Olahraga memaknai moralitas dengan sportivitas (sikap adil/obyektif dan jujur). Dalam kompetisi sepak bola Liga Champions, Bayern Muenchen menerima kekalahan dengan kepala tegak ketika disingkirkan Real Madrid dengan agregat 3-6. Kedua tim sama-sama bermain bagus.
Kalah dan menang hanya akibat. Pihak yang kalah dan yang menang sama-sama terhormat! Yang membedakan, hanyalah keberuntungan. Nasib!
Kehormatan dan martabat
Dalam kontestasi apa pun, seyogianya orang harus siap menang dan siap kalah. Namun, hal itu tidak gampang dijalani bagi pihak yang kalah. Kekalahan sering menjelma menjadi kekuatan mengerikan yang dapat melemparkan siapa pun ke dalam ruang hampa.
Dunia terasa gelap. Habis. Kiamat. Kesabaran datang menjadi percik cahaya. Agama bilang, orang harus bersikap tawakal ketika sudah berusaha dan berjuang tetapi tetap gagal mendapatkan hasil terbaik. Biarlah Tuhan yang menilai.
Di sini, keimanan bicara. Religiusitas (penghayatan keimanan) memang selalu ada di dalam setiap kontestasi. Kekalahan tak lagi disikapi dengan kecengengan atau amarah. Itulah moralitas yang bersumber dari keyakinan agama.
Hidup kita selalu disertai moral sehingga kita bisa membedakan baik-buruk, benar-salah, mulia-hina, pantas-tidak pantas, dan layak-tidak layak. Moral merupakan sistem pengetahuan dan sistem ajaran kebajikan yang menjadi rujukan bagi cara berpikir dan perilaku manusia yang mengindahkan keadaban. Sumber moralitas, antara lain agama, ideologi/filsafat, dan kearifan lokal (local wisdom).
Menang tanpa ngasorake (mencapai kemenangan tanpa merendahkan budi pekerti, baik diri sendiri maupun orang lain), adalah salah satu kearifan lokal budaya Jawa. Ia mengajari kita tentang pentingnya kehormatan dan martabat di dalam meraih kemenangan. Kemenangan memang penting, tetapi jauh lebih penting adalah cara meraihnya. Proses selalu menjadi pertimbangan utama untuk mencapai hasil.
Tidak ada artinya jika kemenangan diraih dengan cara hina dan nista: melabrak etika, norma, dan hukum (aturan). Jika keburukan itu dilakukan, kemenangan itu dicapai dengan ngasorake diri sendiri sekaligus ngasorakeliyan (kompetitor atau publik) karena liyan telah diakali atau dicurangi. Kemenangan yang diraih hanyalah kemenangan formal bukan kemenangan substansial yang oleh budaya Jawa disebut menang sak gebyaran (kemenangan semu).
Kemenangan menjadi pencapaian berkualitas, indah, dan otentik justru ketika kita berada pada jalur dan rambu regulasi, yakni perangkat keras dari etika, moral, dan norma. Asyik dan indahnya kontestasi justru karena ada peraturan dan risiko hukuman, bukan malah menghancurkan aturan. Karena tanpa aturan, kontestasi berubah jadi perebutan kemenangan secara liar dan tak beradab, bahkan layak juga disebut "penjarahan".
Bayangkan betapa brutalnya pertandingan sepak bola jika tanpa wasit. Lapangan sepak bola pasti berubah jadi arena bar-barian, di mana masing-masing pendukung tim turut bermain. Adu kekuatan otot. Chaos! Yang menang bukan juara sejati, tetapi komunitas ganas yang mengandalkan okol, bukan akal.
Menang tanpa ngasorake merupakan cerminan watak ksatria. Ia menaruh kehormatan dan martabat di atas kekuasaan dan pencapaian material-imaterial melalui kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab moral. Seorang striker bisa saja menceploskan bola ke gawang yang sudah melompong. Namun, ia justru membuang bola keluar ketika melihat ada pemain lawan yang terkapar kesakitan.
Jadilah sang kesatria
Itulah sikap kesatria. Namun, bagi orang yang berideologi menang, pasti akan mengutuk sang striker. Namun, bagi yang menghormati sportivitas, pasti mengapresiasi tindakan sang striker yang bermoral dan sportif itu. Itulah sebabnya, para legenda sepak bola di dunia biasanya memiliki jiwa sportif yang tinggi.
Mungkin orang lebih mengagumi Pele (Edison Arantes do Nascimento) daripada Maradona yang penah menciptakan gol dengan "tangan Tuhan". Maradona memang memberikan kemenangan bagi Argentina yang menyingkirkan Inggris di perempat final Piala Dunia 1986. Akan tetapi, kemenangan itu tidak bersih karena dicapai dengan ngasorake dirinya, lawan, pengadil, dan publik sepak bola. Kecurangan Maradona dikenang publik dunia secara abadi. Maradona jadi legenda cacat sepak bola.
Manusia adalah makhluk kemungkinan. Ia bebas memilih. Menang secara elegan (jujur, adil, terhormat) atau menang secara tidak terhormat. Menang secara elegan berarti menempuh proses secara wajar dan baik sesuai regulasi, etika, norma, dan moralitas.
Kemenangan otentik itu menjadi wahana yang membawa sang pemenang pada kualitas mental dan moral yang turunannya adalah nama baik, prestasi dan reputasi. Adapun menang secara tidak terhormat tak ubahnya menggenggam hasil semu yang dikutuk waktu dan suatu ketika bakal longsor ketika kekuasaan yang menopangnya ambrol oleh akal sehat dan kebenaran sejati. Menang tanpa ngasorake, memang sulit dan pahit, tetapi dia bernilai dan abadi.
INDRA TRANGGONO
PEMERHATI KEBUDAYAAN DAN SASTRAWAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Menang Tanpa "Ngasorake"".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar