Antara 2018 dan 2019 peringkat daya saing nasional (national competitiveness) ekonomi terbesar Asia Tenggara ini meloncat sebelas tingkat yang menempatkan Indonesia ke posisi ke-32, hanya dua tingkat di bawah Jepang yang merosot lima tingkat ke posisi ke-30, tetapi masih di bawah Thailand yang berada di posisi ke-25. Pada kurun waktu ini Singapura telah mengalahkan Amerika Serikat menjadi ekonomi berdaya saing tertinggi di dunia.

Kerja keras pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla selama lima tahun mengatasi ketertinggalan infrastruktur, meningkatkan efisiensi pemerintahan, dan memperbaiki kondisi bisnis negeri di khatulistiwa ini tampaknya telah berdampak positif terhadap daya saing bangsa. Program reformasi birokrasi berhasil mendorong naik efektivitas Pemerintah Indonesia sebesar 26 tingkat, dari posisi ke-121 pada 2015 menjadi posisi ke-95 pada 2019, dengan skor IEP 54,8 pada skala 0-100.

Program ini cukup berhasil karena difokuskan pada: (1) sistem penerimaan calon PNS secara obyektif terhadap sekitar 4,6 juta calon untuk mendapat sekitar 246.000 calon terbaik; (2) perbaikan layanan publik; dan (3) menerapkan lebih ketat pelaksanaan sistem merit dalam pengisian 30.586 jabatan pimpinan tinggi pada semua instansi pemerintah di tingkat nasional dan daerah berhasil mendorong naik efektivitas Pemerintah Indonesia 26 tingkat, dari posisi ke-121 (2015) menjadi posisi ke-95 (2019), dengan skor IEP 54,8 pada skala 0-100.

Dengan kenaikan ini, pada akhir pemerintahan Kabinet Kerja Jilid 1 efektivitas ASN Indonesia dapat mencapai tingkatan ASN negara berpenghasilan menengah bawah, sekelas dengan Filipina, Vietnam, dan Kamboja. Agar menjadi ASN negara berpenghasilan menengah atas, selama lima tahun mendatang Indonesia harus meloncat 20-21 tingkat, dari skor IEP 2019 menjadi 75-76 pada 2025, agar setara dengan negara-negara yang relatif maju di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, dan Brunei.

Untuk mencapai sasaran tersebut, program reformasi birokrasi nasional harus dipimpin nakhoda reformasi birokrasi yang berani dan berpengalaman untuk membawa bahtera Indonesia yang besar ini melayari jalur yang benar agar sampai ke tujuan utama pembangunan nasional yang dirumuskan Kabinet Kerja Jilid 2 di bawah pimpinan Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin.

Terlalu gemuk dan tertinggal

Dari beberapa pengarahan Jokowi setelah ditetapkan sebagai presiden terpilih 2019-2024, dapat disimpulkan bahwa dalam lima tahun ke depan program reformasi birokrasi akan difokuskan pada: (a) peningkatan mutu dan kapasitas ASN; (b) reformasi sistem perencanaan, penganggaran, dan akuntabilitas birokrasi; (c) reformasi kelembagaan birokrasi yang efektif dan efisien; (d) percepatan layanan pemerintahan berbasis elektronik; dan (e) reformasi pelayanan publik.

Kekuatan besar SDM ASN kurang dimanfaatkan. Pada 2019 kekuatan SDM ASN Indonesia terdiri dari 4.185.503 PNS plus lebih dari 2,5 juta pegawai honorer. Dengan 6,685 juta pegawai ASN melayani 267 juta penduduk, maka rasio ASN Indonesia sudah mencapai 2,50 persen. Ini menunjukkan bahwa pada saat ini SDM ASN Indonesia terlalu gemuk dan perlu dilangsingkan.

Karena penerimaan pegawai honorer dilakukan tanpa memperhatikan kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan, mutu SDM ASN Indonesia secara umum tertinggal dari SDM ASN negara-negara maju ASEAN.

Misalnya, untuk menyelenggarakan layanan pendidikan wajib (9 tahun) untuk 35 juta murid dilakukan oleh 3,3 juta guru. Lebih dari separuhnya (51 persen) adalah guru honorer yang kurang memiliki kualifikasi dan kompetensi guru yang ditetapkan oleh Kemdikbud, dan hanya 14 persen yang memiliki sertifikasi mengajar.

Akibatnya, Indonesia menduduki peringkat ke-64 dari 65 negara karena 48 persen siswa berusia 15 tahun hanya menguasai level 1 atau terendah dalam sains, matematika, dan bahasa, menurut survei PISA 2018. Melihat mutu tenaga kerja yang seperti ini, tidak heran jika perusahaan China tidak memilih Indonesia sebagai tujuan repatriasi mereka.

Kekuatan SDM ASN yang hampir sebesar penduduk negara Singapura tersebut, yang seharusnya dapat menjadi modal utama untuk menyukseskan program kerja presiden pada 2020-2024 apabila kedudukan presiden sebagai pemimpin tertinggi SDM ASN sebagaimana diamanatkan UU Nomor 5 Tahun 2014, lebih terlihat. Negara-negara maju Asia Tenggara sekitar 20 tahun lalu telah melakukan reformasi aparatur negara masing-masing guna mewujudkan ASN kelas dunia.

Langkah pertama yang dilakukan negara-negara maju ASEAN yang telah berhasil menjadi negara-negara berpendapatan menengah atas (upper middle income countries)—baik yang berbentuk negara kesatuan maupun negara federal, atau mengadopsi sistem pemerintahan presidensial maupun kerajaan—adalah membentuk otoritas manajemen SDM ASN independen dengan menggabungkan beberapa instansi yang bertugas mengelola urusan SDM ASN.

Pakem usang

Program reformasi birokrasi yang direncanakan Kabinet Kerja Jilid 2 seharusnya dirancang untuk mewujudkan kepemerintahan publik yang terbuka dan dinamis pada tahun 2035, untuk menggantikan birokrasi efektif dan efisien yang digunakan selama ini.

Sayangnya, kebijakan kelembagaan yang dirumuskan pejabat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) tetap berpegang pada "pakem" usang sehingga tidak mampu mewujudkan kelembagaan untuk kepemerintahan terbuka dan dinamis tersebut.

Kelembagaan pemerintahan negara yang akan ditempuh Kabinet Kerja Jilid 2 seharusnya bukan dengan merampingkan puluhan lembaga nonstruktural (LNS) dan/atau dengan membentuk empat lembaga baru saja.

Mestinya, memaksimalkan atau melakukan re-engineering kelembagaan yang sudah ada—lebih menghemat waktu dan biaya, serta lebih sesuai dengan sistem kepemerintahan—merupakan pilihan yang lebih baik dan lebih mampu menyalurkan kepentingan aktor pemerintahan yang semakin majemuk sehingga lebih dapat mengantisipasi dan merespons dengan tepat dan cepat perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan strategis.

Akselerasi efektivitas pemerintah sebesar 20 tingkat untuk mendukung Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah atas selama lima tahun ke depan akan ditentukan oleh kemampuan lima faktor pengungkit sebagai berikut.

Pertama, tingkatkan mutu layanan publik. Kedua, tingkatkan mutu 6,2 juta SDM ASN. Ketiga, bersihkan manajemen SDM ASN dari intervensi politik. Keempat, tingkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Kelima, tingkatkan dan pertahankan kepercayaan kepada pemerintah.

Secara nasional mutu layanan publik yang dicapai Indonesia dalam layanan pendidikan, kesehatan, perizinan, keimigrasian, dan perizinan sudah di jalur hijau muda, dengan skor 60.

Penggunaan sistem pengurusan perizinan berbasis elektronik untuk jaminan sosial, SIM, KTP, pendaftaran dan pembayaran pajak, izin usaha, diperkirakan akan dapat meningkatkan komponen layanan publik, dan selanjutnya mampu menaikkan skor IEP mutu SDM ASN, apabila pengangkatan 2,5 juta pegawai honorer dapat diselesaikan dalam dua tahun, dimulai segera dengan pengangkatan 51.000 pegawai honorer yang telah dievaluasi.

Perluasan penerapan Sistem Informasi Jabatan Pimpinan Tinggi (Sijapti) dan Sistem Informasi Pelayanan Perizinan Terpadu (Sipinter) yang dapat mencakup 34 kementerian, 34 provinsi, dan 514 kabupaten dan kota akan sangat meningkatkan skor indeks mutu SDM ASN. Faktor pengungkit ketiga adalah menghilangkan intervensi politik dalam manajemen SDM ASN.

Di banyak negara yang mencapai skor tinggi dalam faktor ini, intervensi politik dinetralkan dengan menghapus kewenangan pejabat politik dalam penunjukan pejabat tinggi dalam birokrasi pemerintahan. Penghapusan Pasal 35 Ayat (2) UU 5 Tahun 2017 dan menetapkan sekretaris jenderal, sekretaris menteri, dan sekretaris utama sebagai pejabat pembina kepegawaian akan menetralkan intervensi politik terhadap mutu pelaksanaan sistem meritokrasi di SDM ASN.

Mutu formulasi dan implementasi regulasi pemerintah otomatis akan meningkat kalau Kabinet Kerja Jilid 2 menugaskan 2020 sebagai tahun untuk menyelesaikan tunggakan regulasi pelaksanaan UU yang tertunda, dan merevisi atau mencabut ribuan peraturan daerah yang menyimpang atau bertentangan dengan peraturan tingkat nasional yang dikeluarkan pada masa kerja Kabinet Kerja Jilid 1. Perkuat kelembagaan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Lima tahun kerja keras, meski didukung kekuatan SDM yang masih tak memadai, serta dengan anggaran hanya 1/100 anggaran badan pengawasan pemilu, KASN berhasil menunjukkan keberadaannya, baik pada dunia bisnis, masyarakat, maupun bagi 6,2 juta pegawai ASN. Pada 2019 rekomendasi KASN mengalami peningkatan fantastis dari 283 rekomendasi pada Januari menjadi 1.527 rekomendasi pada Juli 2019, naik lebih dari 500 persen.

Walaupun rekomendasi KASN bersifat wajib dilaksanakan, dalam kenyataan tingkat ketaatan para pemimpin instansi pemerintah baru sekitar 40 persen. Tingkat kepatuhan instansi pemerintah terhadap seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi (JPT) juga cukup tinggi. Pada 2019 pelaksanaan seleksi terbuka yang dikonsultasikan dengan KASN mencapai 86 persen di kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), 93 persen di provinsi, dan 85 persen oleh kabupaten dan kota.

Ketaatan dalam melaksanakan seleksi terbuka di kementerian cukup tinggi pada kementerian yang dipimpin oleh menteri yang profesional, tetapi rendah pada kementerian yang dipimpin menteri dari parpol.

Lima tahun ke depan tugas pengawasan KASN akan semakin meluas dan mendalam karena selain mengawasi pelanggaran nilai dasar ASN, kode etik dan kode perilaku pegawai ASN, dan netralitas politik, dalam RPJM 2020-2024 ada obyek baru pengawasan, yaitu praktik transaksi dalam pengisian 31.000 JPT dan 420.000 jabatan pemimpin administrator dan pengawas.

Obyek pengawasan yang sangat besar ini tak mungkin ditangani KASN yang saat ini hanya punya 150 pegawai di Jakarta. Untuk mengawasi instansi di seluruh wilayah negara, KASN harus membangun kerja sama yang sangat erat dengan Kemendagri, BKN, KPK, dan pemda.

Sangat disayangkan ketika menyeleksi 14 calon anggota KASN periode 2020-2024 yang dilakukan Kemenpan dan RB, semangatnya bukan untuk mendapatkan tujuh calon pemimpin komisi yang punya kualifikasi, kompetensi, dan rekam jejak terbaik, tetapi dinodai oleh keinginan untuk "melemahkan dan memarginalkan" KASN independen menjadi subordinat Kemenpan dan RB, bukan komisi independen yang bertanggung jawab kepada Presiden selaku pemimpin tertinggi pegawai ASN.

Agar pelemahan lembaga independen seperti KPK tidak terjadi pada KASN, sebagai salah satu dari "tujuh samurai" yang ikut membangun KASN, penulis mengharapkan Presiden Jokowi lebih hati-hati dalam menerima dan menyetujui usulan "tujuh pendekar baru" KASN. Semoga.