Dalam minggu yang sama, generasi emas seperti yang diangankan dalam perpres harus berhadapan dengan praktik pembelajaran di tingkat satuan pendidikan. Kita membaca, satu orangtua siswa melaporkan adanya tindak kekerasan di lingkungan SMA Taruna Nusantara ke polisi, Senin (4/9). Kekerasan itu diduga dilakukan enam pelaku di asrama siswa, Kamis (31/8/2017). Dalam minggu yang sama, lima siswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) diturunkan pangkatnya akibat terlibat dalam kekerasan terhadap siswa lainnya (31/8/2017).
Sebelumnya, kasus-kasus sejenis di lingkungan pendidikan telah memakan korban. Ketika sampai hari ini kasus-kasus kekerasan membayangi praktik pendidikan ini, bagaimana masa depan perpres tentang pendidikan karakter itu? Tepatnya, lebih pada pertanyaan praktis, bagaimana efektivitas kebijakan itu?
Perpres No 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) mengingatkan kembali pada filsafat pendidikan yang diletakkan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai garis biru politik pendidikan Indonesia. Kita baru tahu dari bukuPendidikan (1962), Ki Hajar secara jelas merumuskan pendidikan harus dilihat sebagai "daja-upaja untuk memadjukan bertumbuhnja budi pekerti" (1962: 44).
Setengah abad kemudian, rumusan filosofis itu diterjemahkan dalam perpres melalui istilah penguatan pendidikan karakter. Proyek ini konon dapat dipraktikkan di sekolah, di pendidikan luar sekolah, dan di dalam keluarga. Secara khusus, dalam Pasal 5, pendidikan karakter mendasarkan diri pada prinsip, yakni pengembangan potensi peserta didik, keteladanan pendidik, dan pembiasaan. Persoalannya, tiga prinsip itu pula telah membawa tiga masalah secara mendasar.
Pertama, masalah dalam pengembangan potensi peserta didik selama ini berdasarkan kurikulum yang bersifat empiris-pragmatis. Maksudnya, perpres tersebut tidak mampu menembus mekanisme Kurikulum 2013 yang telah dibangun hampir lima tahun terakhir. Sebagaimana terbaca dalam perpres, untuk penguatan pendidikan karakter, perlu dilakukan dua hal, yakni penguasaan materi pembelajaran dan metode pembelajaran.
Di satu sisi, materi sebetulnya tidak pernah berorientasi pada penguatan karakter. Sebab, berbicara materi pembelajaran, secara ideal memang terdiri dari empat pencapaian, yakni sikap spiritual, sosial, kognitif, dan psikomotorik. Dalam praktiknya, pembelajaran fokus pada kemampuan mengembangkan kognitif peserta didik untuk menjawab soal-soal ujian nasional. Kemampuan lain tidak perlu diurus karena perilaku individu tidak masuk dalam jadwal ujian.
Di sisi lain, metode pembelajaran tidak menampung upaya reflektif tentang penguatan karakter. Sebab, pemerintah telah mengenalkan metode saintifik sebagai epistemologi utama dalam pembelajaran sejak Kurikulum 2013 hingga Kurikulum Nasional. Metode itu dimulai dari pengamatan, pertanyaan, uji coba, mengolah, dan berakhir dengan diskusi.
Mengacu pada Permendikbud No 24/2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar sebagai revisi atas permendikbud sebelumnya yang dikenal dengan Kurikulum 2013, metode tersebut menutup kemungkinan pengembangan metode-metode lain yang relevan dengan ilmu humaniora. Misalnya metode refleksi, introspeksi, dan pencarian nilai-nilai esensial. Itu berarti, metode pembelajaran yang digunakan dalam Permendikbud No 24/2016 tidak mampu mengakomodasi penguatan karakter sebagaimana dimaksud dalam Perpres No 87/2017.
Guru minus sikap
Kedua, dalam prinsip keteladanan pendidik, proyek penguatan karakter ini menjadikan guru sebagai ujung tombak keberhasilan. Alih-alih pembenahan karakter peserta didik, langkah utama adalah membenahi perilaku guru. Diakui atau tidak, praktik pembinaan tenaga pendidik dan kependidikan selama satu dasawarsa terakhir tidak berhasil menjangkau kompetensi sosial dan spiritual guru. Hal itu terbukti dalam soal yang telah disusun oleh pemerintah dalam uji kompetensi guru (UKG).
Soal ujian itu hanya mengacu dua hal, yakni kompetensi pedagogi dan kompetensi profesional. Apabila merujuk UU No 14/2015 tentang Guru dan Dosen, jelaslah bahwa kompetensi sosial dan kepribadian telah luput dalam uji kompetensi guru.. Dengan kata lain, prinsip penguatan sebagaimana dimaksud dalam Permendikbud No 24/2016 itu tidak dapat dukungan memadai dalam praktik pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan.
Ketiga, dalam prinsip pembiasaan, pembakuan nilai-nilai yang dianggap sebagai karakter Pancasila cenderung jadi bagian dari praktik indoktrinasi. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 3, ada 18 sifat yang diidentifikasi sebagai nilai-nilai Pancasila, yakni religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.
Pada sisi lain, nilai-nilai yang jelas eksplisit dari Pancasila tidak menjadi orientasi pengembangan, seperti persatuan, keadilan, dan kemanusiaan. Karena itu, pembelajaran karakter semestinya tidak perlu menutup diri pada rumusan baku, tetapi memerlukan penafsiran yang terbuka, segar, dan aktual.
Ketika nilai-nilai karakter dibakukan, pemerintah seperti lepas tanggung jawab terhadap produksi tafsir lain bagi pengembangan nilai-nilai kebangsaan pada masa depan. Argumentasi "pokoknya 18 nilai" yang diperkenalkan pada tiap satuan pendidikan membawa pada situasi pendidikan totaliter. Jadi, tidak sulit mengatakan bahwa sistem perundang-undangan yang memimpikan pendidikan berkarakter sekarang ini akhirnya memang belum memiliki daya dukung strategis dalam praktik pembelajaran ke depan.
SAIFUR ROHMAN
PENGAJAR FILSAFAT DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Pendidikan Minus Karakter".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar