Hal ini dikarenakan ketidakcukupan nutrisi untuk tumbuh kembang otak, padahal tumbuh kembang otak sangat optimal sejak dalam kandungan sampai 1.000 hari kehidupan awal seseorang. Tumbuh kembang otak ditandai proses neurogenesis dan sinaptogenesis, di mana sel otak berkembang dan membentuk sinap yang sangat banyak. Sinap adalah jonjot saraf yang berfungsi sebagai media komunikasi antarsel saraf. Di sana akan terjadi pertukaran puluhan ion dan zat kimia otak (neurotransmiter) sehingga otak bisa bekerja optimal. Kerja otak bergantung pada lokasi otak mana yang bekerja.
Apabila di daerah frontalis, parietalis, dan hipokampus, akan terbentuk kualitas kognisi (kecerdasan). Apabila di daerah otak yang mengatur inisiasi, terbentuk kemampuan berinovasi. Kesemuanya itu menentukan kualitas generasi bangsa. Semakin banyak sinap terbentuk, semakin bagus kualitas otak seseorang. Proses ini sangat dipengaruhi nutrisi dan stimulus yang masuk ke otak anak.
Menurut WHO, jumlah stunting di Indonesia masih sangat tinggi, melebihi target WHO yang 20 persen meski bisa diturunkan dari 37 persen menjadi 30 persen. Berbagai upaya oleh pemerintah belum bisa menyelesaikan persoalan ini karena stunting bukan hanya masalah kesehatan, melainkan sebuah akumulasi permasalahan nasional menyangkut ekonomi, sosial budaya, ketahanan pangan, lingkungan dan sanitasi, bahkan politik.
Apabila tak tertangani 20 tahun ke depan akan didapatkan generasi kualitas rendah akibat stunting ini.
BPJS "stunting"
Namun, bukan hanya anak yang mengalami stunting, sistem kesehatan kita yang sering kita kenal dengan BPJS Kesehatan juga mengalami stunting. Hal ini karena "kurangnya nutrisi" untuk BPJS sejak lima tahun kelahirannya. Nutrisi tidak hanya masalah anggaran, tetapi lebih dari itu ada ketidaksempurnaan suprasistem yang menjadi payung hukumnya
serta ketidakkonsistenan perangkat perundangan yang menjadi pelaksana di lapangan. Akibatnya terjadi permasalahan serius semenjak bayi BPJS dilahirkan sampai saat ini.
Permasalahan terutama terletak di kualitas layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien BPJS yang tak sesuai standar minimal (layanan substandar) di hampir semua lini, baik faskes pertama maupun faskes lanjutan. Apabila ini terus terjadi, negara bisa dianggap abai terhadap tugas utamanya, yakni menyehatkan dan menyejahterakan rakyat. Stunting BPJS ini jika tidak dicarikan jalan keluar yang holistik dikhawatirkan akan terjadi "kekerdilan" fisik dan otak sistem kesehatan kita karena sebuah sistem kesehatan semesta yang menanggung lebih dari 250 juta nyawa manusia Indonesia ternyata tidak menerapkan layanan kesehatan standar terbaik.
Layanan standar adalah sebuah layanan kesehatan yang diberikan berdasarkan standar keilmuan kedokteran terkini. Standar itu didasarkan pada ratusan penelitian di seluruh dunia yang menjadi roh pengobatan modern dan terus diperbarui sesuai perkembangan keilmuan terbaru serta kondisi lokal atau nasional. Dalam pelaksanaan layanan standar, setiap rumah sakit diharuskan memiliki pedoman panduan klinis (PPK) dan clinical pathway (CP) untuk penyakit yang memadukan antara pedoman tata laksana penegakan diagnosis dan terapi dari panduan internasional-nasional dengan kondisi riil rumah sakitnya.
Namun, sayang pelaksanaan layanan kesehatan standar tak bisa dipraktikkan secara utuh dan menyeluruh di seluruh Indonesia karena terkendala masalah pembiayaan yang ditetapkan BPJS pusat dengan istilah kendali biaya. Kendali biaya ini harus dilakukan untuk mencegah potensi pembiayaan berlebihan saat dilakukan proses pengobatan di faskes pertama dan lanjutan. Kendali biaya menjadi sesuatu yang sangat penting bagi BPJS karena dari tahun ke tahun terus terjadi defisit anggaran yang terus meningkat jumlahnya, bahkan berdasarkan laporan keuangan defisit keuangan BPJS 2018 menembus angka Rp 16 triliun.
Penyebab utama defisit telah diketahui, yakni rendahnya iuran bulanan peserta BPJS, baik kelas 1, 2, maupun 3 dari biaya aktualita sesungguhnya. Masalah ini sudah sering disampaikan, tetapi tampaknya pemerintah lebih senang menutup defisit APBN daripada menaikkan iuran peserta. Hal ini bisa dipahami karena menaikkan iuran di tengah konstelasi politik seperti ini berdampak terhadap elektabilitas.
Sayangnya, proses menutup defisit anggaran BPJS tak sepenuhnya berjalan lancar karena kondisi keuangan pemerintah tak begitu sehat beberapa tahun terakhir. Akibatnya, turunnya dana klaim BPJS ke rumah sakit sering kali tertunda, bahkan sampai beberapa bulan. Kondisi ini tentunya sangat memengaruhi layanan kesehatan dalam memberikan layanan standar kepada pasien.
Debat cawapres
Dari pengamatan penulis, kedua calon presiden-calon wakil presiden selalu mengedepankan pentingnya pembangunan kesehatan dalam setiap kampanye, tetapi sayang sampai saat ini tak ada konsep yang jelas dan matang yang disampaikan, termasuk terkait stunting dan BPJS Kesehatan.
Salah satu tema debat pilpres 17 Maret nanti adalah masalah kesehatan. Kita tentunya sangat berharap bisa mendengar paparan masalah ini saat debat, selain masalah kesehatan nasional lainnya, seperti pemerataan layanan kesehatan, tingginya kematian ibu dan bayi, tingginya penyakit menular higiene- sanitasi, dan rendahnya kesejahteraan petugas kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar