Permintaan ini tidak mengada-ada. Karena perembesan itu selalu berulang, seperti diumumkan oleh Kementerian Perdagangan ihwal temuan gula kristal rafinasi (GKR) yang dijual bebas secara daring di situs dagang online (Kompas, 18/1/2019).
Pada September 2018, polisi menangkap Khatimah Putri Wahtuti, pemilik usaha dagang, yang diduga merembeskan GKR ke pasar gula konsumsi. "Ritual" seperti ini akan selalu berulang sepanjang perembesan GKR ke pasar gula konsumsi belum bisa dihentikan.
Sesuai aturan, GKR hanya melayani kebutuhan industri makanan, minuman, dan farmasi, sedangkan pasar ritel atau pasar konsumsi diisi oleh gula kristal putih (GKP).
Sepanjang 2018, Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan mencatat sebanyak 98,7 ton GKR merembes ke pasar umum. Jumlah ini tentu amat kecil apabila dibandingkan dengan potensi kebocoran, yang menurut Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, mencapai 0,5 juta ton (www.tempo.co, 10/2/2018).
Diperkirakan, pada kurun 2006-2011, setiap tahun GKR yang merembes berkisar 185.104 ton hingga 678.818 ton atau 8,03 persen hingga 29,44 persen dari pasokan GKR (Khudori, 2011). Ini bukan jumlah yang kecil.
Pertanyaannya, mungkinkah kebocoran GKR ke pasar GKP dihentikan? Pertama-tama, secara alamiah, sulit mengawasi produk yang nyaris sama, tetapi pasarnya berbeda. Akan tetapi, secara teoretis, mengawasi hanya 11 produsen atau pabrik gula (PG) rafinasi tentu lebih mudah ketimbang mengawasi gula produksi ratusan ribu petani. Karena itu, kemauan politik menjadi kunci: maukah otoritas berwenang menegakkan pengawasan?
Kebocoran gula rafinasi
Dari sisi aturan, industri gula merupakan komoditas yang terlalu banyak diatur (over-regulated). Gula hanya kalah dari beras. Masalahnya, semakin banyak diatur, gula justru kian tidak teratur. Untuk GKR berikut pabrik gula rafinasi, titik krusial terletak pada izinnya yang tidak terkontrol. Izin pendirian pabrik gula rafinasi ada di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sedangkan izin industri makanan-minuman pengguna GKR ada di Kementerian Perindustrian.
Yang terjadi kemudian obral izin sehingga kapasitas pabrik gula rafinasi melebihi kebutuhan: 5 juta ton vs 3 juta ton.
Sejak diinisiasi tahun 2000, kini ada 11 pabrik gula rafinasi berkapasitas sekitar 5 juta ton. Seiring itu, impor gula mentah (raw sugar), bahan baku pabrik gula rafinasi, terus melonjak: dari kurang dari 1 juta ton pada 2006 menjadi lebih dari 2 juta ton sejak 2009. Sejak 2007 ada indikasi kuat izin impor GKR untuk industri dan gula mentah untuk pabrik gula rafinasi berlebihan (Sawit, 2010).
Sesuai hukum besi penawaran-permintaan (supply-demand), ketika kebutuhan GKP tidak sepenuhnya bisa dipenuhi dari produksi domestik, kelebihan produksi GKR akan mengalir mencari pasar.
Proteksi harga oleh pemerintah lewat harga patokan petani (HPP) plus sejak 2017 ada harga eceran tertinggi (HET) yang dipatok Rp 12.500 per kilogram membuat insentif merembeskan GKR ke pasar GKP amat menggiurkan. Ini jadi ajang perburuan rente oleh banyak pihak: negara, politikus, produsen, dan importir.
Pengawasan yang lembek dan penegakan hukum bagi pelanggar (produsen dan pelaku distribusi) yang tidak memberi efek jera membuat sekat pasar GKR untuk industri dan GKP untuk pasar konsumsi langsung tidak berarti apa-apa.
Sebagai gambaran, Oktober 2018 lalu harga raw sugar 290,67 dollar AS per ton. Ditambah biaya angkutan, asuransi, bongkar-muat, bea masuk (5 persen jika diimpor dari negara ASEAN dan Rp 550 per kilogram jika diimpor dari luar ASEAN), pajak, biaya pengolahan dan kemasan harga di gudang pembeli di Indonesia berkisar Rp 8.218-Rp 8.571 per kilogram (kurs Rp 15.223 per dollar AS).
Harga ini masih di bawah biaya pokok produksi gula petani: Rp 10.059 per kilogram. Dengan HET Rp 12.500 per kilogram, ada margin Rp 3.929- Rp 4.282 per kilogram (31,4-34,2 persen dari Rp 12.500). Margin yang besar ini membuat siapa pun ngiler untuk terlibat dalam perembesan GKR ke pasar GKP.
Faktor kebijakan
Pelbagai kebijakan yang ada memang memudahkan perembesan GKR ke pasar GKP. Pertama, dari sisi ukuran butiran, amat sulit membedakan GKR dari GKP. Di Standar Nasional Indonesia (SNI) yang baru, ukuran butir GKP (SNI: 3140.3.2-2010) antara 0,8 hingga 1,2 milimeter. Sedangkan ukuran butir GKR (SNI: 3140.2-2011) antara 0,12 hingga 2,2 milimeter. Artinya, pabrik gula rafinasi amat terbuka memproduksi gula sesuai dengan ukuran butir GKP.
Kedua, sejak 2017 pabrik gula rafinasi dibolehkan memproduksi GKP. Yang menjadi masalah, GKP itu disalurkan ke mana? Siapa yang mengawasi?
Ketiga, obral impor (raw sugar, GKR dan GKP). Impor gula melonjak sejak 2009, sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, lonjakan tertinggi terjadi sejak 2016.
Pada 2015, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), impor gula masih 3,38 juta ton. Namun, pada 2016 angkanya melonjak menjadi 4,76 juta ton, sempat turun pada 2017 (4,48 juta ton), dan naik lagi pada 2018 (4,63 juta ton, dari Januari-November). Akibat obral impor ini, pasar domestik "banjir" gula. "Banjir" gula itu terasa betul pada tahun 2018. Pada awal 2018, pasar masih dipenuhi gula sisa 2017, mencapai 1,2 juta ton. Ini cukup untuk konsumsi lebih dari lima bulan.
Dalam kondisi demikian, pemerintah lewat Kementerian Perdagangan mengeluarkan izin impor gula mentah 1,1 juta ton untuk diolah menjadi gula konsumsi. Ditambah produksi GKP tahun 2018 sebesar 2,1 juta ton, plus potensi gula rafinasi yang merembes ke pasar GKP sebesar 0,5 juta ton, total pasokan mencapai 4,9 juta ton.
Padahal, kebutuhan GKP hanya 2,9 juta ton. Banjir gula inilah yang membuat harga gula petani tertekan dan tidak laku. Pedagang enggan membeli. Sepanjang 2018, rata-rata harga lelang gula Rp 9.615 per kilogram.
Untuk menolong petani, pada 11 Juli 2018, Kementerian Perdagangan menerbitkan surat ke Menteri BUMN yang mewajibkan Bulog membeli gula petani dengan harga Rp 9.700 per kilogram. Ketentuan ini berlaku hingga April 2019.
Jika Bulog merugi dalam penugasan ini, akan dikompensasi lewat dana Cadangan Stabilisasi Harga Pangan setelah disetujui rapat di tingkat Kementerian Koordinator Perekonomian. Dibelit anggaran yang cekak, potensi kerugian plus masih ada gula di gudang sisa penugasan sebelumnya, Bulog pun lempar handuk putih.
Obral izin impor pada 2018 juga terjadi pada raw sugar untuk GKR. Semula, Kementerian Perdagangan memberikan kuota impor raw sugar sebanyak 3,6 juta ton yang dibagi per semester. Lantaran realisasi impor semester pertama rendah, kuota impor dipangkas. Realisasi impor raw sugar tahun 2018 sebesar 3,37 juta ton. Ini indikasi, kebutuhan GKR sebetulnya tidak sebesar kuota impor yang diberikan. Lalu mengapa kuota impor diobral?
Pelbagai kebijakan yang melempengkan perembesan GKR ke pasar GKP ini tidak hanya menjauhkan cita-cita swasembada gula, tetapi juga amat merugikan petani. Selama ini pabrik GKP, yang sebagian besar BUMN dan ada di Jawa, tergantung pada pasokan tebu petani. Petani memasok 90 persen kebutuhan tebu. Penurunan harga GKP akibat invasi GKR sebagian besar ditanggung petani. Menurut penghitungan, komposisi biaya dalam industri gula 60-70 persen ada di kebun. Artinya share petani 60-70 persen. Kalau pabrik gula merugi, 60-70 persen kerugian dipikul petani tebu. Jika harga GKP anjlok, petani pula yang paling terpukul.
Anjloknya harga GKP membuat insentif ekonomi petani untuk menanam tebu menurun. Lahan tebu petani akan dialihkan untuk tanaman lain. Tanda-tandanya sudah muncul. Pada 2014, luas lahan tebu masih 478.108 hektar. Namun, pada 2017, lahan tebu tersisa 453.456 hektar.
Jika alih tanam ini meluas, akan berdampak pada dua hal. Pertama, pabrik gula tutup giling karena tidak mendapatkan pasokan bahan baku. Jika gelombang penutupan pabrik gula terjadi, aset ekonomi-sosial itu akan sia-sia. Kedua, jika banyak pabrik gula tutup, dipastikan impor GKP meledak, devisa melayang, dan cita-cita swasembada gula bakal menguap.
Dalam jangka pendek harus ada penyelamatan petani tebu. Pertama, negara harus membeli gula petani yang menumpuk. Kedua, perlu dibuat kebijakan yang lebih permanen. Caranya, mewajibkan kepada 11 pabrik gula rafinasi untuk menyerap gula petani. Kewajiban menyerap itu dikaitkan dengan pemberian izin impor raw sugar. Rasionya perlu dihitung. Misalnya, satu gula petani berbanding empat gula mentah. Dengan cara ini, harga GKR masih tetap kompetitif. Kebijakan ini pernah diterapkan saat jabatan menteri perdagangan dipegang oleh Muh Lutfi.
Revitalisasi industri gula
Dalam jangka panjang, perlu dibuat kebijakan yang memastikan masalah ini tak berulang.
Pertama, membuat kebijakan mendasar dan komprehensif untuk merevitalisasi industri gula dengan jadwal jelas, ketat, langkah konkret dan konsisten. Dalam sepuluh tahun, misalnya, pabrik-pabrik gula BUMN yang tak efisien harus meningkatkan efisiensinya agar setara dengan pabrik-pabrik gula swasta. Jika tidak sanggup, apa boleh buat, pabrik-pabrik gula itu harus ditutup agar tak jadi beban.
Kedua, produktivitas gula digenjot dengan perbaikan varietas tebu dan kultur teknis.
Ketiga, orientasi produksi bukan hanya gula, tetapi diperluas ke produk turunan lainnya. Tanpa penataan ulang secara fundamental, bisa dipastikan industri pergulaan akan terus terjebak kebijakan jangka pendek, dan jadi ajang perburuan rente yang gurih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar