Terpilihnya Guterres, mantan Perdana Menteri Portugal (1995- 2005) dan Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi/UNHCR (2005-2015) pada pemilihan terakhir di Dewan Keamanan (DK) PBB 5 Oktober 2016, memang di luar perkiraan. Hingga saat-saatterakhir, tadinya Irina Bokova (Bulgaria), Direktur Jenderal UNESCO,sangat diunggulkan karena faktor geografis "giliran Eropa Timur" dan bakal menjadi perempuan pertama.
Namun, itulah PBB, yang kini mulai transparan karena hasil pemungutan suara di DK PBB dapat diketahui secara terbuka. Pada masa lalu masyarakat internasional hanya "terima jadi" karena semua ditentukan di belakang layar. Guterres secara mengejutkan dipilih 13 negara (dari 15 negara anggota DK PBB) tanpa suara menentang (veto), sementara Irina Bokova dan delapan kandidat lain ternyata mendapatkandiscouragement dan veto dari negara anggota tetap DK, di sampingtiga kandidat lain yang sudah mundur sebelumnya.
Apa yang terjadi sebenarnya akan tetap jadi "misteri" mengingat kelompok Eropa Timur, dengan didukung Rusia, selama ini paling gigih menggadang-gadang calonnya. Berbagai spekulasi muncul mengingat Guterres sebagai wakil kelompok Eropa Barat dan negara lain sebenarnya baru muncul kemudian. Yang jadi tanda tanya: apa yang akan menjadi prioritas Guterres sebagai bos dari organisasi internasional terbesar di dunia dengan anggaran 5,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 72,9 triliun ini.
Dari satu sisi, kompetensi Guterres tak diragukan lagi dengan pengalaman birokrasi luas di dalam dan di luar pemerintahan, termasuk UNHCR dan presidensi Uni Eropa (2000).
Dengan bekal itu, tak diragukan Guterres—yang menguasai tiga bahasa PBB: Inggris, Perancis, dan Spanyol, di samping Portugis—akan mampu mengatasi masalah-masalah kemanusiaan yang kini dihadapi masyarakat internasional, seperti HAM, imigran ilegal, dan pengungsi.
Tantangan Guterres
Di lain pihak, masih banyak masalah lain, khususnya di bidang keamanan dan perdamaian, yang sudah sejak lama on the table, seperti dikutipkantor berita AP. Pertama, PBB kini sudah kedodoran dengan adanya 15 badan otonom, 11 semiotonom, dan berbagai badan lain. Selama ini Sekjen PBB hanya mengoordinasikan kerja badan-badan itu tanpa otoritas untuk mengawasi semuanya.
Membengkaknya struktur ini antara lain menyebabkan lambatnya penanganan ebola di Afrika, misalnya karena direktur lapangan hanya melapor kepada direktur regional dan bukan kepada Markas Besar WHO di Geneva, yang juga tidak melaporkan hal ini kepada Sekjen PBB.
Kedua, PBB senantiasa meminta anggotanya menyumbangkan Pasukan Penjaga Perdamaian untuk 16 misinya di dunia. Jumlah ini kini mencapai 130.000 tentara, meningkat pesat dari 11.000 tentara pada akhir Perang Dingin. Jumlah ini dipertanyakan karena menimbulkan berbagai masalah lain, di antaranya lebih dari 100 tentara tewas dan sejumlah lain disandera.
Ketiga, krisis kemanusiaan yang terjadi dewasa ini telah meningkatkan secara signifikan jumlah pengungsi hingga mencapai 51 juta orang. Angka ini tertinggi sejak badan dunia ini mulai menangani masalah ini sejak 1950-an. Mereka bukan hanya terpaksa meninggalkan negaranya, melainkan juga berpindah dari satu tempatke tempat lain di dalam negaranya sendiri (displaced), baik karena perang, bencana alam, maupun sebab lain.
Keempat, dengan banyaknya krisis yang terjadi, PBB butuh dana yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Hampir semua badan PBB dibiayai sumbangan sukarela, yang umumnya tak memadai. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), misalnya, terpaksa menghentikan program bantuan makanan bagi 1,7 juta pengungsi Suriah karena kurang dana. Sementara masih banyak anggota PBB yang menunggak iuran tahunan, akhir 2016 sekitar 3,5 miliar dollar AS.
Namun, masalah terberat dan kronik yang terjadi sejak awal berdirinya badan dunia ini adalah mengenai hak veto. Sejak terbentuknya PBB, hanya lima negara(pemenang Perang Dunia II/P-5) yang secara de facto berkuasa, sebagai anggota tetap DK PBB, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, dan Tiongkok.
Sementara 10 negara anggota tidak tetap lebih sebagai "penggembira".DK-PBB dinilai gagal mengatasi berbagai konflik utama, seperti Suriah, Ukraina, Yaman, dan Sudan; juga masalah permanen seperti konflik Palestina-Israel. Padahal, tanpa adanya veto, masalah itu mungkin sudah dapat diselesaikan.
Sebagai organisasi yang kini beranggotakan 193 negara, berkembang dari 53 negara saat pembentukannya, DK PBB sudah tak merepresentasikan kenyataan dunia saat ini. Semua negara anggota memang terwakili dalam Majelis Umum, tetapi lembaga itu hanya menghasilkan resolusi- resolusi yang tak mengikat (non- binding). Hingga kini belum ada tanda-tanda bahwa negara P-5 ingin berbagi kekuasaannya dengan lebih banyak negara.
Guterres pasti sadar bahwa sebagai manajer, seperti kata Edward J Perkins, tugasnya "...to make things happen by persuasion, not by command". Sebagian tantangan yang dihadapi Guterres mungkin dapat diatasi mengingat pengalamannya selama ini. Namun, mengenai hak veto, mungkin memang sudah ditakdirkan bahwa keberadaan P-5 adalah tak tergantikan.
Bagi Indonesia, tampilnya Guterres sebagai Sekjen PBB tak akan membawa dampak yang signifikan. Hampir sama seperti ketika Ban Ki-moon terpilih, Indonesia yang gigih mendukung calon Asia sebenarnya berharap banyak sekjen asal Korea Selatan ini akan memberi perhatian lebih pada Asia dan negara kita. Bagi kaum perempuan, gagalnya Irina Bokova menjadi pemimpin badan dunia ini pasti mengecewakan karena paling tidak harus menunggu lima tahun lagi; dengan catatan ketika itu akan muncul bukan hanya calon yang berbobot, melainkan didukung kelima anggota tetap DK PBB.
Paling tidak, Guterres mengaku banyak belajar diplomasi dari perempuan. Mudah-mudahan ia dapat menyatukan persepsi negara-negara anggota PBB.
DIAN WIRENGJURIT, DIPLOMAT UTAMA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar