Akibatnya, 77 korban di pihak Rohingya dan 12 aparat Pemerintah Myanmar. Serangan ini memicu militer Myanmar melakukan operasi pembersihan terhadap militan Rohingya yang akhir- akhir ini jumlahnya bertambah.
Kekerasan antara militan ARSA dan militer Myanmar ini berakibat lebih dari 110 orang meregang nyawa, baik dari pihak aparat pemerintah, militan Rohingya, maupun masyarakat sipil dari berbagai etnis di Rakhine. Konflik penuh kekerasan itu hanya memuncaki kekerasan-kekerasan sebelumnya yang sudah berlangsung sejak Juni 2012.
Tak ayal, gelombang pengungsi etnis Rohingya mendesak masuk ke Banglades, negara tetangga yang sudah menampung lebih dari 400.000 pengungsi Rohingya akibat konflik sebelumnya. Di Rakhine mereka dikejar militer Myanmar, lari ke perbatasan Banglades ditolak masuk.
Protes dan pernyataan keprihatinan pun merebak. Tak sebatas mengecam, seruan pemutusan hubungan diplomatik, pengusiran, dan penarikan duta besar masing-masing serta pengenaan sanksi embargo ekonomi pun dikumandangkan. Di tataran publik, media sosial pun meramaikan wacana konflik Rohingya ini dengan beragam pandangan yang kebenarannya sulit diverifikasi.
Tiga karakter diplomasi
Di tengah berbagai pernyataan dan kecaman tadi, bagaimana meletakkan ingar-bingar isu Rohingya dalam perspektif diplomasi dan hubungan luar negeri? Dalam bingkai itu, bagaimana diplomasi Indonesia membantu meringankan nestapa Rohingya?
Diplomasi dalam tataran teoretik dan praksis membawa tiga karakter utama: dialog, kompromi, dan antikekerasan. Ketiganya berkelindan dalam penerapan di lapangan. Karakter ini juga harus diperhatikan Indonesia jika berniat membantu Rohingya.
Pertama, dialog. Dalam penyelesaian konflik, dialog adalah inti dari segala perilaku diplomasi. Untuk berdialog, kedua pihak harus menghormati status masing- masing. Ketika ingin membantu Rohingya (yang secara de facto adalah "rakyat" Myanmar), Indonesia mesti menghargai status Myanmar sebagai negara berdaulat dan pemerintahnya sah secara konstitusional. Dengan pemahaman seperti inilah Indonesia lebih mementingkan menemui langsung pemimpin Myanmar daripada membuat pernyataan secara terbuka di media massa.
Atas instruksi Presiden Jokowi, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menemui pemimpin de facto atau Menlu Aung San Suu Kyi dan pemimpin Myanmar lainnya. Pendekatan langsung kepada pemimpin berpengaruh seperti ini, dibarengi dengan melihat langsung fakta di lapangan, dipercaya mampu menumbuhkan pemahaman masalah secara obyektif dan komprehensif.
Bandingkan jika diplomasi dilakukan dengan ancaman dan tekanan melalui pidato di depan massa dan diliput media secara luas. Harap diingat, Myanmar baru membuka diri pada 2010. Dengan demokrasi yang sangat muda, psikologi bangsa Myanmar masih sangat sensitif terhadap campur tangan asing. Diplomasi koar-koar justru akan memantik antipati, alih-alih menuai simpati.
Kedua, kompromi. Dalam diplomasi nyaris tak pernah terjadi keinginan satu pihak terpenuhi dengan mengorbankan sama sekali kepentingan pihak lain. Terkait isu Rohingya, ada dua kutub kepentingan: Pemerintah Myanmar ingin etnis Rohingya keluar dari Rakhine, sedangkan masyarakat internasional mendesak agar Rohingya tetap tinggal di Rakhine berikut hak-haknya sebagai warga negara. Di lapangan, justru benturan dua kepentingan ini yang menimbulkan kekerasan. Bagaimana bisa berdialog jika kekerasan masih terjadi? Untuk berdialog dibutuhkan suasana kondusif, minimal kedua pihak harus kompromi: menahan diri untuk memulihkan keamanan. Dari situ baru bisa duduk semeja untuk mencari solusi politik.
Ketiga, antikekerasan. Diplomasi bisa efektif jika diterapkan tidak dengan kekerasan fisik. Bagaimana bisa duduk semeja mencari solusi jika kedua pihak masih saling menghabisi? Dalam tataran praktis pun sulit menyalurkan bantuan kemanusiaan jika pihak bertikai masih terlibat kekerasan senjata. Penghentian kekerasan adalah prekondisi untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan.
Adab diplomasi Indonesia
Ketika bertemu dengan Suu Kyi, Retno menyampaikan usulan Formula 4+1, yang berisi seruan untuk: (1) memulihkan keamanan; (2) menghentikan kekerasan; (3) perlindungan untuk seluruh warga tanpa memandang suku dan agama; (4) akses bantuan kemanusiaan, dan plus implementasi Laporan Komisi PBB untuk Rakhine.
Jika ditilik secara saksama, butir 1, 2, dan 3 dalam Formula 4+1 mengandung karakter utama diplomasi: kompromi. Dalam diplomasi, dialog, kompromi, dan antikekerasan bukan hanya karakter atau cara, melainkan sudah jadi "adab" dari diplomasi itu sendiri. Adab diplomasi adalah kesantunan dan rasa hormat.
Mengancam dan menekan secara terbuka jauh dari adab diplomasi. Itu bukan diplomasi Indonesia. Alih-alih, Indonesia lebih mengedepankan diplomasi yang santun dalam bereaksi tetapi tegas dan cerdas dalam substansi. Berkat adab diplomasi seperti ini, Menlu Retno diterima Suu Kyi dan petinggi Myanmar lainnya. Dunia mencatat, Retno adalah pejabat asing pertama yang diterima dengan baik oleh Myanmar sejak kekerasan merebak Agustus lalu.
Muncul pertanyaan: mengapa justru Indonesia yang diterima? Selain karena gaya diplomasi Indonesia yang santun, tegas, dan cerdas, ada dua hal lain yang membuat Myanmar percaya kepada Indonesia. Pertama, Indonesia dikenal sebagai negara Muslim terbesar di dunia yang moderat. Kedua, moderasi politik dalam sosiokultural menjadikan Indonesia sebagai negara yang menghargai pluralisme, menghargai kemajemukan. Myanmar yang juga multietnis dan multiagama melihat Indonesia sebagai model bagaimana keberagaman harus dikelola dalam bingkai negara kesatuan. Kini jalan diplomasi telah terbuka untuk mengurangi nestapa Rohingya.
DARMANSJAH DJUMALA
Diplomat Bertugas di Vienna, Austria, dan Dosen S-3 Hubungan Internasional FISIP Unpad
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Diplomasi untuk Rohingya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar