Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 26 November 2016

Dana Desa untuk Lingkungan (IVANOVICH AGUSTA)

Rencana mengarahkan dana desa guna restorasi gambut (Kompas, 7/11) kian memadati narasi jasa lingkungan. Ini melengkapi rancangan pendanaan penanggulangan kebakaran hutan dan banjir.

Sayang, sejauh ini argumentasi pelestarian lingkungan dan risiko bencana terkalahkan upaya peningkatan produktivitas infrastruktur dan badan usaha milik desa. Lagi pula, kepentingan nasional harus sejalan dengan wewenang desa.

Ubah mata anggaran

Sejak 2007, indikator pengembangan desa di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa konsisten mencantumkan kondisi hutan atau kebun. Lingkungan lestari meningkatkan kualitas pembangunan karena menguatkan keberlanjutan manfaat bagi warga. Sebaliknya, gangguan lingkungan melambungkan risiko bencana yang memupus penghidupan keluarga.

Sayang, mitigasi bencana alam di Indonesia terlalu rendah, yaitu hanya berkembang pada 5.128 desa (7 persen). Perlengkapan keselamatan bencana hanya tersedia pada 992 desa (1 persen) dan jalur evakuasi hanya disusun pada 4.022 desa (6 persen). Desa di Jawa lebih siaga walau cuma serendah 14 persen.

Itu sejalan dengan rendahnya belanja tidak terduga yang melingkupi pelestarian lingkungan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Sempat meningkat dari 1,77 persen pada 2009 menjadi 2,48 persen pada 2012, kini Nata Irawan mencatat tinggal 0,2 persen senilai Rp 1,3 juta per desa.

Tidak mengherankan jika kebakaran ladang warga dialami 22.273 desa (31 persen) dan kebakaran hutan memanas di 1.103 desa (2 persen). Bencana tanah longsor menimbuni 6.957 desa (10 persen) dan banjir melanda 14.498 desa (20 persen). Kekeringan juga dialami 4.666 desa (6 persen).

Selama ini pelestarian lingkungan dan penanggulangan bencana digolongkan sebagai risiko, maka masuk jenis belanja tidak terduga. Akuntabilitas menghendaki pengurangan belanja yang sulit dipertanggungjawabkan, seperti pembatalan anggaran lantaran bencana batal menimpa. Efeknya, APBDes meminimalkan anggaran risiko bencana lingkungan.

Harapan pemerintah pusat dan daerah agar desa turut merestorasi gambut, kebakaran hutan, dan menjaga lingkungan sejatinya mengubah mata anggaran menjadi belanja pembangunan. Tantangannya ialah menggali nilai risiko lingkungan agar peserta musyawarah desa memilihnya ketimbang proposal proyek pembangunan infrastruktur, ekonomi, dan kapasitas sosial. Artinya, diperlukan nilai rupiah manfaat dibandingkan biaya kegiatan mitigasi bencana ekologis.

Jasa lingkungan

Risiko bencana dihitung dari harta yang diandaikan hilang kalau bencana datang. Desa tempat warga memperhitungkan seekor ternak mati tertabrak (contohnya seharga Rp 2 juta) bernilai hingga bila beranak pinak (menjadi seharga Rp 20 juta) seharusnya mendapati harga manfaat lebih tinggi bagi pembangunan lingkungan dan pemberdayaan kelompok mitigasi bencana. Pola penghitungan ini sejajar dengan matematika integral atas harga risiko bencana seketika.

Produktivitas lingkungan bisa pula dirupiahkan melalui penghitungan stok karbon di pohon dan bahan organik di tanah. Sejumlah lembaga berhasil menyederhanakan cara mengukur karbon pohon dan lahan, lalu mendidik warga mengukur karbon kebunnya sendiri. Nilai karbon yang terikat di desa dinyatakan sebagai rupiah jasa lingkungan.

Sayang, jasa lingkungan warga terlalu sulit dibeli swasta nasional ataupun asing, atau pemerintah pusat dan daerah. Pada titik ini APBDes dapat digunakan untuk membeli jasa lingkungan warganya, misalnya jasa pelestarian kawasan hutan, daerah aliran sungai, lereng curam, lahan gambut, lahan rawan kebakaran, dan sebagainya. Nilai jasa lingkungan dinegosiasikan dalam musyawarah desa. Uang pembelian jasa lingkungan dibagikan kepada warga sesuai perannya dalam melestarikan lingkungan strategis itu.

Transaksi jasa lingkungan dalam APBDes mengungkapkan kebajikan politis dan nilai peran pemerintah desa dalam pelestarian ekologi. Dokumen transaksi selanjutnya dapat digunakan pemerintah desa sebagai kompensasi dari swasta yang mengembangkan ekowisata dan skema program lingkungan pemerintah pusat dan daerah.

Dukungan utilitarian

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mencuatkan asas subsidiaritas, yaitu wewenang desa memutuskan kegiatan pembangunan melalui musyawarah. Penyusutan subsidiaritas mulai dipicu oleh Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No 8/2016 yang membatasi penggunaan dana desa untuk setumpuk daftar pembangunan dan pemberdayaan. Maka, janganlah menambahi regulasi keharusan penggunaan dana desa bagi restorasi gambut dan kegiatan lingkungan lain.

Yang paling tepat, pihak luar sekadar menyediakan serangkaian data risiko atau penghitungan praktis lingkungan tingkat desa. Mengingat risiko lingkungan meliputi kawasan yang luas, perlu pula disarankan kerja sama antardesa.

World Agroforestry Centre berupaya menyediakan data dan analisis jasa lingkungan yang terpecah-pecah. Agar mudah digunakan, susunan data berbentuk formulir perencanaan partisipatif sesuai Peraturan Mendagri No 114/2014. Formulir potensi, masalah, dan penghitungan manfaat memudahkan warga menjadikannya bahan diskusi dalam musyawarah desa. Pada akhirnya, pemerintah dan warga desa yang memutuskan untuk mengembangkannya jadi kegiatan jasa lingkungan atau menolaknya.

IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PEDESAAN IPB BOGOR

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 November 2016, di halaman 7 dengan judul "Dana Desa untuk Lingkungan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger