MPR Jangan Sakiti Rakyat
Sungguh memprihatinkan membaca para politisi bak "gayung bersambut", saling mengamini usulan agar pimpinan MPR menjadi 10 orang. Alasannya, MPR sebagai lembaga permusyawaratan rakyat selayaknya memiliki banyak perwakilan dari rakyat.
Kata mereka lagi, MPR adalah lembaga permusyawaratan yang mengedepankan musyawarah sehingga harus ada perwakilan-perwakilan dari berbagai elemen masyarakat. Sebagai warga negara, tentu saya boleh tak sependapat dan bahkan menolak pernyataan tersebut.
Memangnya berapa kali dalam lima tahun MPR bermusyawarah? Bukankah MPR hanya bersidang saat pengambilan sumpah jabatan presiden dan wakil presiden terpilih? Jadi, apa manfaatnya menetapkan pimpinan majelis (MPR) sampai sebanyak itu?
Justru rakyat jadi beranggapan, pernyataan tersebut lebih didasarkan pada nafsu bagi-bagi kekuasaan. Apalagi jika MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, dari posisi saat ini lembaga negara.
Konsekuensi yang harus ditanggung negara dengan ide "pimpinan majelis berjemaah" tentu terkait fasilitas. Unsur pimpinan majelis jelas memperoleh hak setara pimpinan lembaga negara lain. Dari kendaraan dinas, tunjangan jabatan, hingga ruang kantor pimpinan.
Tidak bisa dibayangkan, dengan komposisi pimpinan MPR menjadi 10 orang, makin berderet mobil mewah para pejabat tinggi kita di kantor Senayan. Belum lagi perjalanan dinas, dengan unsur pimpinan lembaga negara bisa mengikutkan istri/suami, dengan moda transportasi kelas utama pula. Berapa yang harus dibayar negara?
Semua fasilitas tersebut tentu tidak murah kalau tidak mau disebut mewah untuk ukuran rakyat. Jadi, usulan 10 wakil ketua MPR ini tidak mencerminkan kepekaan para legislator terhadap situasi keuangan negara dan terutama sangat menyakiti rakyat yang sudah memilih mereka.
Apalagi setelah berkantor di Senayan, para wakil rakyat begitu sulit ditemui. Gedung DPR yang tertutup begitu sulit ditembus dan, kalaupun sudah masuk, berbagai prosedur harus ditempuh. Bahkan pernah muncul wacana perlunya polisi DPR, menunjukkan keengganan para anggota DPR bertemu konstituen.
A RISTANTO Jatimakmur, Pondokgede, Kota Bekasi
Menulis dalam Bahasa Jawa
Saya sedih membaca tulisan Eko Sulistyo berjudul "Lamun Siro Sekti, Ojo Mateni" (Kompas, 12/8/2019). Mengapa? Karena judul berbahasa Jawa tersebut ditulis dengan cara yang salah, di koran favorit saya pula.
Menurut pakemnya, dalam ejaan Jawa, huruf o ditulis dengan cara huruf "ha" diberi tambahan taling dan tarung. Jadi, judul tulisan tersebut salah ejaannya. Penulisan yang benar adalah "Lamun Sira Sekti, Aja Mateni".
Semoga ke depan Redaksi Kompas lebih jeli sehingga membantu mengurangi kesalahan menulis perkataan Jawa dalam huruf Latin.
Dawami Martono Rawa Bambu RT 008 RW 007, Pasar Minggu, Jakarta 12520
Integrasi Pembayaran
Saya ingin menyoroti sistem pembayaran kendaraan umum di Jakarta yang belum terintegrasi. Di bus Transjakarta, kartu yang bisa digunakan hanya kartu tertentu (bukan Jak Lingko, tapi Flazz BCA atau Mandiri E-money), sementara angkot Jak Lingko hanya bisa menerima kartu BNI TapCash dan JakCard Bank DKI. Penumpang harus punya pelbagai kartu.
Ke depan, pembayaran tiket bus Transjakarta atau angkot Jak Lingko harus bisa memakai kartu dan uang elektronik, termasuk melalui ponsel (Go- Pay, Ovo, Linkaja, dan lain-lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar