Selain menjadi awal perubahan paradigma hubungan Filipina dan Tiongkok, apakah kunjungan tersebut juga mengisyaratkan adanya kebijakan baru Manila untuk "meninggalkan" Washington berpindah ke Beijing? Bahwa kunjungan tersebut dan pertemuan antara Duterte dan Presiden Tiongkok Xi Jinping, menandai perubahan paradigma hubungan kedua negara, tidak begitu keliru.
Mengapa? Kebijakan Pemerintah Filipina sebelumnya, pada zaman Presiden Benigno Aquino III, adalah menolak untuk mengadakan perundingan bilateral dengan Tiongkok menyangkut masalah Kepulauan Spratly. Akan tetapi, Duterte—bahkan sejak kampanye sudah menyatakan mengadakan perundingan dengan Tiongkok untuk menyelesaikan sengketa kepulauan itu secara damai—menyatakan keseriusannya untuk melanjutkan perundingan.
Tentang apakah kunjungannya ke Beijing mengisyaratkan bahwa Manila telah meninggalkan Washington, kiranya tidak serta-merta akan demikian. Meskipun Duterte gagal bertemu dengan Presiden AS Barack Obama saat KTT ASEAN di Laos dan menyatakan akan menghentikan latihan militer serta patroli bersama dengan AS, hubungan kedua negara sudah berjalan begitu panjang dan mendalam. Karena itu, apabila Manila benar-benar meninggalkan Washington dan memilih ke Beijing, kiranya harga yang harus dibayar terlalu mahal.
Perlu dipahami bahwa hubungan antarnegara selalu didasarkan pada kepentingan nasional masing-masing: pengamanan kebebasan politik dan integritas teritorial. Tujuan politik yang mendasar dari diplomasi adalah untuk mencapai tujuan-tujuannya secara damai. Akan tetapi, diplomasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik tetap operatif, baik selama damai maupun perang. Tidak bisa dimungkiri bahwa perang dan damai merupakan kondisi eksklusif yang hampir tidak menguntungkan kedua belah pihak. Demikian, diplomasi bisa memenuhi tujuan politiknya apabila didukung oleh kekuatan.
Selain politik yang menjadi perhatian utama diplomasi, ekonomi juga termasuk bagian penting yang diperhatikan dalam tujuan diplomasi. Dengan lahirnya sistem perdagangan bebas serta munculnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi besar, tentu menjadi pertimbangan Duterte mengapa memilih "jalan kompromi" dengan Tiongkok dan meninggalkan "jalan kekerasan".
Di sini, Duterte memilih sikap yang lebih pragmatis untuk kepentingan ekonomi. Namun, Duterte tidak akan mengorbankan kepentingan nasionalnya yang lain, yakni menyangkut integritas teriorialnya dan hubungannya dengan AS sebagai kekuatan nyata di kawasan yang mampu menandingi Tiongkok.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Manila, dari Washington ke Beijing".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar