Karya ilmiah Mayjen dr Dr Terawan Putranto, Sp Rad telah melewati sidang penguji dan memberinya gelar doktor. Metode diagnosis DSA (digital subtraction angiography) itu kemudian dipraktikan dalam terapi.
Penelitian itu telah menghasilkan enam doktor dan 12 makalah di jurnal ilmiah internasional. Juga sudah dipatenkan di Jerman dan diterimakasihi banyak pasien yang telah sembuh berkat terapi penggelontoran di dalam arteri dengan heparin tersebut.
Apakah itu sudah cukup? Menurut Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), belum. Bahkan dr Terawan disebut sebagai pelanggar etik-kedokteran, meski kemudian IDI menyerahkan kasus ini kepada Kementerian Kesehatan.
Sikap MKEK/IDI dapat dimengerti. MKEK/IDI memang otoritas penjaga marwah profesi dokter dan harus menegakkan rambu-rambu etika kedokteran. Syukurlah, Kementerian Kesehatan bersedia memfasilitasi kasus ini dengan metode ilmiah kedokteran.
Kalau "cuci otak ala Terawan" secara ilmiah diragukan kebenarannya, sebaiknya memang diuji saja (lagi), dengan melibatkan para ahli yang berkepentingan, termasuk promotor dan kopromotor dr Terawan beserta dewan penguji dalam promosi doktor dr Terawan di PDIK Unhas. Tentu hasilnya tidak akan benar sempurna secara mutlak. Maka, lalu perlu ditimbang, lebih besar mana risiko mudaratnya dibandingkan dengan potensi manfaatnya.
Dalam ekofilosofinya, Henryk Skolimowsky (Universitas Michigan, Ann Arbor) menganjurkan untuk menenggang gejala transfisis, artinya bersikap toleran terhadap fenomena baru yang belum sepenuhnya dimengerti. Toleran tak berarti menelan begitu saja, tetapi bersikap terbuka: memeriksa dan mempertimbangkan.
Semoga MKEK/IDI dan kita semua mengindahkan Skolimowski itu. Jangan ekstrem. Bersikap ugaharilah. Kalau secara ilmiah tak ada masalah, tetapi untuk diterapkan dalam terapi sumbatan saluran darah ke otak harus lulus uji klinik dulu, sebaiknya dr Terawan bersedia metode "cuci otak"-nya diuji klinis. Bila layak diterapkan, tentunya perlu mengikuti prosedur yang berlaku.
L Wilardjo
Guru Besar Fisika
dan Eks Anggota Komisi Bioetika Nasional
Tanggapan PLN
Kami telah mendatangi Ibu Wirda Saleh yang menulis surat di Kompas (7/4/2018), "Ketika Kebijakan PLN Menyetrum".
Ibu Wirda selaku pelanggan PLN terkena tagihan susulan Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) karena memodifikasi alat pembatas dan pengukur, terdiri dari kWh-meter dan MCB yang berakibat wiring APP terbalik sehingga piringan kWh-meter berputar mundur.
Dalam hal ini pelanggan melanggar pengukuran energi (pelanggaran golongan PII) sehingga sambungan listrik pelanggan harus diputus sementara dan terkena tagihan susulan. Besar tagihan susulan diatur oleh Keputusan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Nomor 304 K/20/DJL 3/2016.
Sesuai peraturan, PLN tidak dapat mengurangi tagihan susulan P2TL. Meski demikian, pelanggan dapat mengajukan keringanan berupa cicilan.
Dini Sulistyawati
Deputi Manajer Komunikasi
dan Bina Lingkungan PLN Distribusi Jakarta Raya
Tanggapan PT Pos
Menanggapi surat pembaca edisi Kamis, 12 April 2014 "Perubahan Kultur Pos", maksud petugas kami adalah menawarkan jenis layanan dengan fitur yang lebih baik, meliputi waktu tempuh dan pelacakan melalui situs www.posindonesia.co.id
Kami sudah berusaha bertemu Saudara Miduk Hutabarat untuk menjelaskan pokok permasalahan. Kepada petugas, kami terus mengupayakan pembinaan supaya lebih baik lagi.
Kepada Saudara Miduk Hutabarat, kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.
Tita Puspitasari
Manajer Public Relations
and Media Comunication
Kompas, 28 April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar