Dalam sejumlah pernyataan, Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum nakhoda Silver Sea 2, kapal berbendera Thailand yang ikut ditahan, menyatakan, ia telah mencoba berbicara dengan berbagai pihak terkait kasus itu. Ia juga merasa perlu membela Thailand agar Thailand tidak melakukan retaliasi. Dari pernyataan tersebut, tertangkap adanya kesan menyalahkan kebijakan tegas pemerintah menyangkut IUUF dengan alasan hal ini mengganggu hubungan bilateral.
Di Indonesia, terdapat pandangan bahwa IUUF adalah urusan bilateral sehingga Indonesia harus berhati hati dengan negara-negara mitra karena bisa saja mereka melakukan retaliasi dan kebijakan tegas yang dapat melukai hati mereka. Karena dinilai persoalan bilateral, penyelesaian yang benar adalah mencari solusi saling menguntungkan (win-win solution), upaya diplomasi, atau kebijakan lain yang tidak merugikan pelaku IUUF di wilayah kedaulatan Indonesia. Tanpa harus memakai kalimat yang drastis, seperti "mari kita gadaikan kedaulatan dengan toleransi terhadap pencuri".
Kejahatan terorganisasi lintas negara
Pandangan di atas salah secara fundamental karena beberapa hal yang sangat mendasar.
Pertama, Konstitusi Kelautan dunia, the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, secara jelas menyatakan bahwa salah satu tujuan utama konstitusi itu adalah konservasi kehidupan alam laut serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Adalah kewajiban hukum negara pihak untuk melestarikan kehidupan laut baik yang berada dalam zona maritimnya sendiri maupun zona maritim di luar wilayah kedaulatan dan hak berdaulatnya.
Kedua, dunia telah mengesahkan The United Nations Fish Stock Agreement 1995 yang menetapkan 12 prinsip dalam pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan berkesinambungan karena khawatir akan insiden IUUF yang merusak alam dan mengancam keamanan pangan. Negara-negara pihak wajib melaksanakan kewajiban hukum konvensi ini.
Ketiga, negara-negara anggota Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah memiliki Kerangka Tata Aturan Perikanan yang Bertanggung Jawab serta Rencana Aksi Dunia Melawan IUU Fishing. FAO mengakui bahwa kegiatan IUUF adalah ancaman dunia yang berdampak kepada keamanan pangan nasional, regional, dan global, serta kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki kembali.
Keempat, FAO juga telah menerima Perjanjian Langkah-langkah Negara Pelabuhan dalam Melawan IUUF 2009. Perjanjian ini menjadi dasar bagi negara-negara untuk menolak kapal IUUF melakukan operasi di pelabuhannya. Kelima, dunia juga telah membagi 91 persen perairan bumi dalam wilayah pengelolaan perikanan oleh sekitar 17 organisasi regional. Indonesia menjadi bagian dari dua organisasi di Samudra Hindia dan Pasifik. Jadi, kewajiban internasional melawan IUUF pun telah diperkuat pada tingkat regional, termasuk kawasan Samudra Hindia, lokasi penangkapan Silver Sea 2, dan di Samudra Pasifik.
Keenam, salah satu organisasi regional di Afrika Barat telah meminta Peradilan Hukum Laut Internasional PBB (ITLOS) di Hamburg agar negara bendera bertanggung jawab atas kapal-kapal IUUF yang berlayar dengan benderanya. Para hakim ITLOS secara aklamasi menyatakan bahwa negara bendera tidak hanya responsible atau bertanggung jawab, tetapi juga liable atau dapat dikenai tanggung jawab ganti rugi keuangan dalam kegiatan IUUF. Artinya, negara bendera kapal IUUF justru dapat diseret ke pengadilan internasional.
Ketujuh, IUUF kini telah masuk radar PBB sebagai suatu tindakan kriminal transnasional atau transnational organized crime karena tindakan IUUF memenuhi persyaratan dasarnya, yaitu tindakan kriminal yang melampaui batas negara, melibatkan orang dan jaringan lebih dari satu negara, bertindak seperti bisnis biasa, dan mencari keuntungan. IUUF juga telah terlibat dalam kegiatan non-perikanan yang memanfaatkan kelemahan aparat hukum setempat, yaitu perbudakan, penyelundupan dan perdagangan orang, penyelundupan narkoba, senjata dan barang-barang lainnya, serta melakukan tindakan korupsi.
Dalam studi bersama antara Pusat Riset Anti Korupsi U4, TI, dan CMI tentang kaitan IUUF dan korupsi di Afrika, terlihat di Afrika terdapat bukti bahwa pelaku IUUF menyuap penegak hukum di lapangan, penuntut umum, dan bahkan hakim guna membebaskan kapal, kapten, dan para pelaku IUUF. Studi ini juga memperlihatkan modus lain yang dilakukan dalam membela IUUF, yaitu membawanya dalam suatu persoalan bilateral.
Kedutaan asing yang berada di negara korban IUUF di Afrika melakukan tekanan politik secara langsung atau melalui kontak-kontak politik tingkat tinggi guna membebaskan kapal IUUF. Disebutkan, kedutaan dari negara Asia sering melakukan teknik-teknik tekanan seperti ini. Dari pengalaman ini terlihat, selain ada istilah "state sponsored terrorism", ternyata juga terdapat kondisi "state sponsored illegal fishing", yakni perwakilan negara pelaku IUUF sama sekali tak menghiraukan kewajiban hukum internasionalnya, tetapi justru membela pelaku IUUF.
Kedelapan, pasar perikanan dunia telah bereaksi dengan tegas. AS dan Uni Eropa (UE) yang menyerap lebih dari 60 persen pangsa pasar dunia telah menyusun kebijakan yang akan menghukum pelaku IUUF dengan tidak membeli ikan hasil IUUF ataupun yang dikelola para budak atau pekerja yang diperlakukan seperti budak.
UE tercatat tengah memberikan kartu kuning kepada sejumlah negara, termasuk Thailand, dan sesuai praktik UE hal ini dapat kembali menjadi kartu hijau atau justru menjadi kartu merah. Tentunya, UE melihat berbagai kasus IUUF di semua wilayah dunia termasuk di Indonesia melalui berbagai pemberitaan sebagai faktor penting dalam menentukan kebijakan internal mereka dalam melawan IUUF. Negara yang salah langkah akan gigit jari karena UE importir terbesar di dunia dengan nilai 52 miliar euro (Rp 790 triliun). Bagi Indonesia, pemberian kartu merah bagi pelaku IUUF akan menguntungkan akses ekspor perikanan Indonesia ke UE.
Bukan urusan bilateral
Dengan sejumlah aturan global tentang IUUF dan langkah berbagai organisasi internasional dan regional serta ancaman IUUF terhadap keamanan pangan, lingkungan hidup dan ketentuan-ketentuan hukum pidana internasional, jelas bahwa IUUF bukan urusan hubungan bilateral. Bahkan, dalam kesepakatan ASEAN yang tecermin dalam dokumen-dokumen cetak biru di bidang politik dan ekonomi, semua negara ASEAN sepakat pentingnya menangani IUUF di dalam suatu Komunitas ASEAN.
IUUF adalah masalah global dan merupakan pelanggaran hukum internasional. Tanggung jawab kapal, kapten, awak, dan negara bendera tak dapat hanya dilihat dari pelanggaran kedaulatan, hak berdaulat, dan hukum nasional suatu negara, tetapi juga pelanggaran Konstitusi Kelautan Dunia UNCLOS 1982 dan konvensi-konvensi PBB lainnya. Negara-negara bendera kapal IUUF harus bertanggung jawab dalam melaksanakan UNCLOS 1982, konvensi terkait lainnya, dan kesepakatan organisasi global.
Mereka tidak dapat dibiarkan berlindung di balik mantra "demi hubungan bilateral yang baik". Sebagai analogi, akan sangat aneh apabila suatu negara meminta warga negaranya dibebaskan dari segala tuduhan pelanggaran hukum pidana internasional di wilayah negara lain agar hubungan bilateral kedua negara tetap berlangsung baik. Justru sebaliknya, apabila negara bendera IUUF ingin menjaga hubungan bilateral yang baik, mereka harus melaksanakan kewajiban hukum internasional yang ada agar mencegah warga mereka melakukan IUUF di wilayah negara lain, dan apabila mau dan mampu, harus menindak warga mereka yang melakukan IUUF di wilayah perairan mana pun di dunia.
Indonesia perlu dengan tegas menyampaikan ini kepada mitra yang masih saja menggunakan argumentasi hubungan bilateral agar mereka diperbolehkan mencuri ikan di wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dengan berbagai alasan teknis yang seolah sahih tetapi bertentangan dengan UNCLOS 1982. Indonesia juga perlu menyampaikan informasi kasus-kasus IUUF yang telah dan sedang dialami kepada lingkaran pasar ikan dunia di AS, UE, dan Jepang. Dalam berbagai pasar dunia yang masih saja bersedia mengonsumsi ikan hasil IUUF, Indonesia perlu bekerja keras mengubah pola pikir pasar agar hanya mengonsumsi ikan non-IUUF dan non-slavery. Pasar-pasar dunia tentunya perlu pasokan informasi terbuka dan tertutup tentang upaya melawan IUUF sehingga mereka dapat melaksanakan UNCLOS 1982 dengan pelarangan impor ikan hasil IUUF. Langkah ini adalah benar dan sama sekali tak bertentangan dengan prinsip WTO dan GATT.
Sesungguhnya, kebijakan tegas Indonesia melawan IUUF yang kini diperkuat oleh Satgas 115 juga telah menciptakan kepemimpinan Indonesia di bidang diplomasi ekonomi (akses pasar ke UE, AS, dan Jepang), diplomasi maritim tingkat regional (melaksanakan cetak biru ASEAN yang melawan IUUF dan melaksanakan kewajiban organisasi regional perikanan), diplomasi maritim tingkat global (melaksanakan kewajiban instrumen global dan aktif dalam melawan IUUF di FAO dan IMO, melalui keanggotaan Global Record of Fishing Vessels), serta menunjukkan kemampuanmaritime security capability Indonesia. Penangkapan Silver Sea 2 oleh KRI Teuku Umar di Samudra Hindia di lokasi 80 mil laut dari Pulau Weh sebenarnya telah masuk kategori blue-water navy yang tak semua negara ASEAN memiliki.
Tak ada jalan lain, kecuali melanjutkan kebijakan tegas ini dan negara-negara mitra yang keberatan atau mungkin para pendukungnya perlu diingatkan dengan bijak dan lugas akan kewajiban hukum internasional mereka untuk tak jadi pendukung IUUF di wilayah perairan mana pun di dunia. IUUF adalahcommon enemy of mankind.
ARIF HAVAS OEGROSENO
Deputi Menko Maritim dan Sumber Daya Bidang Kedaulatan Maritim
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Kapal Ilegal dan Hubungan Bilateral".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar