Capaian prestasi ekonomi telah diraih pada periode pertama pemerintahan Jokowi, mulai dari turunnya tingkat kemiskinan hingga di bawah 10 persen (single digit), berkurangnya angka pengangguran terbuka, terjaganya inflasi kebutuhan pokok, hingga realisasi penerimaan negara yang mencapai 100 persen. Namun, berbagai capaian itu tertutup oleh capaian indikator ekonomi lainnya yang masih kurang menggembirakan.
Indikator tersebut, di antaranya capaian neraca perdagangan yang mengkhawatirkan serta menurunnya investasi asing. Dua hal pokok yang perlu segera diatasi oleh Presiden Jokowi dan kabinet barunya pada periode selanjutnya. Bahkan, menjadi sebuah ironi ketika cita-cita pertumbuhan ekonomi berbasis investasi sempat bergema pada awal kepemimpinannya. Jokowi punya visi mengubah ekonomi Indonesia dari konsumtif menjadi berbasis produktif. Tidak ayal, pada saat itu di tiap-tiap pertemuan, Jokowi getol memaparkan langsung peluang berinvestasi di Indonesia kepada khalayak internasional, demi meraup modal mengembangkan infrastruktur industri dan perdagangan.
Tantangan perdagangan
Jauh panggang dari api, kinerja perdagangan masih jauh dari kata membaik. Puncaknya, pada awal 2019 sebagai capaian terburuk bagi neraca perdagangan Indonesia. Pertama kali dalam sejarah neraca perdagangan tercatat defisit 2,56 miliar dollar AS. Defisit ini sebagian besar disumbang oleh rendahnya capaian neraca perdagangan nonmigas yang hanya surplus 204,7 juta dollar AS, lebih rendah 10 kali lipat daripada periode sama 2018 yang 2,48 miliar dollar AS.
Faktor eksternal dan internal ikut berperan. Faktor eksternal utama adalah perang dagang AS-China. Perang dagang mampu mengubah peta perdagangan, baik regional maupun bilateral. Meski Indonesia memiliki tingkat rantai pasok global (global value chain/GVC), yang relatif rendah dibandingkan dengan sesama negara ASEAN dan rasio total perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 32 persen—lebih rendah daripada Thailand dan Malaysia, dampak perang dagang yang melibatkan dua perekonomian terbesar ini tetap dirasakan oleh Indonesia.
Perang dagang menghasilkan pemenang dan pecundang. Setidaknya ada tiga negara pemenang di Asia dan kini menjadi pusat manufaktur Asia. Negara itu adalah Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat bahwa Vietnam dan Malaysia telah menjadi pusat manufaktur berbasis teknologi informasi. Beberapa pabrikan ternama sudah memindahkan basis produksi mereka dari China ke kedua negara tersebut. Misalnya, Dell (AS), Sony dan Panasonic (Jepang) ke Malaysia, serta Samsung (Korea Selatan) dan Intel (AS) ke Vietnam.
Perang tarif juga melibatkan produk dan komponen otomotif antara AS dan China. Kondisi ini menguntungkan Thailand yang saat ini sudah menjadi pusat manufaktur regional untuk sektor otomotif. Pabrikasi asal Jerman, Mercedes-Benz dan BMW, kini membangun pusat produksi di Thailand dengan harapan dapat memasuki pasar mobil mewah China yang dulu pernah dikuasai oleh eksportir AS. Kondisi ini juga membuat Malaysia memanfaatkan celah ini. Meski ekspor produk otomotifnya tak terlalu besar, lebih dari 800 pabrikan komponen produk otomotif yang siap ekspor telah berproduksi di negara ini.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? China dan AS merupakan mitra dagang terbesar pertama dan kedua bagi Indonesia. Artinya, keduanya memberikan peran penting bagi perdagangan Indonesia. Komoditas ekspor utama Indonesia, yaitu sawit dan turunannya, mengalami restriksi dari proteksi di pasar utamanya, seperti AS, Eropa, dan India. Belum lagi, harga komoditas ini terus menunjukkan tren penurunan. Beruntung, China saat ini telah menjadi pembeli utama terbesar minyak sawit mentah (CPO) asal Indonesia.
Ketergantungan ekspor komoditas andalan ke China tentu dapat dianalogikan sebagai pisau bermata dua. Meski dinilai menguntungkan, imbas perang dagang membuat kinerja perekonomian China menurun. Ini karena ekspor salah satu motor penggerak ekonomi China, dengan tujuan ekspor terbesar negara AS. Menurunnya ekonomi China membuat permintaan bahan baku diindikasikan menurun. Ancaman ini memberikan risiko komoditas sawit kita tidak terserap menjadi tinggi. Tentu, kondisi ini juga berlaku dengan ekspor komoditas andalan Indonesia ke China lainnya, seperti batubara.
Selain faktor eksternal, faktor internal juga berperan dalam pelambatan ekspor ini. Ciri khas industri Indonesia adalah ketergantungannya pada impor bahan baku yang tinggi. Sebesar 75 persen impor didominasi oleh komponen bahan baku. Upaya untuk meningkatkan ekspor akan selalu berhadapan dengan risiko volatilitas nilai tukar dan tergerusnya cadangan devisa. Semakin tertekan rupiah, impor akan semakin mahal. Lingkaran ini terus-menerus membayangi kinerja perdagangan kita.
Faktor internal lain berasal dari hal yang bersifat institusional. Beberapa kebijakan deregulasi sudah diberikan, tetapi sekelumit permasalahan investasi juga masih belum terselesaikan. Izin investasi yang masih belum sederhana membuat para pengusaha mempertanyakan, adakah dampak yang ditimbulkan dari paket-paket kebijakan yang sudah berjumlah 13 tersebut. Berbicara perizinan, masalah online single submission (OSS) dan pelayanan terpadu satu atap (PTSP) masih menjadi sengkarut yang perlu diselesaikan.
Adapun 12 kawasan ekonomi khusus (KEK) yang seharusnya mampu mendongkrak pertumbuhan ekspor yang berasal dari setiap daerah, masih belum terlihat bekerja optimal. Di satu sisi infrastruktur dasar masih belum terselesaikan. Di sisi lain, insentif kawasan masih belum dipenuhi.
Fokus membangun pilar ekonomi
Beragam permasalahan di atas menghasilkan setidaknya empat hal yang menjadi fokus pekerjaan rumah bagi Presiden dan kabinet barunya. Empat hal itu adalah mendorong ekspor nonmigas, menggairahkan kembali investasi asing, meningkatkan industri substitusi impor, dan mengelola mesin devisa.
Mendorong ekspor nonmigas bukan perkara mudah untuk saat ini. Melihat dari karakteristiknya, pada saat negara-negara ASEAN, seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, bahkan Filipina, mengekspor produk teknologi tinggi, seperti elektronik dan komponennya, ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas berbasis sumber daya alam (SDA), baik perkebunan maupun tambang. Kini tantangan berat adalah melakukan diversifikasi ekspor produk dengan nilai tambah tinggi.
Berkaca pada produk yang diekspor, jangan lupa jika Indonesia juga memiliki keunggulan dalam mengekspor produk otomotif. Industri otomotif juga masuk ke dalam lima industri penyumbang PDB terbesar. Peluang ini bisa dimanfaatkan meski kini pekerjaan rumah (PR) adalah membangun produksi dan perakitan mobil berstandar emisi Euro 4 dan 5 sesuai pasar otomotif negara maju. Lemahnya daya saing Indonesia di pasar otomotif diakibatkan masih rendahnya standar emisi produk otomotifnya. Tentu ini berkaca pada pasar otomotif di dalam negeri yang masih menggunakan jenis bahan bakar Euro 2.
Meningkatkan ekspor tentu butuh modal besar. Investasi asing menjadi cara tercepat untuk mendapatkan modal tersebut. Investasi asing sangat berperan untuk menghadirkan sektor manufaktur berbasis ekspor. Untuk menghadirkannya, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari negara tetangga dengan melakukan reformasi, tidak hanya pada tataran pusat, tetapi juga daerah.
Hindari kebijakan yang dapat berganti dalam semalam hanya karena sebuah alasan politis. Beberapa peraturan juga ditemukan masih tumpang-tindih, di satu sisi membebaskan investasi asing melalui pengurangan daftar negatif investasi, tetapi turunannya di tataran kementerian justru mempersulit investasi dilaksanakan. Terpenting juga adalah masalah insentif yang tidak diobral secara umum, seperti libur pajak saat ini tetapi ditujukan pada investor dan sektor yang membutuhkan.
Investasi juga diharapkan mampu menghadirkan industri yang dapat menekan laju impor bahan baku Indonesia saat ini. Selain upaya hilirisasi, sering dilupakan bahwa perbaikan rantai industri juga perlu dilakukan melalui proses huluisasi. Artinya, ketergantungan sektor hulu pada impor dapat berkurang atau dalam arti lain, yaitu mengembangkan industri substitusi impor. PR ini berat karena tak hanya melibatkan sektor manufaktur saja, tetapi membangun keterkaitan dengan sektor pertanian yang saat ini pertumbuhannya mengalami penurunan.
Selain ekspor, kegiatan yang mampu menghasilkan devisa adalah pariwisata. Tentu pemerintah pusat perlu menawarkan berbagai insentif bagi pemda agar sektor pariwisata dapat berkembang. Insentif dapat ditujukan bagi SDM, suatu variabel pendukung yang sangat krusial bagi pengembangan sektor pariwisata daerah.
Meski sangat sulit menemukan destinasi seperti Bali yang mampu mempromosikan kekayaan alam sekaligus akulturasi budaya dan agama, bukan berarti daerah-daerah lain kehilangan kesempatan yang sama untuk mengembangkan pariwisata. Ke depan kita berharap bahwa fokus PR ini dapat diselesaikan Presiden beserta jajaran kabinet barunya. Mungkin usaha-usaha ini tidak akan selesai dalam lima tahun masa kepemimpinan. Namun, fondasi ini perlu dibangun sehingga tongkat estafet rencana pembangunan ekonomi yang produktif dapat diteruskan bagi masa kepemimpinan selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar