Miskin Keteladanan
Menarik membaca artikel Rikard Bagun berjudul "Persoalan Ekosistem Pancasila" dalam Kompas (31/5/2019). Dia menyatakan perlu membentuk ekosistem Pancasila agar menjadi panduan, pegangan, pengarah, dan kebijakan strategi dasar kehidupan bangsa dan Pemerintah Indonesia sehari-hari.
Dia mencontohkan, setiap Presiden Amerika Serikat selalu mendengungkan Declaration of Independence, inti pegangan setiap Pemerintah AS dalam mencapai tujuan sesuai dengan konstitusi. Idem semua Presiden Perancis, selalu mengingatkan rakyat tentang liberte, egalite, dan praternite, dasar utama sejak Republik Perancis berdiri. Setiap Presiden India juga mengingatkan ajaran Mahatma Gandhi, yakni Swadesi.
Namun, seperti ditulis Rikard Bagun, pemimpin Indonesia tidak konsisten mengenalkan Pancasila sebagai ideologi negara. Saya masih ingat saat Bung Karno jatuh, para rezim Orba meragukan siapa pencipta Pancasila. meski Pancasila diajarkan secara masif.
Lalu setelah Orba jatuh, rezim Reformasi ramai-ramai menyalahkan Pancasila. Untunglah ada TNI dan Polri yang gigih menjaga Pancasila. Maka yang ramai-ramai disalahkan adalah cara indoktrinasinya.
Padahal, jika lihat Kamus Oxford, tersua arti indoktrinasi adalah cara mengajar secara intensif. Hal itu karena sikonnya untuk mencegah ajaran komunis. Sekarang Pancasila makin kondusif, tetapi miskin keteladanan.
Bukti? Banyak anggota DPR, kepala daerah, hakim, jaksa, dan lain-lain, tidak menjalankan amanah sesuai ajaran Pancasila. Akibatnya, mereka dibui, tetapi dengan hukuman yang tidak akan membuat mereka jera. Beda dengan AS, para koruptor bisa dihukum 90 tahun sehingga mereka jera dan taat undang-undang.
Intinya artikel Rikard Bagun harus kita realisasikan termasuk membangun SDM berkualitas dan bermoral.
Suyadi Prawirosentono
Selakopi Pasir Mulya Bogor
Keluhan Pita Kejut
Ketika melintas di Jalan Metro Pondok Indah, Jakarta Selatan, saya terkejut ada pita kejut di ruas jalan tersebut.
Kendaraan roda dua dan roda empat banyak yang mengerem mendadak untuk mengurangi kecepatan. Pita kejut itu saya nilai tidak sesuai standar seperti di jalan tol. Hal ini sangat berbahaya, dapat memicu tabrakan beruntun.
Pertanyaan saya, seberapa tinggi urgensi memasang pita kejut di ruas jalan itu? Apa tujuannya? Mohon kebijakan agar pita kejut dapat dievaluasi atau dihapus saja.
Rico Setyawan
Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
Beli Apartemen
Saya membeli Apartemen Sentul City dengan pembayaran tunai untuk Tipe Tower B lantai 10 nomor 7, luas 44,2 meter persegi. Akta Perjanjian Jual Beli nomor 51 tanggal 20 September 2014. Undangan serah terima 12 Maret 2018.
Saat membuat berita acara serah terima tanggal 23 Maret 2018, ada komplain saya terkait unit apartemen tersebut. Namun, sampai saat ini komplain belum dikerjakan. Alasannya, masih tanggung jawab PT Waskita Karya atau keramik tidak diproduksi lagi.
Sampai 8 Mei 2019, saya di undang lagi serah terima, dengan kondisi masih sama dengan sebelumnya.
Anak saya juga membeli satu unit apartemen yang satu grup dengan Management Sentul City, Apartemen Opus Park lantai 15, sudah membayar tanda jadi Rp 20 juta.
Kenyataannya, belum ada perjanjian atau MOU untuk ditandatangani kedua belah pihak ataupun cara pembayaran yang disetujui Management Opus atau Sentul City sehingga kami belum terikat kontrak.
Karena terlalu lama, kami batalkan pesanan dan minta agar uang dikembalikan. Nyatanya nihil. Janji-janji akan di e-mail ternyata tanpa kabar.
H Abdul Muchid, SE
Wijayakusuma, Grogol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar