Pembangunan infrastruktur untuk kedaulatan pangan selama masa pemerintahan saat ini juga dilakukan besar-besaran meliputi pembangunan 49 bendungan, pembangunan jaringan irigasi untuk persawahan seluas 1 juta hektar, serta rehabilitasi jaringan irigasi untuk lahan pangan seluas 3,3 juta hektar (RPJMN 2015-2019). Pembangunan infrastruktur pertanian, terutama jaringan irigasi, memang relatif terabaikan selama 30 tahun terakhir ini sehingga sekitar 50 persen jaringan irigasi strategis, terutama di Pulau Jawa, rusak hingga rusak parah. Kerusakan jaringan irigasi tersebut menyebabkan hanya sekitar 10 persen air irigasi yang bisa dikendalikan.
Produksi, impor, ekspor
Pembangunan infrastruktur dan peningkatan anggaran yang drastis untuk sektor pertanian dan pangan diharapkan memberikan dampak yang signifikan, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dampak jangka pendek berupa kenaikan produksi, sedangkan jangka panjang adalah tercapainya kedaulatan pangan.
Berdasarkan angka tetap, produksi padi tahun 2015 sebesar 75,40 juta ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat 6,42 persen dibandingkan tahun 2014, jagung 19,61 juta ton pipilan kering (meningkat 3,18 persen) dan kedelai 0,963 juta ton biji kering (meningkat 0,86 persen) yang menorehkan prestasi tertinggi selama 10 tahun terakhir ini (BPS, Agustus 2015). Apabila data tersebut benar, maka akan menghasilkan surplus beras sebesar 16,8 juta ton dan jagung sebesar 7,41 juta ton yang menjadi stok awal tahun 2016.
Angka produksi tersebut menjadi perdebatan besar, baik di kalangan akademisi, pelaku usaha, maupun internal pemerintah sendiri. Apabila angka tersebut benar, pada tahun 2015 kita seharusnya mampu mengekspor beras 10 juta ton dan jagung sekitar 5 juta ton atau harga beras medium tahun 2016 turun drastis ke angka kurang dari Rp 4.000 per kg.
Namun, kenyataan yang ada tidaklah demikian. Impor beras, jagung, dan kedelai justru meningkat masing-masing 2,1 persen, 3,7 persen, dan 9,8 persen dibandingkan tahun 2014. Harga juga tidak turun, bahkan naik cukup tinggi. Harga beras medium rata-rata nasional meningkat dari Rp 8.934 per kg pada Oktober 2014 menjadi Rp 10.414 pada Oktober 2015. Apabila dihitung rata-rata tahunan meningkat dari Rp 9.112 menjadi Rp 10.321 atau kenaikan sebesar 13,3 persen yang jauh melampaui inflasi tahun 2015.
Ketidaksinkronan antara data produksi, harga, dan impor menunjukkan persoalan sangat serius, terutama terkait dengan data produksi. Dari hasil kajian AB2TI di 61 kabupaten menunjukkan terjadinya penurunan produksi padi tahun 2015 dibandingkan dengan tahun 2014 yang sekaligus mengonfirmasi ketidakakuratan data produksi.
Kajian yang dilakukan beberapa perguruan tinggi tahun 2015 juga menghasilkan kesimpulan yang sama dengan hasil kajian AB2TI. Produksi padi tahun 2016 ini kemungkinan membaik karena kemarau basah "La Nina", sebaliknya produksi jagung dan kedelai kemungkinan menurun karena persaingan penggunaan lahan.
Peningkatan produksi padi dan masuknya beras impor menyebabkan stabilnya harga beras pada tahun 2016. Harga tertinggi dan terendah pada tahun 2016 ini hanya terpaut Rp 354 untuk harga beras medium rata-rata nasional. Meskipun harga sudah mulai naik kembali sejak Juli 2016, kenaikan cenderung melandai apabila dibandingkan tahun 2015.
Impor belum turun
Dari sisi impor pangan, tampaknya pemerintah belum mampu menurunkan tanpa mengganggu stok dan harga. Impor beras dalam 4 tahun terakhir ini cenderung meningkat terus. Pada tahun 2013 Indonesia mengimpor beras sebesar 0,473 juta ton yang kemudian meningkat menjadi 0,844 juta ton dan 0,862 juta ton pada tahun 2014 dan 2015.
Pada tahun 2016 hingga Agustus sudah masuk beras impor sebesar 1,128 juta ton atau meningkat 30,9 persen (total impor beras 2015 dibandingkan impor beras Januari-Agustus 2016) (BPS, Oktober 2016).
Data yang mengejutkan adalah penurunan tajam volume impor jagung pada semester I-2016 ini sebesar 0,970 juta ton atau 51,9 persen dibandingkan semester I-2015. Sayangnya, penurunan impor jagung tersebut kemungkinan besar tidak disebabkan peningkatan produksi, tetapi sekadar pembatasan impor.
Jagung merupakan komponen utama pakan ternak, tetapi bisa disubstitusi dengan gandum (wheat feed). Akibat pembatasan impor jagung tersebut, impor gandum melonjak sangat tinggi pada periode yang sama, yaitu terjadi peningkatan sebesar 2,135 juta ton atau 57,4 persen.
Pada tahun 2016 diperkirakan impor gandum bisa menyentuh 10 juta ton (tahun 2015 sebesar 7,6 juta ton) yang menempatkan Indonesia menjadi salah satu importir gandum terbesar di dunia. Apabila disandingkan dengan angka konsumsi beras, proporsi gandum sebagai penyusun pangan pokok meningkat menjadi hampir 30 persen, melampaui batas kritis sebesar 25 persen.
Ekspor belum signifikan
Ditinjau dari sisi ekspor pangan dan komoditas pertanian, selama dua tahun terakhir ini belum memperlihatkan perkembangan yang signifikan. Ekspor produk tanaman pangan sedikit meningkat dari 0,205 miliar dollar AS pada tahun 2014 menjadi 0,212 miliar dollar AS tahun 2015. Meskipun demikian, nilai ekspor produk tanaman pangan tersebut sangat kecil dibandingkan nilai impor pangan yang mencapai 6,790 miliar dollar AS pada tahun 2015.
Nilai ekspor produk-produk perkebunan dari kelapa sawit hingga rempah-rempah cenderung menurun dari tahun 2012 hingga 2015, yaitu dari 34,228 miliar dollar AS pada tahun 2012 menjadi 28,335 miliar dollar AS tahun 2015, atau menurun sebesar 17,2 persen.
Data hingga Juli 2016 menunjukkan terjadinya penurunan ekspor di semua komoditas perkebunan penting, yaitu kelapa sawit, kopi, kakao, karet, dan teh (diolah dari data BPS dan Kementan 2012-2016).
Persoalan produksi dan turunannya berupa impor dan ekspor pangan serta swasembada hanya sebagian dari konsep besar kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan mengubah pola pembangunan pertanian yang sangat berat ke aspek peningkatan produksi at all cost ke pembangunan pertanian yang memuliakan petani, meningkatkan kesejahteraan mereka, serta mendorong sistem pertanian agroekologis berbasis petani kecil dan pertanian keluarga.
Kedaulatan pangan juga bermakna perlindungan petani kecil dari sistem perdagangan internasional yang tidak adil melalui renegosiasi sejumlah perjanjian internasional terkait liberalisasi perdagangan pangan dunia.
Diskursus lingkungan pembangunan pertanian yang berlandaskan rasionalisme ekonomi perlu diubah menjadi rasionalisme hijau, pola yang eksploitatif dan ekstraktif terhadap sumber daya alam berubah menjadi perlindungan dan keberlanjutan.
Reforma agraria
Dalam payung besar kedaulatan pangan aspek reforma agraria dan akses petani kecil terhadap sumber daya produktif, baik fisik maupun permodalan, menjadi salah satu kunci.
Ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan lahan menyebabkan indeks gini tanah mencapai 0,59 (Budi Mulyanto, 2016) yang hanya bisa diatasi melalui redistribusi lahan bagi petani kecil. Pola-pola subsidi, baik subsidi pupuk, benih, beras sejahtera, maupun sejumlah bantuan, baik alsintan maupun bantuan lainnya yang dari banyak kajian terbukti kurang efektif, perlu ditinjau ulang dan dialihkan ke subsidi output, peningkatan permodalan petani kecil dan direct payment.
Terakhir, kedaulatan pangan juga bermakna kedaulatan petani yang membebaskan petani dari upaya kriminalisasi, misalnya kriminalisasi petani pemulia dan penangkar benih serta kriminalisasi gerakan petani yang menuntut keadilan agraria. Kedaulatan petani juga berarti petani diberi akses untuk ikut menetapkan kebijakan pada semua tingkatan sehingga muncul peraturan, misalnya Permendag RI No 63 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen yang terkesan memunggungi petani bisa dikurangi di masa yang akan datang.
Keberhasilan program kedaulatan pangan bukan hanya menjadi dambaan pemerintah saat ini, melainkan juga tujuan sejumlah gerakan masyarakat sipil dan jaringan tani di seluruh Indonesia. Gerakan yang sangat mendambakan peningkatan kesejahteraan petani, keadilan agraria, dan keberlanjutan pertanian.
Jayalah petani kecil!
DWI ANDREAS SANTOSA
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesi/AB2TI, dan Center of Reform on Economics/CORE Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Dua Tahun Kedaulatan Pangan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar