Gencarnya "Promosi Kementerian Pariwisata Genjot Wisata" (Kompas, 26/8) menjadi angin segar dalam menggairahkan pariwisata di Indonesia. Namun, gencarnya promosi itu sangat bertolak belakang dengan nasib Taman Wisata Alam di Riung, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, yang hingga kini terus merana.
Kini taman wisata alam itu hanya menjadi ajang rebutan wewenang dalam pengelolaannya antara Pemerintah Kabupaten Ngada dan BKSDA. Hingga kini, BKSDA terkesan lebih berwenang sehingga kondisi obyek-obyek wisata alam tersebut seakan-akan tak bertuan dan telantar. Padahal, deretan obyek wisata alam lautnya yang tenang dan bening, pulau kelelawar, komodo langsing, dan gugusan pulau-17 telah mendapat pujian dari turis yang pernah berkunjung ke sana.
Usaha Pemkab Ngada membangun infrastruktur dan mempromosikan obyek wisata di Riung selalu mendapat hambatan dari BKSDA. Masalah ini menjadi pertanyaan kami warga Kabupaten Ngada.
Kalau daerah-daerah lain di Indonesia gencar mempromosikan dan memasarkan destinasi wisata daerahnya, lalu mengapa obyek wisata alam di Riung hanya menjadi korban birokrasi yang kaku.
Untuk mengatasi masalah ini, kiranya Kementerian Pariwisata segera turun tangan bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Pemkab Ngada mencari solusi mencapai kesepakatan.
Semoga kemelut Taman Wisata Alam Riung nan permai segera terselesaikan.
JOSEPH WILLYNO
Jalan Taman Malaka Barat, Jakarta Timur
Klarifikasi Karikatur Koming
Berkenaan dengan pemuatan gambar karikatur di halaman 14 Kompas edisi Minggu, 10 September 2017, Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan hal berikut.
Beberapa hari ini, sejumlah media massa ramai memberitakan keluhan seorang penulis buku terhadap perlakuan pajak yang dialaminya. Kami paham dan turut mengapresiasi Redaksi Kompas yang berniat menyuarakan hal yang sama, salah satunya dalam bentuk gambar karikatur. Namun, sayangnya, redaksi kurang jeli mendapatkan informasi bahwa sebelum kasus tersebut tersiar di media massa, kami telah merilis klarifikasi mengenai Pajak Penghasilan terhadap profesi penulis di laman situs www.pajak.go.id pada 6 September 2017.
Dalam klarifikasi itu, kami menyatakan bahwa pajak diterapkan dengan menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan. Asas tersebut bagi profesi penulis tecermin dari diakuinya pembebanan biaya sebagai pengurang penghasilan bruto sebesar 50 persen dari royalti yang diterima dari penerbit. Dalam hal ini telah terdapat perlakuan pajak yang sama antara penulis buku dan kelompok profesi lainnya: wajib pajak dengan penghasilan bruto kurang dari Rp 4,8 miliar setahun dapat memilih untuk menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN).
Pada hemat kami, penggambaran redaksi berupa tali yang menjerat leher orang (penulis?) terlalu mengada-ada dan menimbulkan misleading seolah-olah pengenaan pajak untuk profesi penulis sangat memberatkan sehingga dapat menyurutkan minat orang terhadap profesi penulis. Padahal, pada kenyataannya pengenaan Pajak Penghasilan untuk profesi penulis sama dengan kelompok profesi lain.
Kami menghargai dan terbuka terhadap setiap masukan untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem perpajakan Indonesia.
HESTU YOGA SAKSAMA
DIREKTUR DIRJEN PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN RI
Harga Obat Jauh di Atas HET
Tiap bulan saya mendapatkan obat Bisofol Fumarate 2,5 mg. Saat ini, karena suatu hal, saya tidak bisa mengambil obat tersebut di rumah sakit di Malang. Terpaksa saya membelinya di apotek. HET per 10 butir obat itu Rp 6.500. Namun, di apotek saya harus membeli dengan harga antara Rp 65.000 dan Rp 75.000.
Mohon tanggapan BPOM atau instansi terkait
MOCH SALIM
Jalan Danau Towuti, Kedungkandang, Malang, Jawa Timur
Catatan Redaksi
Kami menerima banyak surat senada dari beberapa kota tentang beberapa apotek yang memasang harga obat di atas harga eceran tertinggi. Salah satu kami tayangkan beberapa pekan lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar