Saya sudah lama mengamati kantor-kantor Samsat di beberapa kota di Sumatera dan Jawa. Suasananya sama. Wajah-wajah orang yang lelah setelah pontang-panting melengkapi surat ini dan itu, kemudian berlama-lama mengantre untuk membayar pajak kendaraan.
Saya mendengar dan mengetahui, banyak orang yang tidak membayar pajak kendaraannya. Padahal, negara sedang defisit dan membutuhkan dana untuk membangun negeri. Alasan masyarakat adalah mereka sangat direpotkan oleh berbagai dokumen. Padahal, maksudnya sederhana: taat dan ingin membayar pajak.
Saya sudah buktikan, kita bisa membayar pajak kendaraan dengan hanya menyebutkan nomor polisi kendaraan kita melalui telepon. Kebetulan saya punya teman orang dalam. Hal ini berarti, siapa pun bisa melakukan.
Kesimpulan saya, lembaga kepolisian yang membuat semua ini menjadi ruwet. Maksudnya memang baik. Ingin menjaring kendaraan hasil kejahatan atau kendaraan yang digunakan untuk tindak kejahatan, tetapi haruskah rakyat ikut bekerja keras mengungkap tindak kejahatan?
Bukankah waktu terbuang untuk bolak-balik minta keterangan ini dan itu? Apalagi jika nama pemilik atas nama orang lain. Atau ada salah satu dokumen yang hilang, semisal BPKB atau STNK. KTP harus asli pula. KTP adalah dokumen pribadi, bagaimana mungkin bisa dipinjamkan kepada orang lain meski keluarga atau anak sendiri. Bendanya kecil, gampang hilang.
Saran saya, pisahkan lembaga Kepolisian dengan Samsat. Kalau asuransi/SWDKLL (sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas), bolehlah tetap digabung sebab tidak menyusahkan masyarakat.
Tugas polisi sebaiknya menjaring kendaraan yang mati pajak saja. Jika tak lengkap surat-suratnya atau masyarakat tidak bisa menunjukkan dokumen asli, polisi tinggal menangkapnya. Jika tidak membayar pajak karena tidak mempunyai uang, suruh menghubungi Koperasi Bayangkara untuk mendapatkan pinjaman dengan bunga ringan.
Mungkin ada di antaranya memang hasil curian. Setiap orang yang kehilangan kendaraan, laporan utamanya adalah ke kantor "Samsat" (jika belum berganti nama). Nanti kantor Samsat tinggal memblokir dokumen kendaraan yang hilang. Jadi, jika ada yang membayar pajak kendaraan tersebut, polisi tinggal menangkapnya. Janganlah masyarakat yang ingin membayar pajak yang disusahkan.
PANDU SYAIFUL, PERUM CENDANA, BALAI RAJA, PEKANBARU, RIAU
DM, Bukan MD
Di harian Kompas (Jumat, 23/12/2016) halaman 21 ada berita berjudul "Sumsel Bangun Konveyor Sabuk". Istilah "konveyor sabuk" itu melanggar hukum DM, berarti juga melanggar ketentuan ISD (Badan Pembakuan Internasional) yang menetapkan bahwa istilah haruslinguistically proper, harus sesuai dengan kaidah tata bahasa.
Menurut hukum DM (diterangkan-menerangkan) dalam kata/istilah majemuk kata yang diterangkan (genus proximum) disebutkan dulu, lalu diikuti kata yang menerangkan (differentia specifica).
Konveyor sabuk adalah translasi-transkripsi dari istilah dalam bahasa Inggris conveyor belt. Padanan dalam bahasa Indonesia seharusnya "sabuk angkut".
Sabuk angkut (conveyor belt) atau pita berjalan (lopende band) ialah sabuk/pita berjalan yang dipakai untuk mengangkut atau menyampaikan barang, misalnya kopor/bagasi di bandara.
L WILARDJO, PENYUSUN KAMUS-KAMUS ISTILAH FISIKA; TINGGAL DI SALATIGA
Tarif Listrik
Kompas (Rabu, 21/11/2016) memuat daftar kenaikan tarif listrik untuk semua golongan pelanggan. Mengherankan, tarif rumah tangga golongan 900 VA di- samakan dengan golongan 1.300 VA ke atas mulai Mei 2017.
Kami memilih berlangganan 900 VA tentu dengan pertimbangan penghasilan dan upaya menghemat listrik. Sebaiknya PLN mengenal pelanggan seperti perbankan mengenal nasabahnya. Sebagian pelanggan 900 VA adalah pensiunan atau berpenghasilan pas-pasan. Mohon kepada YLKI agar mendampingi pendataan pelanggan di lapangan.
Presiden pernah mengatakan, makelar membuat harga listrik mahal. Bagaimana ini PLN?
ZULHAM, JL PALA BARAT, MEJASEM BARAT, TEGAL
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar