Dalam pengambilan suatu keputusan, seharusnya dihitung betul berapa luas dampaknya, apalagi bagi publik. Jadi, kalau seorang gubernur mau mengganti seragam aparatur sipil negara di lingkungan kerjanya— kantor gubernur—pasti tidak masalah karena tidak menyangkut rakyat banyak. Silakan saja. Mau mengatur jam kerja dan aktivitas di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, boleh-boleh saja.
Namun, kalau mencabut pelarangan becak di Ibu Kota, membolehkan sepeda motor kembali melewati jalan protokol tertentu, ataupun mengatur area peruntukan di Tanah Abang, hal tersebut tentunya tidak bisa dilakukan begitu saja. Mengapa? Karena hal itu merupakan kebijakan publik yang berdampak pada masyarakat.
Seharusnya Pemprov DKI mempunyai rencana jangka panjang terkait kebijakan publik. Rencana jangka panjang ini menjadi acuan setiap gubernur yang menjabat. Jangan ganti gubernur ganti kebijakan layaknya ganti menteri pendidikan ganti buku seperti zaman olddulu.
Pola gonta-ganti kebijakan bisa memberikan kesan pemrov yang plin-plan. Apalagi kalau alasannya sama. Mana mungkin tujuannya sama, yaitu mengurangi kemacetan, tetapi dengan menerapkan kebijakan yang bertolak belakang.
Seharusnya gubernur terpilih melanjutkan dan menyempurnakan kebijakan publik yang sudah disusun untuk 25 tahun ke depan. Pertanyaannya, apakah pemprov punya rencana jangka panjang untuk Jakarta?
Rizal Siregar
Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan
Tanggapan Kanwil Pajak Gorontalo
Menanggapi surat pembaca di harianKompas (Rabu, 27/12/2017) oleh Saudara Firdaus yang berjudul "Ini Pajak atau Hukuman?", izinkan saya menyampaikan tanggapan.
Setiap transaksi jual-beli tanah dan/atau bangunan dikenai pajak dengan obyek pajak dan subyek berbeda.
Pertama, Pajak Penghasilan final yang merupakan pajak pemerintah pusat dengan obyek PPh yang diterima oleh orang pribadi atau badan. Besar tarif 5 persen dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan. Hal ini wajib dibayar oleh penerima penghasilan, yaitu penjual. Ia menjadi subyek pajak sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994, yang sejak 7 September 2016 diubah dengan PP No 34/ 2016. Tarif PPh final tersebut menjadi 2,5 persen.
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) merupakan pajak pemerintah daerah kabupaten/kota yang dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah. Obyek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang wajib dibayar oleh penerima hak, yaitu pembeli sebagai subyek pajaknya.
Dasar pengenaan pajak PPh final juga telah diatur dalam peraturan pemerintah tersebut di atas, yaitu nilai tertinggi antara nilai akta pengalihan hak dengan nilai jual obyek pajak (NJOP) surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan.
PPh final harus disetor ke kas negara melalui kantor pos atau bank persepsi sebelum akta atau perjanjian jual-beli ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Tarif dan perhitungan BPHTB telah diatur dalam UU No 28/2009 tentang Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah. Untuk lebih jelasnya, masyarakat dapat meminta penegasan kepada instansi pemerintah daerah kabupaten/kota yang berwenang.
Untuk penjelasan lebih lanjut tentang PPh final, Saudara bisa menghubungi Bidang P2Humas Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara di Jalan 17 Agustus Nomor 17, Kota Manado, dengan telepon (0431) 863260.
Semoga penjelasan ini bisa menjawab pertanyaan yang disampaikan Saudara Firdaus.
Agustin Vita Avantin
Kepala Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar