagi UU No 27/2007 dan UU Perikanan (UU No 31/2004) yang lebih desentralistis. Oleh karena itu, kabupaten/kota berperan penting dalam pengelolaan laut, baik dalam perencanaan pesisir (strategi, zonasi, pengelolaan), konservasi, rehabilitasi, reklamasi, pengelolaan perikanan, perizinan usaha perikanan, pemberdayaan masyarakat pesisir, penyuluhan perikanan, maupun pengawasan.
Dalam 15 tahun desentralisasi pengelolaan oleh kabupaten/kota mengandung kelebihan dan kelemahan. Desentralisasi di kabu- paten/kota menumbuhkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab atas wilayah pesisir dan lautnya. Sejalan dengan itu, partisipasi rakyat dalam pengelolaan sumber daya meningkat dengan berkembangnya pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang bersumber dari sistem adat, hasil revitalisasi adat, ataupun niradat. Kondisi ini menguntungkan bagi keberlanjutan sumber daya.
Meski demikian, kelemahannya juga tak kecil. Pertama, keterbatasan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan pesisir ataupun perikanan. Banyak daerah yang tak mampu mengontrol pesisirnya sehingga pertambangan ilegal di pesisir dan pengeboman ikan masih marak. Daerah pada kenyataannya masih bergantung pada peran pemerintah pusat, lembaga swadaya masyarakat, ataupun perguruan tinggi.
Kedua, koordinasi di tingkat provinsi kurang efektif karena daerah merasa memiliki posisi yang sama kuat. Padahal, sumber daya perikanan bersifat lintas wilayah administratif yang butuh koordinasi pengelolaan.
Ketiga, kebijakan yang kontraproduktif atas upaya keberlanjutan juga muncul, seperti praktik pemberian izin atas kapal yang memanipulasi data ukuran kapal serta izin atas alat tangkap perusak lingkungan.
Keempat,rentan atas dinami- ka politik lokal. Basis kompetensi seseorang dalam pengangkatan kepala dinas perikanan kurang diperhatikan dan kalah oleh pertimbangan politik. Tidak sedikit kepala dinas berasal dari latar kompetensi yang jauh berbeda dari bidang kelautan dan perikanan.
Meluasnya peran provinsi dalam pengelolaan kelautan dan perikanan juga memiliki plus-minus. Ada harapan pengelolaan itu mendekati berbasis eco-region dengan pengelolaan terpadu. Namun, dengan kondisi wilayah provinsi yang masih sangat luas, jangkauan pengendalian masih terlalu luas dan berpotensi kurang efektif. Meningkatnya peran provinsi juga berdampak pada makin tidak pedulinya kota/kabupaten atas wilayah lautnya. Begitu pula partisipasi masyarakat dalam pengelolaan yang kini makin membaik bisa rusak apabila tidak diperhatikan oleh provinsi.
Selama ini kabupaten/kota menikmati pungutan izin penangkapan ikan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Menurunnya PAD perikanan bisa berdampak pada penurunan anggaran perikanan daerah.
Sudah banyak pula kabupaten mengembangkan kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) yang penting bagi pemenuhan target luasan sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, yakni sekitar 31 juta hektar. Bagaimana nasib KKPD di tangan provinsi yang selama ini kurang terlibat, yang bisa saja kurang memiliki ikatan emosional dengan kawasan itu?
Solusi
Terhadap kelemahan dan implikasi di atas, sejumlah langkah perlu dipertimbangkan. Pertama, pemerintah pusat perlu menyusun desain baru desentralisasi pengelolaan kelautan dan perikanan sebagai tafsir atas UU No 23/2014 dengan tetap mempertimbangkan infrastruktur kelembagaan di kabupaten yang memang sudah berkembang. Tentu pendelegasian urusan kepada kabupaten masih terbuka dan berperan dengan kontrol provinsi.
Kedua,pusat juga perlu menyiapkan kerangka transisi pengalihan kewenangan dari kabupaten ke provinsi sehingga tidak terjadi kebingungan.
Ketiga,perlu pengembangan kapasitas pemerintah provinsi agar kewenangannya bisa efektif.
Keempat,perlu dipikirkan solusi atas menurunnya potensi penerimaan daerah.
Semoga langkah ini bisa segera dilakukan agar tercipta tata kelola yang baik dan kondusif guna mewujudkan ide besar: Indonesia sebagai poros maritim dunia.
ARIF SATRIA
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Kelautan Setelah AdaUU Pemerintah Daerah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar