Indonesia kembali mengingatkan agar pendanaan megaproyek infrastruktur yang dilakukan oleh China benar-benar bersifat saling menguntungkan kedua pihak.
Seperti diberitakan harian ini pada Rabu (20/3/2019), sebuah kegiatan yang membahas Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) mempertemukan Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian dengan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong. Dalam acara ini, Lembong mengharapkan agar pembiayaan megaproyek infrastruktur oleh China melalui prakarsa tersebut berlangsung lebih transparan, profesional, dan diharapkan ada kepastian kesinambungannya. Isu kesinambungan diangkat karena dinilai kemungkinan tidak mudah bagi China untuk menghadapi tekanan ekonomi global sekarang.
Diumumkan oleh Presiden China Xi Jinping pada 2013, pendanaan megaproyek infrastruktur oleh Beijing itu bertujuan menghubungkan tak hanya antarnegara di Asia, tetapi juga Eropa dan Afrika. Dalam skema pembiayaan, pembangunan infrastruktur meliputi, antara lain, pelabuhan, jalan raya, dan rel kereta. Montenegro adalah salah satu negara di Eropa yang telah menerima bantuan China untuk pembangunan jalan. Di Afrika, seperti dilaporkan South China Morning Post, Senegal menjadi salah satu negara yang bergabung dalam skema pembiayaan oleh Beijing.
Dalam perkembangannya, karena tidak mampu membayar pinjaman 1,4 miliar dollar AS untuk membiayai pembangunan pelabuhan pentingnya, Sri Lanka terpaksa menyewakan pelabuhan itu kepada China selama 99 tahun. Hal ini merupakan salah satu dasar bagi sejumlah kalangan untuk melihat pembiayaan megaproyek infrastruktur yang dilakukan Beijing memiliki maksud terselubung, menempatkan negara penerima bantuan dalam jebakan utang. Lebih jauh lagi, apa yang dilakukan China dinilai beberapa pihak sebagai bagian dari upaya memperluas pengaruh dan dominasi negara tersebut.
Di hadapan Lembong, Dubes Xiao menegaskan bahwa Beijing menjalankan pembiayaan megaproyek infrastruktur dengan pendekatan berorientasi ekonomi. Artinya, China bertekad menghindari aneka risiko, termasuk risiko berkaitan dengan utang, dalam menjalankan prakarsa pembiayaan tersebut. Disampaikannya, China memandang penting kondisi kerja sama yang transparan, bersahabat, tidak diskriminatif, sekaligus prospektif dari segi pendanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar