Debat Calon Presiden
Sebuah tulisan Azyumardi Azra di harian ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Judulnya, "Politik Bermartabat". Satu lagi tulisan Yudi Latif berjudul "Politik Cerdas Pikir". Banyak gagasan cemerlang, tetapi seolah-olah menguap tak mencapai sasaran. Sungguh patut disayangkan.
Barang sebagus apa pun, kalau tidak disebarluaskan untuk diketahui orang banyak, tentu tidak akan laku. Saya percaya, editor Kompas pasti mampu menyarikan kedua tulisan tersebut menjadi bahasan yang mendidik masyarakat dalam perilaku berpolitik.
Selanjutnya, Kompas dapat menyebarluaskan kedua tulisan itu dalam pelbagai bentuk: cetak, elektronik, audio, dan semua jenis media sosial yang dimiliki. Kompas adalah media arus utama yang sangat diharapkan dapat mendiseminasikan tulisan-tulisan yang membangun keadaban dan tata nilai luhur, khususnya para politikus.
Satu pernyataan menarik pada tulisan Azyumardi adalah: Banyak kelemahan yang membuat demokrasi Indonesia masih cacat (flaw democracy). Namun, jelas demokrasi tidak bisa lagi dimundurkan.
Pancasila sebagai dasar negara menerapkan politik pengakuan kemajemukan termasuk agama, di sini tersirat aspek kesetaraan. Yudi dalam tulisannya mengemukakan adanya kehilangan terbesar bangsa Indonesia, yaitu kemunduran pikiran. Ucapan bergelembung tanpa isi, gemuruh caci maki, fitnah, dan kebohongan yang tampak pada kampanye dan kegaduhan perdebatan. Yudi menambahkan, ada empat prasyarat demokrasi yang menghasilkan suatu keputusan politik yang benar.
Saya yang mengalami masa 30 tahun lebih pengekangan kebebasan berpikir dan menyuarakan pendapat sangat mensyukuri alam demokrasi sesudahnya. Yang menjadi keprihatinan adalah menipisnya etika serta akhlak masyarakat. Semoga tulisan Azyumardi dan Yudi, juga tulisan-tulisan lain yang ajeg dipublikasikan Kompas, dapat membentuk mozaik yang membangun tata nilai luhur bangsa Indonesia tercinta.
Sebagai penutup, saya teringat gagasan Soetan Sjahrir lebih dari 70 tahun lalu tentang pendidikan politik yang menghasilkan people intelligentsia. Sejarah menunjukkan hal lain, partainya tetap kecil meski memiliki gagasan besar. Mencerdaskan bangsa adalah salah satu hakikat tujuan politik, tetapi kalah oleh partai yang menonjolkan agitasi. Mungkin ini yang menyebabkan sulitnya bangsa kita mengatasi ketertinggalan dari negara lain.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jl Pariaman, Pasar Manggis, Setiabudi,
Jakarta Selatan
Sertifikat Tanah Harus Ditebus
Kami adalah warga RW 012, Pisangan Baru, Matraman, Jakarta Timur. Kami sangat gembira atas terbitnya sertifikat tanah kami, yang pembuatannya melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Pembuatan sertifikat tanah ini gratis sesuai dengan instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018.
Namun, untuk mendapatkan sertifikat tersebut ternyata kami harus menebus dengan membayar Rp 500.000 sampai dengan Rp 1.700.000 kepada Bendahara Tim PTSL RW 012.
Sebelumnya kami juga telah membayar Rp 150.000 untuk pembuatan surat tidak sengketa dan Rp 200.000 untuk pengisian berkas pengukuran tanah yang disertifikatkan.
Ketua TIM PTSL yang juga menjabat sebagai Ketua RW 012 mengatakan, uang tebusan tersebut akan dibayarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai ungkapan terima kasih, untuk membeli AC kantor sekretariat RW, mengisi kas RW, dan untuk "uang rokok" TIM PTSL.
Bukankah setiap RW di Provinsi DKI Jakarta sudah mendapatkan uang operasional sebesar Rp 2.500.000 per bulan? Mengapa kami masih harus membayar? Ke mana uang operasional itu?
Dalam kaitan dengan hal tersebut, kami mohon kiranya pihak yang berwenang dapat menindaklanjuti kasus ini. Dengan demikian, program PTSL yang gratis ini benar-benar dapat dirasakan oleh rakyat sebagai warga negara.
Jangan sampai niat baik pemerintah untuk memudahkan warga negaranya melalui program PTSL ini menjadi "lahan" serta "kesempatan" berbagai pihak untuk mencari keuntungan sendiri.
D IRCHAMSYAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar