Selanjutnyapada 28 Agustus 2016, percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yoseph, Medan. Dan yang terakhir terjadi pada 13 November 2016, sebuah bom molotov diledakkan di depan Gereja Oikumene Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Empat anak terluka dan satu di antaranya meninggal.
Pelaku bom Gereja Oikumene Samarinda bukanlah orang baru dalam peledakan bom. Pelaku merupakan mantan narapidana teror bom Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Tangerang pada 2011.
Menurut Kapolri, pelaku yang bernama Joh alias Juhanda alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia (32) pernah menjalani hukuman pidana 3,5 tahun pada 2012 dan bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi Idul Fitri pada 28 Juli 2014.
Kasus-kasus ini merupakan bukti bahwa program deradikalisasi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah gagal total. Pemerintah sudah seharusnya segera melakukan revitalisasi BNPT.
Deradikalisasi berasal dari kata radikallalu ditambah awalan de di depan yang berarti mengurangi atau mereduksi. Sementara kata asasi di belakang kata radikal berarti proses, cara, atau perbuatan.Kata radikal berasal dari bahasa Latin radix, radicis yang menurutThe Concise Oxford Dictionary (1987) berarti akar, sumber, atau asal mula.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(1990), radikal diartikan sebagai 'secara menyeluruh', 'habis-habisan', 'amat keras menuntut perubahan', dan 'maju dalam berpikir atau bertindak'. Jadi,deradikalisasi bisa diartikan sebagai upaya untuk mereduksi pemikiran-pemikiran, kegiatan-kegiatan yang berbau radikal atau penuh dengan tindak kekerasan.
Deradikalisasi dibangun atas asumsi bahwa ada ideologi radikal yang mengeksploitasi berbagai faktor, seperti kemiskinan, keterbelakangan, marginalisasi, pemerintahan otoriter, dominasi negara super power, dan globalisasi. Ideologi ini melahirkan spirit perlawanan dan perubahan dengan tindakan-tindakan teror,ketika jalan damai (kompromi) dianggap tidak memberikan efek apa pun.
Sangat jelas bahwa deradikalisasi hanya ditujukan untuk mereduksi "paham, pikiran atau ideologi" yang menghalalkan penggunaan "bom" sebagai alat penekan agar kemauan mereka tercapai. Itulah sebabnya, terkait isu terorisme, dalam dua tahun terakhir deradikalisasi menjadi istilah yang cukup populer. Bahkan, BNPT menempatkannya sebagai program utamanya dalam upaya memberantas terorisme di Indonesia.
Sembilan unsur terorisme
Sebagai ilustrasi, ketika kita akan membuat api, maka kita akan menggosok-gosok kayu sampai panas kemudian di tempat yang panas itu kita letakkan bahan yang mudah terbakar seperti jerami dan meniupnya. Proses itu sebenarnya mempertemukan panas, hasil dari gosokan kayu, bahan bakar, jerami, dan oksigen ketika kita meniupnya.
Api akan menyala apabila ada tiga unsur yang bertemu, panas, bahan bakar, dan oksigen.Sebaliknya apabila akan memadamkan api, yang sering kita lihat adalah menyiram api itu dengan air. Penyiraman ini pada dasarnya adalah untuk memisahkan panas dari dua bahan bakar dan oksigen. Apa yang terjadi pada api terjadi juga pada terorisme. Apabila untuk api ada tiga unsur pembentuk, maka untuk terorisme ada sembilan unsur pembentuk terorisme. Sembilan unsur itu adalah pemimpin, tempat latihan, network (jaringan), dukungan logistik, dukungan keuangan, trainingatau pelatihan, komando dan pengendalian, perekrutan, dan terakhircohesion force atau daya pemersatu.
Apabila untuk memadamkan api cukup dengan menghilangkan salah satu dari unsur pembentuk api, demikian juga untuk memadamkan terorisme cukup dengan menghilangkan salah satu dari unsur pembentuk terorisme. Misalkan unsur dukungan keuangan uang yang dihilangkan, maka jika tidak ada uang yang cukup untuk membeli bahan peledak, tidak akan mungkin seorang teroris dapat melakukan pengeboman.
Apabila deradikalisasidiharapkan nantinya akan dapat digunakan untuk memberantas terorisme, deradikalisasi harus dapat menghilangkan salah satu dari sembilan unsur pembentuk terorisme. Untuk itu, perlu diketahui terlebih dahulu unsur mana dari kesembilan unsur pembentuk terorisme yang berhubungan langsung dengan deradikalisasi.
Deradikalisasi vs agama
Cohesion force atau daya pemersatu adalah rasa senasib dan sepenanggungan dari para anggota organisasi sehingga mereka merasa saling terikat satu dan lainnya. Rasa keterikatan ini menjadi kuat apabila ada kesamaan cara pandang di antara anggota organisasi itu.
Semakin kuat daya pemersatu, semakin solid organisasi tersebut. Sebaliknya, semakin lemah daya pemersatu, semakin lemah pula suatu organisasi. Dengan demikian, jika ingin menghancurkan suatu organisasi, hancurkan terlebih dahulu daya pemersatunya.
Ideologi agama dinilai sebagai pemersatu yang paling kuat. Jika pemerintah saat ini melaksanakan deradikalisasi, pada dasarnya adalah untuk melemahkan daya pemersatu dengan mengubah perilaku mereka agar dapat menaati aturan perundangan yang berlaku.Dengan demikian, pada akhirnya deradikalisasi akan berhadapan dengan agama.
Padahal untuk memadamkan terorisme, masih ada salah satu dari delapan unsur lain yang dapat dihilangkan. Oleh karena itu, segera hentikan program deradikalisasi yang mubazir itu. Harap diingat bahwa seorang teroris yang ditakuti bukan karena mereka berpaham radikal, melainkan mereka ditakuti karena "memiliki bom" yang dapat diledakkan sewaktu-waktu.
Akan tetapi, jika memang mereka yang berpaham radikal perlu disadarkan, serahkanlah hal itu dilaksanakan oleh para pemuka agama yang terkait. Perlu diingat bahwa pemberantasan terorisme tidak hanya dapat dilakukan dengan program deradikalisasi oleh BNPT serta menghukum pelaku dengan pembuatan undang-undang saja, tetapi juga bagaimana mencegah agar tidak lahir teroris-teroris baru yang diakibatkan karena kesalahan cara pemberantasannya.
Teroris dan keluarganya serta para korbandan keluarganya perlu mendapatkan keadilan yang proporsional.
SOLEMAN B PONTO, KEPALA BADAN INTELIJEN STRATEGIS TNI (2011-2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar