Dukungan dicacah, bala dibentuk, dana dikumpulkan, dan kalau perlu pihak yang ibaratnya masih ragu atau abu-abu pun ditarik. Siasat dan strategi disusun, konsep dan buah pikiran dikaji, janji-janji berbagai program dirancang. Menghadapi pilpres, semua diusahakan total dan selengkap mungkin. Pendek kata, all out. Tidak bisa dibandingkan dengan sekadar pertandingan olahraga yang mengenal istilah remis atau draw. Dalam pilpres, yang ada hanya menang atau kalah.

Lantas apa yang tidak biasa? Pastinya aneh, ketika kemudian perjuangan seolah dianggap berakhir pada kemenangan itu sendiri. Semua berpesta merayakannya dan lupa merawat kemenangan, lupa mengonsolidasi janji-janji, serta lupa menyusun ulang dalam bentuk program kerja dan pembangunan. Tim kampanye seakan purna tugasnya setelah mengantar capres mendapatkan kemenangan.

Kita pernah menyaksikan keadaan seperti itu pasca-Pilpres 2014. Menjelang pelantikan presiden, baru terlihat segepok program yang dari segi format dan isi terkesan bagai hasil kerja yang buru-buru. Memang bukan hal yang mudah untuk mengingat 70 program yang dijabarkan dari Nawacita yang menjadi tagline semasa kampanye. Karena itu, jika saat tulisan ini tersaji dan pada waktu itu pun telah benar-benar tampak pemenang Pilpres 2019 pada 17 April lalu, mudah-mudahan tidak perlu lagi banyak waktu yang terbuang. Apalagi kalau pemenangnya petahana, mungkin juga tidak perlu membuang waktu lagi. Hura-hura mesti berhenti dan kemenangan harus segera dikonsolidasi.

Apakah akan menugaskan tim kampanye atau mengambil beberapa anggota dan memperkuatnya? Semua itu menjadi urusan capres pemenang pilpres. Yang penting, semua janji secepatnya terkonsolidasi dan tidak ada yang tercecer. Merumuskan ulang dan menyusun semuanya dalam bentuk program yang lebih bagus, halus, dan berbobot politik. Syukur kalau sekaligus berbobot administrasi pembangunan. Atau dapat saja dilakukan tim lain yang berisikan anggota yang sebenarnya sudah ada dalam tim kampanye, yang mungkin dulu bergerak secara klandestin dan diperkuat dengan tenaga ahli yang baru. Yang penting, mereka semua yang tahu latar belakang konsep dan janji, serta arah dan rencana operasionalisasinya. Mengapa demikian?

Terlupa atau terlambat dengan soal tersebut dan baru belakangan menumpahkan tugas tersebut kepada tim yang sama sekali baru, akan menyuguhkan perumusan yang bisa-bisa berbeda dari latar belakang, konsep dan janji selama kampanye. Begitu pula halnya kalau akhirnya menyerahkan tugas tersebut kepada birokrasi. Sudah pasti hal itu bisa saja ditempuh. Namun, sebagai pelaksana program pemerintahan dan pembangunan, yang dilarang ikut dan diperintahkan jauh dari kegiatan kampanye, birokrasi pastilah tidak paham dengan konsep politik, strategi kampanye capres, janji dan latar belakang pikir yang melandasi.

Selain itu, dalam soal rancang-merancang rencana pembangunan, birokrat cenderung berpegang pada prinsip keberlanjutan pembangunan. Kecenderungan yang lazimnya menampilkan sikap dan tindak yang bersifat template dalam merancang program. Berlanjut, bertambah dan meningkat dengan titik tolak program lima tahun sebelumnya, menjadi rumus yang biasa dalam merancang rencana pembangunan: entah rencana jangka menengah ataupun panjang. Memangnya ada yang salah dengan hal itu?

Bukan soal benar atau salah. Birokrasi bukan saja tidak ikut berkampanye, mereka juga tidak ikut membuat konsep tentang isi kampanye. Bagaimana bisa mengonsolidasi dan merumuskan janji-janji secara tepat serta menjabarkannya dalam program pembangunan? Bagaimana nanti kalau rumusan program yang disusunnya berbeda dari janji, konsep, strategi dan latar belakangnya? Bukankah itu soal politik? Ketika mereka nantinya yang menjadi motor penggerak pembangunan, bagaimana kalau ada yang namanya kesenjangan antara janji dan hasil pelaksanaannya? Bisa saja birokrasi yang disalahkan, tetapi yang lebih merasakan penilaian buruk adalah pemimpin yang memiliki janji.

Politik pendidikan

Ambillah salah satu janji sebagai contoh. Presiden Jokowi, petahana dalam pilpres, tampil tanpa membawa Nawacita jilid baru dalam kampanyenya. Dia bertahan dan tetap konsisten dengan Nawacita yang diusungnya sejak tahun 2014, tetapi dengan tekad pembaruan, perbaikan, dan peningkatan. Salah satunya, tekad untuk membangun dengan basis manusia. Basis manusia dan iptek tersebut bagus dan sangat strategis. Rasanya memang itulah masalah besar yang sedari kemarin, sekarang, dan nanti akan menjadi persoalan kita yang mendasar. Kalau bertolak dari satu titik itu pun sangatlah penting bagaimana janji tadi sebaik-baiknya dijabarkan.

Pengalaman hampir lima tahun terakhir memberikan pelajaran betapa sumirnya membungkus tagline pembangunan sumber daya manusia dengan sekadar kredo baru "revolusi mental" dan apalagi sebagai program pembangunan. Kata-kata itu sendiri memerlukan banyak penjabaran tentang apa dan bagaimananya.

Bilamana masalah yang menyelimuti manusia dianggap sebagai focal points, mesti berani melihat aspek mentalitas, karakter, dan kepribadian dalam satu tarikan napas dengan aspek kapasitasnya, yang mengacu antara lain pada keahlian dan keterampilan serta kemampuan intelektual dalam penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan iptek. Ke mana semua itu akan disandarkan? Pengalaman hampir lima tahun terakhir mestinya cukup menggugah keberanian untuk mengakui bahwa membangun manusia dengan keseluruhan aspek tidak bisa dengan cara seperti selama ini. Kita harus berhenti berevolusi dalam membangun manusia beserta segala aspeknya sebagaimana disebut di atas. Membangun karakter, kepribadian, mentalitas, dan membangun kapasitas intelektual, rasanya tidak mungkin selain melalui jalur pendidikan. Itulah yang mesti sistemik, terstruktur dan masif.

Adakah dan apakah kita memiliki politik pendidikan yang jelas dan menjadi panduan selama ini? Ini ihwal konsep politik untuk membentuk bangsa ke depan dan pastilah keliru jika soal politik ini dengan gampang dianggap selesai sebagai urusan profesor atau doktor. Presiden yang mesti dengan jelas menjawabnya dan menteri pula yang menjabarkan serta melaksanakannya. Tidak penting menterinya itu profesor atau doktor atau lainnya. Yang penting, ia mesti benar-benar dipilih di antara yang tahu isi dan arah politik presiden tentang arah dan misi pendidikan nasional.

Dengan impitan beban demografi yang besar dan keinginan agar dalam satu atau dua dekade mendatang dapat menjadi aset yang luar biasa, sungguh penting bila yang namanya politik pendidikan tadi diarahkan untuk menjawab cita pencerdasan bangsa yang terpatri dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD). Pendidikan macam apakah yang kita perlukan, baik tentang kelembagaan ataupun isi dan metodenya agar bangsa ini mampu mengelola kehidupannya dengan baik serta mampu mengatasi tantangan yang dibawa dalam tiap perubahan? Haruskah itu diartikan semua manusia Indonesia harus menjadi sarjana, hingga tiap kabupaten harus memiliki universitas? Atau mengubah tiap lembaga pendidikan menjadi universitas?

Punyakah kita sistem pendidikan dengan kurikulumnya yang mampu memilah, anak-anak bangsa yang mana yang memiliki bakat dan kemampuan dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta mana pula yang sebaiknya dibekali dengan keterampilan dan keahlian melalui sekolah kejuruan/politeknik? Negara tetangga terdekat kita memiliki politik yang jelas tentang soal itu. Mendalami soal ini penting bukan karena faktor pendanaan semata. Lebih dari itu, sebenarnya faktor yang alami sifatnya. Tidak mungkin semua harus jadi sarjana bukan? Mendesakkan cara pikir yang terakhir ini, dengan masyarakat tanpa mandor konstruksi, tanpa tukang batu, tanpa ahli las baja, tanpa montir otomotif, tanpa teknisi listrik dan teknologi informasi (IT), tanpa ahli tata buku ataupun niaga, tanpa penyuluh pertanian, tanpa bidan, perawat dan ahli madya medik lainnya, tanpa ahli tata boga, tanpa ahli seni musik dan tari, dan lain-lain, bisa-bisa malah menghadirkan tatanan sosial yang pincang serta aneh dalam kehidupan mendatang.

Satu contoh lain tentang pentingnya pengonsolidasian kemenangan tadi juga berlangsung dalam kaitannya dengan janji yang menyangkut organisasi pemerintahan. Di tengah kian merebaknya aroma parlementer yang menyelimuti sistem presidensial, pasti bukan urusan mudah bagi Presiden menyantuni hasrat dari parpol pendukung dan para sukarelawan pendukung lainnya untuk bisa ikut atau minta diajak ikut dalam kabinet yang akan dibentuknya. Setelah menjanjikan pemerintahan yang ramping, efektif, dan profesional dalam kampanye Pemilu 2014, tetapi kemudian hadir dengan format kabinet 34 menteri peninggalan pemerintahan sebelumnya, lantas bagaimana 2019 ini? Dengan jumlah parpol pendukung yang semakin besar, tetapi beberapa di antaranya tidak lolos ambang keparlemenan, apalagi di tengah buaian yang serba milenial, sangat perlu Presiden membangun kiat yang tepat untuk mengatasinya.

Di samping mendefinisikan format organisasi yang benar-benar sesuai dengan tujuan yang ingin diwujudkan, Presiden seyogianya bertindak aktif menyusun deskripsi fungsi dan tugas setiap organ yang diinginkannya, serta menyusun kriteria dan persyaratan bagi pejabatnya. Parpol dan pihak pendukung lainnya sudah barang tentu tetap boleh mengajukan profesional yang dijagokannya, tetapi kunci sebaiknya tetap di tangan Presiden.

Walaupun sepantasnya ditinggalkan praktik minta jatah dengan menunjukkan pos yang diinginkannya, bagi Presiden penting untuk tetap teguh memegang desain organisasi yang dibuatnya. Sejauh memenuhi kriteria dan syarat yang ditetapkannya, tetap berlaku aturan main: Presiden yang akhirnya menentukan pilihan. Kalau perlu dibalik. Tidak menunggu ditodong, tetapi Presiden yang menyodorkan kriteria dan syarat. Selain sebuah kiat, langkah tersebut setidaknya penting guna menjaga marwah presidensialisme dalam sistem pemerintahan.

Tugas berat

Presiden Jokowi memang tidak akan boleh dan tidak dapat mencalonkan lagi pada Pemilihan Presiden 2024. Namun, juga keliru kalau lantas mengatakan dalam lima tahun mendatang Presiden Jokowi dapat memimpin pemerintahan tanpa beban. Justru tugas yang sungguh berat telah menunggunya. Presiden Jokowi mesti mampu meletakkan landasan yang kokoh, bukan saja bagi mulusnya peralihan kekuasaan yang tanpa ribut-ribut seperti selama ini, tetapi juga agar generasi penerus kepemimpinan pemerintahan negara nantinya mampu mengatasi tantangan zamannya.

Semuanya hanya dimungkinkan denganwarisanyang baik, antara lain meletakkan dasar yang kuat bagi pembangunan manusia Indonesia dengan mentalitas, karakter, dan kepribadian yang Pancasilais serta kapasitas keahlian dan keterampilan dan kemampuan keilmuan yang tinggi; menyiapkan tatanan kelembagaan negara dan mekanisme kerja yang lebih baik; fondasi kehidupan ekonomi yang makin kokoh; wawasan kebangsaan dan kehidupan sosial budaya yang makin kohesif; serta keamanan-ketertiban dan pertahanan negara yang makin mantap. Semua janjinya dalam Pilpres 2019 justru untuk itu. Believe it or not. Itu bukan tugas ringan.