Salah satu penyumbang pemikiran bagi kemajuan pembangunan pertanian adalah Bustanul Arifin, Guru Besar Unila dan Ekonom Senior Indef. Ia juga menjadi Ketua Forum Masyarakat Statistik (FMS).
Namun, dalam opini yang dimuat diKompas Prof Bustanul Arifin judul "Membenahi Ekonomi Perberasan", Selasa (12/9), perlu ada alternatif pemikiran agar informasi lebih berimbang.
Produksi beras
Menyitir hasil kajian tahun 2014, Bustanul mengatakan, subsidi pupuk sudah tidak efektif lagi meningkatkan produksi. Di banyak tempat penggunaan pupuk berlebih dan kelangkaannya merisaukan. Hasil kajian 2014 tentu sudah tidak relevan lagi menggambarkan kondisi sekarang.
Untuk diketahui, besarnya subsidi pupuk relatif konstan dari tahun ke tahun dan hasilnya telah berkontribusi pada produksi. Volume pupuk bersubsidi rerata 9,55 juta ton per tahun itu dimaksudkan untuk meringankan beban biaya petani dan sekaligus untuk transfer teknologi. Dengan demikian, petani mampu menggunakan pupuk secara tepat dan berimbang. Menurut hasil kajian Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, apabila subsidi pupuk dikurangi akan menaikkan harga pupuk dan menurunkan produktivitas padi.
Berdasarkan evaluasi penyaluran pupuk, masukan BPK dan berbagai pihak, Kementan sejak 2015 hingga sekarang aktif mengembangkan elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok. Selanjutnya Kementerian BUMN bersama pemda dan perbankan BUMN mengembangkan kartu tani. Saat ini sudah ada 3,5 juta penerima kartu tani. Targetnya, tahun 2018 diterapkan secara penuh di Pulau Jawa dan selanjutnya di seluruh Indonesia.
Sejak 2016 relatif tidak ada keluhan petani mengenai pupuk. Pengendalian dilakukan ketat, termasuk pengawalan TNI dan Satgas Pangan. Lebih dari 40 kasus pengoplos dan mafia pupuk telah diproses hukum.
Selanjutnya, sejumlah kebijakan dan program Upsus sejak 2015, seperti membangun infrastruktur irigasi, mekanisasi, bantuan dan subsidi benih, pupuk, serta asuransi, telah meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani. Produksi padi 2016 mencapai 79,2 juta ton atau naik 4,96 persen dibandingkan tahun 2015. Produksi padi dua tahun terakhir naik 8,4 juta ton setara Rp 38,5 triliun. Demikian juga produksi jagung meningkat.
Terdapat peningkatan produksi pada 24 komoditas pertanian selama dua tahun terakhir, dengan nilai tambah Rp 171 triliun. Kinerja produksi pangan menjadi domain Kementerian Pertanian. Apabila meragukan angka produksi, sesungguhnya angka itu terkonfirmasi pada angka PDB pertanian yang tiap tahun tumbuh dan meningkat.
Data impor pangan yang ditulis Prof Bustanul juga perlu diperbaiki. Pada 2016 dan 2017 Indonesia tidak impor beras medium.. Sejak tahun 2016 pemerintah tidak mengeluarkan izin impor beras medium. Apabila tidak percaya, silakan dicek sendiri ke Kementerian Perdagangan. Impor beras medium pada awal tahun 2016 itu merupakan luncuran dari kontrak impor beras Bulog tahun 2015.
Sesuai data BPS, impor beras Januari-Juli 2017 sebesar 188,6 ribu ton, tetapi itu bukan beras medium, melainkan beras pecah 100 persen menir sebesar 185.000 ton dan sisanya berupa benih dan beras khusus yang tidak diproduksi di dalam negeri. Dalam hal perdagangan luar negeri, ekspor-impor adalah hal yang wajar apabila produknya tak diproduksi di dalam negeri.
Jadi, sejak 2016 hingga sekarang, Indonesia tidak impor beras sehingga faktanya sudah swasembada beras. Kenyataannya, kondisi luas tanam Oktober 2016 hingga Juli 2017 surplus 728.000 ton dus luas panen dan produksi 2017 lebih tinggi dibandingkan 2016 sehingga pasokan beras lebih besar serta kebijakan HET dan keberadaan Satgas Pangan bisa menjadi garansi harga beras akan stabil sehingga Indonesia tidak akan impor beras medium.
Kesejahteraan petani
Program Upsus yang berhasil meningkatkan produksi pangan dan diikuti dengan pengendalian impor akan berdampak pada kesejahteraan petani.
Pada era pemerintahan Jokowi-Kalla ini sejak 2016 juga tidak impor cabai segar dan bawang merah, dan pada 2017 tidak ada impor jagung pakan ternak. Bahkan pada 2017 Indonesia ekspor bawang merah ke Thailand, Singapura, dan lainnya.
Terkait dengan kebijakan harga eceran tertinggi (HET), saat ini sudah terbit Peraturan Menteri Perdagangan No 57/2017 yang mengatur penetapan HET Beras serta Peraturan Menteri Pertanian No 31/2017 yang mengatur kelas mutu beras. Peraturan menteri tersebut berlaku mulai 1 September 2017 dan kini sedang intensif sosialisasi.
Kebijakan HET merupakan langkah berani dan bukti kehadiran pemerintah yang sudah bertahun-tahun ditunggu publik. Dampaknya, konsumen akan memperoleh beras dengan harga wajar. Dapat dipastikan, harga beras stabil dan tidak menekan harga petani karena petani sudah dilindungi dengan harga pembelian pemerintah (HPP).
Terkait dengan kesejahteraan petani, terdapat kelebihan dan kelemahan dari beberapa metode mengukur kesejahteraan petani. Indikator NTP, NTUP, dan upah buruh petani lebih tepat untuk mengukur kemampuan daya beli petani. Mengingat sebagian besar petani tinggal di perdesaan, maka analisis kesejahteraan petani sebaiknya didekati dengan indikator kemiskinan di pedesaan.
Indikator kemiskinan di perdesaan lebih praktis karena tersedia di BPS. Data BPS menunjukkan angka kemiskinan di perdesaan turun 842.000 orang atau -4,7 persen. Semula penduduk miskin di perdesaan Maret 2015 ada 17,94 juta jiwa, Maret 2017 turun jadi 17,10 juta jiwa.
Kecermatan dan akurasi data perberasan sangat penting agar tak meresahkan publik, sekaligus lebih konstruktif untuk kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.
DR ANNA ASTRID SUSANTI
Kepala Bidang Data Komoditas, Pusdatin, Kementan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Membahas Perberasan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar