Harga minyak pada awal 2016 sempat di bawah 30 dollar AS/barrel. Pemerintah pada saat itu, dengan kebijakan evaluasi harga BBM setiap tiga bulan yang dimilikinya, kemudian secara konsisten merespons dengan menurunkan harga BBM rata-rata Rp 500/liter. Harga bensin premium ditetapkan Rp 6.450 dari sebelumnya Rp 6.950 dan harga solar ditetapkan Rp 5.150 dari sebelumnya Rp 5.650 per liter.
Pada titik ini dapat dikatakan kita relatif telah terbebas dari masalah kronis subsidi BBM, yang hampir dua dekade membelenggu sektor energi dan perekonomian nasional. Premium tak lagi disubsidi dan subsidi solar terkendali karena ditetapkan konstan Rp 1.000/liter.
Harga minyak di paruh kedua 2016 kemudian naik di kisaran 50 dollar AS/barrel. Rata-rata harga minyak pada 2016 menjadi 43 dollar AS/barrel. Pemerintah tak melakukan perubahan terhadap harga BBM meskipun sebenarnya telah memiliki garis kebijakan untuk dapat melakukan penyesuaian harga BBM setiap tiga bulan sekali. Langkah ini, menurut pendapat saya, masih dapat dimengerti dan ditoleransi secara ekonomi karena secara rata-rata harga minyak pada 2016 tercatat sekitar 5 dollar AS/barrel lebih rendah dibandingkan dengan harga 2015.
Pada 2017, harga minyak kembali naik. Harga rata-rata sudah mencapai 54 dollar AS/barrel, naik sekitar 25 persen dibandingkan dengan 2016. Harga jual minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), dengan sendirinya juga ikut naik. Rata-rata ICP tahun 2017 sekitar 51,2 dollar AS/barrel, naik 27 persen dibandingkan dengan rata-rata ICP tahun 2016 yang hanya di kisaran 40,3 dollar AS/barrel.
Pemerintah, dengan argumen untuk menjaga daya beli masyarakat, kembali tak menaikkan harga BBM sepanjang 2017. Langkah ini, menurut pendapat saya, dari sudut pandang (ilmu) ekonomi dan kebijakan energi, sudah tak tepat karena kembali membawa sektor energi kita ke dalam kubangan masalah subsidi BBM dan segala politisasinya, yang berdasarkan pengalaman sangat tak mudah diselesaikan. Langkah ini hanya dapat dipahami dari sudut pandang dan pertimbangan politik praktis-populis berorientasi jangka pendek.
Saya tak tahu persis mengapa pilihan kebijakan ini yang diambil pemerintah. Mungkin Presiden Joko Widodo tak mendapatkan informasi, pemaparan, dan gambaran yang utuh tentang hal ini dari para pembantunya. Mungkin juga karena hal dan pertimbangan lain yang sebagai masyarakat biasa saya tak mampu menjangkaunya. Namun, yang jelas, prestasi luar biasa yang telah dicapai Presiden di dalam membebaskan kita semua dari belenggu masalah subsidi BBM, hanya dalam dua tahun di awal periode pemerintahannya, kemudian jadi mentah kembali.
Harga 2018
Pada awal 2018, harga minyak kembali menunjukkan tren kenaikan. Harga minyak dunia saat ini telah mencapai 70 dollar AS/barrel lebih. Karena pertumbuhan konsumsi, kisaran harga ini kemungkinan akan bertahan di paruh pertama 2018. Di paruh kedua, kenaikan harga berpotensi akan tertahan karena kemungkinan terjadinya koreksi akibat adanya penambahan pasokan. Rata-rata harga minyak dunia di sepanjang 2018 diperkirakan berada di 60 dollar AS/barrel atau lebih sedikit. Yang jelas, kemungkinan besar akan lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata harga 2017.
Sementara, APBN 2018 masih menggunakan asumsi ICP 48 dollar AS/barrel. Asumsi ini sudah tak lagi realistis dan perlu dikoreksi, paling tidak menjadi 55 dollar AS/barrel. Ini langkah pertama yang menurut saya perlu dilakukan pemerintah dalam merespons dan mengantisipasi pergerakan (kenaikan) harga minyak mentah dunia.
Langkah kedua, idealnya adalah dengan kembali menerapkan kebijakan penyesuaian harga BBM setiap tiga bulan atau periodik secara konsisten. Langkah ini tak hanya akan mengembalikan kebijakan (harga) energi nasional ke jalur yang benar, tetapi sekaligus dapat merupakan salah satu perwujudan nyata dari gerakan revolusi mental masyarakat kita dalam memandang dan memperlakukan sumber daya dan komoditas energi. Kita mestinya harus lebih bangga tidak disubsidi ketimbang terus- menerus bergantung dan mengandalkan subsidi. Subsidi yang diterapkan seharusnya bukan terhadap harga energi, melainkan subsidi langsung kepada pihak yang benar-benar memerlukan.
Namun, jika hal itu karena pertimbangan politik tak dapat dilakukan, yang diperlukan adalah ketegasan dan kejelasan kebijakan pemerintah, serta tertib di dalam administrasi pelaksanaannya. Sejak pertengahan 2016, selisih harga keekonomian BBM dengan harga yang ditetapkan pemerintah paling tidak bergerak dalam kisaran Rp 500/liter hingga Rp 1.500/liter. Tanpa ada penyesuaian harga BBM, selisih harga ini tentu akan menjadi beban, dalam hal ini Pertamina atau pemerintah (APBN).
Membebankan anggaran subsidi kepada Pertamina adalah tidak tepat karena Pertamina badan usaha yang perlu beroperasi layaknya pelaku usaha lain. Maka, jika pemerintah memutuskan tetap tak menaikkan harga BBM, yang harus dilakukan adalah secara tegas dan resmi menambah alokasi anggaran subsidi BBM tersebut di APBN. Jadi, tidak dengan membebankannya ke (keuangan) Pertamina, seperti yang berjalan paling tidak lebih kurang 1-1,5 tahun terakhir.
Beban yang tak proporsional pada Pertamina dapat mengganggu kinerjanya dalam melaksanakan tugas pendistribusian BBM dan elpiji ke seluruh wilayah Tanah Air. Kelangkaan BBM dan elpiji, yang misalnya disebabkan masalah arus kas Pertamina yang terbebani, tentu harus dicegah dan tidak boleh terjadi.
Maka, dalam hal ini, Kementerian ESDM semestinya dapat menjadi inisiator sekaligus representasi sektor penting dari pemerintah untuk segera menempatkan kembali kebijakan (harga) energi di jalur yang benar dan mengambil langkah- langkah konkret yang diperlukan. Lebih dari sekadar memberikan harapan dan citra positif, jelas ada hal fundamental yang benar-benar harus dilakukan pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, dalam merespons pergerakan harga minyak pada 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar