DPR secara resmi menyampaikan keberatan kepada pemerintah. Keputusan keberatan diambil dalam rapat Badan Musyawarah yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, dihadiri dua Wakil DPR lainnya, Fadli Zon dan Taufik Kurniawan. Apakah sikap resmi DPR tersebut tepat secara hukum, khususnya secara undang-undang?
Pengaturan keberatan
Perihal pencegahan diatur dalam UU No 6/2011 tentang Keimigrasian. Dalam Pasal 1 angka 28 pada pokoknya menyebutkan, pencegahan adalah larangan sementara yang dikenakan kepada seseorang keluar dari Indonesia karena alasan keimigrasian. Salah satu alasan keimigrasian dicantumkan dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf b. Orang ditolak keluar dari Indonesia sebab diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang.
Apakah KPK masuk kategori sebagai institusi yang pejabatnya berwenang memohon pencegahan? Pasal 12 Ayat (1) huruf b UU No 30/2002 menuliskan, "KPK berwenang memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri." Jika dicermati, kata yang digunakan dalam UU itu adalah "memerintahkan", bukan "memohon". Artinya, pencegahan KPK bersifat imperatif: wajib dilaksanakan oleh lembaga keimigrasian, tidak boleh ada penolakan. Pada bagian ini, tak ada perdebatan lagi apakah KPK berwenang atau tidak melayangkan perintah pencegahan seseorang ke luar negeri.
Berikutnya, apakah orang yang dicegah dapat mengajukan keberatan? Pasal 96 Ayat (1) UU Keimigrasian mengaturnya: "Setiap orang yang dikenai pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan pencegahan". Hemat penulis, tafsir ketentuan ini ada dua. Pertama, orang yang dicegah secara sendiri dapat mengajukan keberatan pencegahan. Kedua, keberatan pencegahan bisa diajukan oleh orang yang diberi kuasa khusus oleh orang yang dicegah.
Selanjutnya, Pasal 96 Ayat (3) UU Keimigrasian mengemukakan, pengajuan keberatan tidak menunda pelaksanaan pencegahan. Dengan pengertian gramatikal, pasal itu bermakna meski si tercegah mengajukan keberatan, pencegahan tetap berlaku.
Pendek kata, Pasal 96 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Keimigrasian mengeksplanasi dua hal. Pertama, hanya orang yang dicegah atau yang diberi kuasa khusus saja yang dapat mengajukan keberatan pencegahan. Kedua, pengajuan keberatan tidak menghentikan pencegahan.
Kekeliruan DPR
Sesuai UU Keimigrasian, jika terdapat keberatan terhadap pencegahan, seharusnya Setya atau orang yang diberi kuasa khusus oleh Setya-lah yang mengajukan keberatan pencegahan. Akan tetapi, fakta yang tersedia sementara adalah DPR menerbitkan sikap resmi dan mengajukan keberatan ke pemerintah atas pencekalan Setya.
Sikap resmi DPR itu, setidaknya, melahirkan dua poin yang perlu diteliti. Pertama, apakah Setya memberikan kuasa khusus ke persona yang menandatangani pengajuan keberatan sebelum diajukannya keberatan? Pertanyaan ini dapat diganti dengan, misalnya, apakah Setya memberikan kuasa khusus kepada Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Taufik Kurniawan untuk mengajukan keberatan atas pencegahannya sebelum diajukannya keberatan?
Andaikan tidak ada kuasa khusus yang diserahkan oleh Setya, keberatan yang diajukan saat ini tidak memenuhi kualifikasi Pasal 96 Ayat (1) UU Keimigrasian. Dengan demikian, pejabat yang menandatangani pencegahan Setya, secara hukum, dapat mengabaikan keberatan pencegahan.
Kedua, apakah DPR dapat mengajukan keberatan atas pencegahan Setya? Mengenai perihal ini, ada satu penjelasan dan satu pertanyaan sebagai bahan uji. KPK memerintahkan pencegahan terhadap Setya atas kedudukannya sebagai saksi dalam dugaan kasus korupsi pengadaan KTP-elektronik, bukan sebagai ketua DPR. Ini artinya bahwa pencegahan terhadap Setya tidak ada sangkut pautnya dengan DPR. Penjelasan ini harus digarisbawahi dengan sangat tebal.
Selanjutnya, apakah DPR memiliki kewenangan mengajukan keberatan pencegahan? Untuk membedahnya, digunakan ketentuan yang tercantum dalam UU No 42/2014 tentang Perubahan atas UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam Pasal 98 Ayat (3) huruf d ditegaskan, "Tugas komisi di bidang pengawasan meliputi melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah". Demi menjalankan tugas pengawasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 98 Ayat (4) huruf a dan huruf c, komisi di DPR dapat mengadakan rapat kerja dan/atau rapat dengar pendapat.
Katakanlah DPR, yang diwakili oleh Komisi Pengawasan, menggunakan alasan pengawasan untuk mengajukan keberatan pencegahan Setya bakal tampak kekeliruan yang nyata. Sesuai UU, prosedur yang harus dilewati DPR adalah melakukan rapat kerja dan/atau rapat dengar pendapat dengan pemerintah terlebih dahulu mengenai pencegahan Setya, bukan langsung mengajukan keberatan. Pengajuan keberatan ini pun dalam status Setya sebagai warga negara yang mungkin dirugikan oleh keputusan pemerintah (lembaga keimigrasian) berupa pencegahan, bukan dalam posisinya sebagai ketua DPR.
Meski demikian, norma Pasal 98 Ayat (3) dan Ayat (4) UU No 42/2014 dapat disimpangi oleh Pasal 96 Ayat (1) UU No 6/2011 dengan asas lex specialis derogat legi generali.Hukum yang khusus menolak hukum yang umum. Keberatan pencegahan Setya oleh DPR lemah secara UU (hukum). Kalau posisi keberatan itu lemah, lalu apa motif DPR mengajukan keberatan? Atau, pertanyaan lebih spesifik, apa motif politik para inisiator pengaju keberatan pencegahan Setya itu? Biarlah waktu yang menjawabnya.
HIFDZIL ALIM
Pengamat Hukum dan Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Keberatan Pencegahan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar