Dahulu Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara tak tergoda mengambil uang negara. Istrinya, Halimah, berjualan sukun goreng demi menyambung hidup.
Dahulu ada cerita pula, mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa marah besar kepada seorang bupati yang mengisikan bensin ke mobilnya. Lopa pun meminta sang bupati mengosongkan tangki mobilnya kembali.
Kini, cerita-cerita serupa seakan tak terdengar. Setiap bulan selalu saja kita disajikan berita soal pejabat negara yang terjerat korupsi. Belum sebulan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi ditetapkan sebagai tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap tangan Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara, Minggu (6/10/2019) malam.
Gencarnya KPK menindak rupanya tidak membuat jera. Di Provinsi Lampung, sejak 2018, sudah tiga bupati yang terjerat korupsi. Februari 2018, KPK menangkap Bupati Lampung Tengah Mustafa. November 2018, korupsi menyeret Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan. Januari 2019, giliran Bupati Mesuji Khamami ditangkap. Sanksi hukumnya pun tidak ringan. Zainudin, misalnya, divonis 12 tahun penjara. Hak politiknya pun dicabut tiga tahun setelah menjalani pidana.
Dari tahun ke tahun, jumlah bupati/wali kota yang terjerat korupsi bukannya mengecil, melainkan bertambah. Data KPK menunjukkan, sejak 2004 hingga 2018, sudah 101 wali kota/bupati atau wakilnya yang tertangkap kasus korupsi. Ibarat candu yang sudah merasuk ke tubuh, seakan siapa pun tak kuasa melawannya. Cara ampuh untuk mengatasinya hanyalah membatasi ruang gerak transaksi candu itu.
KPK menemukan indikasi banyak koruptor yang menggunakan modus transaksi uang kartal dalam menjalankan aksinya. Oleh karena itu, di tengah riuhnya perdebatan dan ramainya aksi unjuk rasa soal revisi Undang-Undang KPK dan rencana penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), yang terpenting juga pengawalan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
Kita perlu memastikan RUU yang sudah dibahas DPR sejak tahun lalu ini segera dibahas DPR baru dan segera disahkan. Ini juga bisa menjadi parameter untuk melihat seberapa besar perhatian DPR baru pada pemberantasan korupsi.
Banyak kajian menunjukkan, negara yang tinggi transaksi tunainya memiliki tingkat korupsi lebih buruk dibandingkan negara yang transaksi tunainya rendah. Denmark, Swedia, dan Finlandia menjadi contoh negara yang memiliki transaksi tunai rendah dan tingkat persepsi korupsi baik. Indeks inklusi keuangan Indonesia yang rendah bisa dijadikan kilah untuk penerapannya. Padahal, sejumlah pengecualian telah diatur.
Saatnya kita melakukan lompatan. Corruptio, dalam bahasa Latin, berarti hal merusak, membuat busuk. Kita tidak bisa menggantungkan pada KPK atau malah mengerdilkan KPK. Membatasi ruang gerak siapa pun saat bertransaksi tunai salah satu kuncinya. Dengan demikian, yang tak sekuat Syafruddin dan Lopa pun tidak tergoda. Terus harum namanya, tidak membusuk.
Kompas, 8 Oktober 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar