Apa yang dirasakan Presiden sesungguhnya mewakili perasaan miris banyak pihak yang masih memiliki nurani luhur dan akal sehat. Betapa tidak, banyak dari pengguna media sosial—baik melalui kanal seperti Whatsapp (WA), Twitter, dan Facebook— yang sering kali tak hanya mem-posting informasi faktual, tetapi lebih banyak mengarah pada peneguhan klaim kebenaran sepihak dan disertai sikap menuduh pihak lain adalah salah.
Dari sekian informasi yang diposting, tujuannya memengaruhi opini publik dan upaya memaksakan kehendak agar informasi itu bisa terbaca banyak orang. Bahkan, secara meyakinkan, penebar informasi itu menggunakan nukilan ayat kitab suci, pandangan tokoh agama, masyarakat, ataupun adagium lain sebagai modus bahwa siapa pun yang membagi kembali informasi ini akan memperoleh pahala. Tak sedikit pula yang membawa nama Tuhan untuk merepresentasikan bahwa tindakannya adalah yang paling diberkati.
Implikasi atas pengaruh opini yang tiada henti, yang digiring agar masuk ke wilayah arus keinginan dan kepentingannya, banyak pihak yang menjadi buzzer media sosial. Mereka menciptakan gelombang massa yang bisa meyakinkan banyak pihak lain bahwa informasinya sudah diamini dan disukai ribuan dan jutaan orang. Pada titik ini, informasi yang muaranya untuk mengaduk emosi massa mulai merasuki benak setiap orang dan mulai meyakini bahwa informasi itu memiliki kebenaran.
Setidaknya, beberapa penelitian tentang sejumlah informasi yang diterima dari media sosial, terutama dari saluran WA, memberikan bukti, banyak pengguna media sosial yang mulai bersedia men-copy paste sebuah informasi yang diterima dan membagikannya ke grup WA lain. Terutama informasi yang berkaitan dengan isu agama dan pranata lain yang melingkupinya. Dengan sangat mudah isu-isu ini dikonstruksi sebagai cara pencitraan untuk meneguhkan bahwa hanya ajaran dirinyalah yang paling benar, sementara ajaran pihak lain dianggap salah.
Pada titik ini, masyarakat mulai masuk ke dalam jebakan dunia maya yang nuansa kecenderungannya lebih banyak mendorong orang untuk menyebarkan informasi-informasi negatif. Tujuannya, baik untuk mengapitalisasi ruang komunikasi dunia maya maupun membangun media retoris—meminjam istilah Roland Barthes, sesungguhnya jauh dari keadaban publik.
Secara sosiologis, merujuk pada pandangan Robin William, "Social Construction and The New Technologies of Reproduction" (dalam Irving Velody,The Politics of Constructionism), gejala ini mendedahkan sebuah konstruksi sosial di mana teknologi dimanfaatkan hanya untuk memuaskan keinginan dirinya, termasuk mengonstruksi kebohongan sebagai pesan kebenaran yang penuh dengan banalitas.
"Post truth"
Dalam kaitan ini, ketika kebenaran mengalami defisit dan yang menyumbul di antaranya representasi kesepihakan secara egoistik dalam menebar pesan- pesan yang disertai kebencian, pada titik ini kita tersekap dalam sebuah masa ketika kebenaran adalah kebatilan yang diamini sebagai ajaran. Dalam wacana kontemporer, tindakan ini masuk dalam kategori post truth, yaitu sebuah masa yang banyak mengabaikan etika berpendapat, mengedepankan beritahoax dan fitnah, yang tujuannya mengaduk- aduk emosi massa dan meminggirkan kebenaran dalam menyampaikan informasi ataupun gagasan.
Diksi post truth yang mulai populer pada 2000-an ini digambarkan Ralph Keyes dalam buku The Post-truth Era sebagai corak psikologis seseorang yang cenderung menggiring kebenaran dengan selera yang diinginkan meskipun hal itu tak mencerminkan sebuah kebenaran yang sesungguhnya. Post truth digunakan sebagai arah gagasan yang lepas dari jangkar asertifnya. Ia hanya mengakomodasi kehendak masyarakat umum yang menggambarkan karakter penyuka kebohongan sebagai sensasi ataupun tindakan.
Dengan kata lain, jika cara pandang dan ciri berpikir masyarakat diselimuti semangat antipati, pengetahuan apa pun yang ingin mengklarifikasi dan mengonfirmasi sebuah informasi yang masuk dalam kehidupan mereka, maka selama itu pula masyarakat akan menganggap pengetahuan itu tidak lebih sebagai niatan konspirasi. Masyarakat mulai tidak percaya pada keluhuran pesan yang berlandaskan pengetahuan secara obyektif dan empiris. Namun, mereka lebih memercayai pesan-pesan picisan sebagai sumber untuk penyampaian informasi secara berkelanjutan kepada pihak lain.
Maka, ketika masyarakat telah merepresentasikan sebagai penyuka berita hoax dan penggiringan defisit kebenaran, tidak mustahil ruang gerak kehidupannya akan diselimuti permusuhan. Bahkan, dalam banyak hal, berita hoax dimanfaatkan sebagai pendulang pendapatan yang lamat- lamat menggerus moralitas keberadaban kita sebagai bangsa.
Apalagi post truth yang habitus pergerakannya lebih banyak di ruang maya, yang secara langsung bisa berhadapan dengan setiap orang dari berbagai lapisan. Indonesia adalah salah satu negara—berdasarkan data yang disampaikan pemerintah—yang penggunaan internetnya digandrungi oleh 132 juta jiwa, dengan tingkat penetrasi penggunaannya hampir mencapai 52 persen jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah itu, ada 129 juta yang memiliki akun media sosial aktif, serta penggunaan internet penduduk Indonesia melalui telepon seluler rata-rata menghabiskan tiga setengah jam per hari.
Melalui jalur ini, tak mustahil post truthakan menjadi ancaman global yang bisa merusak tatanan kehidupan kita. Post truth yang ciri sosialnya mengonstruksi kebohongan dan fitnah bisa jadi akan menjadi instrumen genosida masa kini. Hulunya memang dari dunia maya, tetapi tak menutup kemungkinan akan berhilir ke dunia nyata.
Nalar kritis
Menyikapi era yang serba tunggang-langgang, yang diselimuti post truth, maka kita harus memiliki nalar kritis dalam menyikapi berbagai hal yang hadir dalam ruang baca kita. Terutama di media sosial, yang saat ini sudah dianggap sebagai media paling utama dalam mengakses berbagai informasi.
Secara sosiologis, nalar kritis ini berkaitan dengan proses debunking, yang dalam pandangan Michael P Soroka—dalam buku Sociology: Cultural Diversity in A Changing World—merupakan pengamatan lebih terhadap level realitas daripada interpretasi baku masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain, prosesdebunking mengarahkan kita untuk berpikir kritis dan analitis dan tak serta-merta menerima informasi yang sampai kepada kita secara apa adanya. Sebaliknya, kita harus menelaahnya secara obyektif dan empiris agar kita bisa membedakan mana informasi yang mengajak kita padakebaikan bersama dan mana informasi yang sekadar mencari sensasi ataupun bertujuan mengaduk emosi orang.
Dalam kaitan ini, proses debunking—menghilangkan prasangka—memberikan kita kecerdasan analisis sosial untuk menginterpretasi realitas sosial yang setiap waktu mengalami perubahan. Melalui cara ini, kita bisa memfilter sedini mungkin setiap gejala dan informasi yang coba memengaruhi pandangan kita.
Dengan demikian, ketika post truth—kebatilan yang sudah diamini sebagai sebuah kebenaran —sudah menjadi salah satu risiko teknologi yang hadir dalam ruang-ruang maya begitu saja, kita harus membekali mentalitas untuk membongkar prasangka-prasangka agar semangat hasut dan kebencian yang selama semarak di ruang maya tidak menjalar ke dunia nyata.
FATHORRAHMAN GHUFRON, DOSEN SOSIOLOGI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA; A'WAN SYURIYAH PWNU YOGYAKARTA PERIODE 2011-2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar