Penangkapan tokoh oposisi, Kem Sokha, dan penutupan surat kabar independen,Cambodia Daily, mempertegas pertanyaan yang mengawali ulasan singkat ini. Tentu penangkapan tokoh oposisi dan penutupan surat kabar tersebut tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik penguasa menjelang pemilu yang akan dilaksanakan pada 2018.
Kamboja memang unik. Kita katakan unik karena meski Kamboja secara resmi adalah negara monarki konstitusional yang dipimpin Raja Norodom Sihamoni, yang sesungguhnya berkuasa selama ini adalah perdana menteri. Jabatan perdana menteri sejak 1985 dipegang oleh Hun Sen. Sejak saat itu, kekuasaan tidak pernah terlepas dari tangan Hun Sen. Sekalipun beberapa kali pemilu digelar, tetap Partai Rakyat Kamboja pimpinan Hun Sen yang memenangi pemilu.
Praktis sejak berkuasa pada 1985, tidak ada lawan politik yang mampu menandingi Hun Sen. Partai oposisi yang ada, semisal Partai Sam Rainsy (SRP) dan Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), juga tidak bisa banyak bersuara karena tekanan keras, intimidasi, dan tindakan-tindakan lain dari penguasa.
Karena itu, Direktur Human Rights Watch's Asia Division Brad Adams berpendapat bahwa "Tidak ada demokrasi di Kamboja". Kamboja de facto adalah negara satu partai, yakni Partai Rakyat Kamboja pimpinan Hun Sen. Suara-suara yang bernada mengkritik pemerintah pun diredam, diintimidasi, dan diserang.
Bahkan, dalam pidato pada 25 Mei lalu, Hun Sen menuduh partai oposisi merencanakan untuk melakukan revolusi yang disebutnya color revolution dengan tujuan menggusur pemerintah. Hun Sen mengatakan bahwa tentara siap untuk menghadapinya.
Tuduhan Hun Sen—oposisi akan melancarkan color revolution—dinilai banyak kalangan sebagai sebuah taktik, sebuah cara untuk meneror oposisi dan meredam mereka, menjelang pemilu nasional tahun 2018.
Upaya untuk menguasai panggung kekuasaan di Kamboja juga dilakukan pemerintahan Hun Sen dengan mengamendemen undang-undang politik. Amendemen undang-undang politik tersebut dilakukan pada Maret 2017. Dengan undang-undang baru itu, Kementerian Dalam Negeri dan Mahkamah Agung—keduanya dikontrol oleh partai yang berkuasa, yakni Partai Rakyat Kamboja pimpinan Hun Sen—dapat dengan mudah membubarkan partai politik yang dianggap mengancam "persatuan nasional".
Karena itu, jangan terlalu berharap ada demokrasi di Kamboja sampai saat ini. Dan, inilah keunikan ASEAN.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Matinya Demokrasi di Kamboja".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar