Pemberhentian itu dilatarbelakangi oleh dua masalah serius, yakni: (1) terjadinya kasus Balikpapan, yaitu: peristiwa patahnya pipa kilang minyak; dan (2) kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis premium—disertai naiknya harga jenis BBM lain—sejak beberapa waktu lalu.

Dari hasil investigasi diketahui bahwa kasus Balikpapan terjadi karena kelalaian, terkait standar gawat darurat sementara di internal Pertamina. Peristiwa berawal ditemukannya tumpahan minyak. Lalu petugas berpatroli mencari penyebabnya. Melintasnya kapal pengangkut batubara, Ever Judger, memicu terbakarnya tumpahan minyak hingga akhirnya melahap korban jiwa dan kapal itu sendiri. Pipa sudah berumur 20 tahun, tetapi tidak disertai teknologi shut down, yakni teknologi pemberhentian otomatis aliran minyak manakala terjadi kebocoran.

Masyarakat jadi korban

Ihwal kelangkaan premium terjadi masif, mulai dari Sabang sampai Merauke. Atas dasar pencermatan BPH Migas, kelangkaan premium dinyatakan valid. Kelangkaan premium bukan karena terbatasnya stok dan kendala distribusi, melainkan karena Pertamina mematok harga premium mestinya Rp 8.600 per liter. Itulah makanya, Pertamina  memilih menjual pertalite ketimbang premium.

Di lapangan terindikasikan terjadi dua skenario pemasokan, yakni, pertama, beberapa wilayah yang dikhawatirkan tidak cukup stok sampai akhir tahun, maka pasokan dikurangi. Kedua, pada setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), margin premium lebih kecil daripada pertalite ataupun pertamax. Skenario Pertamina ini nyata-nyata bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah yang dengan tegas tidak akan menaikkan harga BBM (dan tarif listrik) karena mempertimbangkan daya beli masyarakat (27/12/2017).

Dua kasus di atas menambah bukti bahwa pengelolaan BBM di negeri ini "semrawut". Kesemrawutan ini menyimpan potensi destruktif bagi kesejahteraan bangsa. Potensi destruktif itu meluas sedemikian rupa. Tak urung, pihak-pihak paling menderita karena kasus Pertamina adalah masyarakat (jasa angkutan, nelayan, dan industri kecil).

Karena itu, demi keadilan restoratif (restoratif justice), penyelesaian kasus Pertamina mestinya tidak berhenti pada pemecatan Dirut Pertamina dan beberapa jajarannya, serta menggantinya dengan person-person baru. Kebijakan internal Pertamina tersebut, betapapun bagus—diambil cepat dan tegas—tetapi menyisakan ketidakadilan bagi masyarakat pengguna premium dan rusaknya lingkungan hidup. Sebagai korban kasus Pertamina, mereka tidak memperoleh imbalan apa pun dengan kebijakan pemecataan dan pergantian Dirut Pertamina. Kerugian-kerugian mereka itu perlu dipikirkan lebih lanjut.

Bukanlah hal baru bahwa dalam rangka pemulihan hak-hak korban dan pemulihan ekosistem, yang terjadi karena kebijakan buruk dan/atau kejahatan, dikenal keadilan restoratif, yakni keadilan memperhatikan secara utuh dan menyeluruh tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kasus. Keadilan restoratif mencakup: tanggung jawab pelaku kejahatan, hak-hak korban mala-kebijakan dan/atau kejahatan, hak-hak masyarakat, dan lingkungan hidup terkait. Keadilan restoratif itu melampaui keadilan retributif (menekankan pada pembalasan), dan keadilan restitutif (menekankan pada ganti rugi).

Bertolak dari UUD 1945 adalah kewajiban pemerintah untuk: "melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dst".  Dalam perspektif konstitusi, perlindungan bagi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dapat diderivasikan menjadi upaya perwujudan keadilan restoratif bagi korban- korban kelangkaan premium dan kerusakan lingkungan hidup akibat kasus Balikpapan.

Perlu langkah progresif

Langkah-langkah progresif mesti dilakukan pemerintah, antara lain, pertama, sistem pengelolaan BBM yang cenderung memberikan otoritas berlebihan kepada Pertamina perlu dikaji ulang agar tidak terjadi perilaku sejumlah kecil orang mengakibatkan penderitaan orang banyak. Wewenang Pertamina mesti disinkronkan dengan: (1) Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 berbunyi: "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat"; (2) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. PUU: 002/PUU-I/ 2003, bahwa pengertian "dikuasai oleh negara" haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara yang luas yang bersumber dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk merumuskan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kedua, perlu langkah-langkah afirmatif, yakni penegakan hukum secara kolektif terhadap segala bentuk kebijakan buruk dan/atau kejahatan yang berseberangan dengan upaya penyejahteraan rakyat. Kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pengacara, dan pihak-pihak terkait kasus Pertamina berkolaborasi melakukan investigasi sekaligus menghitung kerugian korban kelangkaan BBM dan rusaknya lingkungan hidup Balikpapan dan sekitarnya.

Ketiga, upaya mewujudkan keadilan restoratif senantiasa berpedoman pada prinsip-prinsip: (1) pelibatan partisipasi semua pihak melalui pendekatan musyawarah-mufakat; (2) berorientasi demi pemenuhan hak-hak korban, serta restorasi lingkungan hidup; (3) pemenuhan hak-hak korban dan pemulihan keseimbangan ekosistem dilakukan secara akuntabel, transparan, dan konkret; (4) secara simultan ada upaya memperbarui kebijakan agar  kasus serupa tidak terulang lagi.

Ciri menonjol keadilan restoratif bahwa terwujudnya kebijakan yang akuntabel dipandang sebagai kesatuan antara masalah sosial, masalah lingkungan, dan karena itu menjadi tanggung jawab bersama. Secara futuristis, keadilan restoratif dapat menjadi pembelajaran agar pemerintah lebih hati-hati dalam membuat kebijakan dan menyelesaikan kasus hukum terkait kebijakan tersebut.

Kita tunggu realisasinya.

Sudjito Atmoredjo, Guru Besar Ilmu Hukum UGM


Kompas, 25 April 2018