Debat ini dinilai paling "berisi" karena berhasil menggiring kedua kandidat tetap fokus membicarakan kebijakan yang akan mereka terapkan ketika menjadi presiden.
Seperti kita saksikan, debat ini didominasi oleh Hillary, bukan saja karena dia memiliki pengalaman segudang dalam urusan kebijakan, melainkan juga karena ia sungguh-sungguh mempersiapkan diri. Sementara Trump, berulang kali mencoba menyeret semua isu menjadi serangan personal terhadap Hillary. Secara umum, kecuali soal kepemilikan senjata, Trump hampir tidak memiliki konsep yang jelas dan jernih tentang semua isu.
Apa yang membuat debat ini fenomenal, juga karena sikap Trump. Ia menyatakan akan "lihat-lihat dulu" apakah nanti akan menerima hasil pemilu atau tidak, karena ia yakin sudah dicurangi dalam pemilu ini.
Meskipun ucapan "pemilu curang" bukan pertama kali kita dengar dari Trump, tetapi bahwa itu muncul dalam sebuah debat presiden yang dianggap "sakral" dalam politik AS, tentunya mengejutkan. Trump adalah wakil resmi dari "Grand Old Party" (Partai Republik), yang sudah menelurkan 18 presiden, dan presiden pertamanya adalah tokoh yang menghapus perbudakan, Abraham Lincoln.
Tapi itulah Trump. Melihat rekam jejak kampanyenya selama setahun terakhir yang penuh kontroversi, ucapannya hanya melengkapi saja. Namun, bagi sebagian tokoh Republik, sikap Trump dinilai sudah keterlaluan.
Hasil jajak pendapat menunjukkan, bukan saja Hillary menang dua digit dalam debat terakhirnya, tetapi dalam jajak pendapat nasional pun Trump semakin tertinggal. Trump mencoba "memperbaiki" sikapnya dengan mengatakan akan menerima hasil pemilu tanpa syarat, tetapi hanya kalau ia menang. Memang menggelikan. Namun, itulah konsekuensi yang harus dihadapi kubu Republik yang pada awalnya sempat ragu untuk mengesahkan Trump menjadi kandidat resmi.
Hal yang paling mereka khawatirkan, kontroversi itu akan berdampak pula pada kandidat senator Republik yang sedang menghadapi pertarungan sengit di seluruh wilayah AS. Kubu Republik nyaris tidak memberikan perhatian pada "strategi pemenangan" di setiap negara bagian karena sibuk mengurusi kontroversi Trump. Sementara kubu Demokrat sudah sebulan ini bergerilya untuk menyusup ke wilayah yang secara tradisional dikuasai Republik. Target utamanya tidak hanya memenangi kursi presiden, tetapi juga menguasai Kongres AS.
Pemilu AS tinggal 2 pekan lagi, tapi perkembangan yang mengiringinya masih menimbulkan tanda tanya besar.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Debat yang Fenomenal".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar