Belum ada sosok di Uni Eropa yang memiliki kapasitas kepemimpinan seperti itu, selain Merkel. Selama hampir 12 tahun ia "menyetir" Jerman dan Uni Eropa (UE) melewati masa-masa sulit, di antaranya krisis ekonomi global dan perpecahan yang berujung pada Brexit.
Kepastian pencalonan Merkel sebelumnya sudah diisyaratkan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang menyebut Merkel sebagai "mitra internasional terpenting" dan "pemimpin dunia bebas". Sejak Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS, Eropa masih belum yakin akan masa depan relasinya bersama AS, sesuatu yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah pasca Perang Dunia II.
Retorika Trump yang mencemaskan semasa kampanye membuat Eropa merasa perlu berbenah diri. Eropa, antara lain, bersiap menghadapi hubungan AS dan Rusia yang lebih hangat, juga kemungkinan mengendurnya komitmen AS terhadap NATO dan keamanan Eropa yang dulu menjadi prioritas kebijakan luar negeri AS.
Sampai saat ini UE masih menerapkan sanksi terhadap Rusia, menyusul pendudukan Rusia terhadap Crimea dan aksi destabilisasi yang terus berlangsung di Ukraina. Dalam pertemuan para menteri pertahanan Eropa pekan lalu, UE mengumumkan akan membentuk pasukan gerak cepat yang bisa mengantisipasi krisis sebelum pasukan penjaga perdamaian PBB mengambil alih.
Ini merupakan isyarat jelas dari UE bahwa blok itu tak mau lagi menggantungkan sepenuhnya keamanan wilayah mereka kepada AS. Langkah berikutnya, UE bersiap membentuk pasukan keamanan sendiri dengan markas besar di Brussels, Belgia.
Tentu saja, rencana ini mendapat tentangan keras dari Inggris yang tidak lagi dilibatkan dalam kebijakan-kebijakan penting UE pasca Brexit. Bagi Inggris, rencana pembentukan pasukan gabungan Eropa akan melemahkan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), di mana Inggris menjadi salah satu anggota paling berperan di situ.
Ketika negara-negara Eropa mengkhawatirkan kebijakan Trump, Inggris melalui Ratu Elizabeth sudah mengirimkan undangan resmi kepada Trump. Langkah ini tentunya akan dimanfaatkan PM Inggris Theresa May untuk menjalin "hubungan khusus" Inggris-AS, terutama dalam perdagangan bebas. Ini merupakan sinyal Inggris kepada UE bahwa mereka sudah punya agenda dan strategi ke depan, dengan atau tanpa pasar tunggal Eropa.
Ini merupakan saat yang paling rawan bagi UE. Krisis Brexit, Trump, banjir imigran, terorisme, krisis ekonomi, kebangkitan ekstrem kanan, datang bertubi-tubi. UE butuh sosok pemimpin yang visioner dan mampu mengobarkan semangat persatuan. Merkel adalah salah satunya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Merkel, Trump, dan Eropa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar